Bincangperempuan.com- Menyambut Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang jatuh pada 10 Desember, serta Universal Health Coverage Day pada 12 Desember, para ahli kembali menyoroti pentingnya perlindungan terhadap kesehatan reproduksi dan hak seksual, khususnya bagi perempuan, anak perempuan, komunitas gender beragam, serta individu dengan disabilitas.
Meskipun berbagai negara telah mencatat kemajuan dalam hal kesetaraan gender, kenyataannya masih banyak tantangan yang menghalangi akses universal terhadap layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang inklusif. Kampanye ini juga menjadi pengingat bahwa hak-hak kesehatan reproduksi adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Baca juga: Deklarasi Konsensus Jenewa, Ancaman Bagi Kesetaraan Gender
Perempuan Penyandang Disabilitas dan Kerentanan terhadap Kekerasan Berbasis Gender
Abia Akram, pendiri Forum Nasional Perempuan Penyandang Disabilitas dan pemimpin kelompok Hak-Hak Disabilitas di Asia Pacific Regional Civil Society Engagement Mechanism, mengangkat isu krusial mengenai tingginya kerentanan perempuan dengan disabilitas terhadap kekerasan berbasis gender.
Dalam sesi diskusi SHE & Rights yang merupakan bagian dari kampanye 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender, ia menegaskan bahwa perempuan dengan disabilitas menghadapi risiko kekerasan empat kali lebih tinggi dibandingkan perempuan lainnya. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa pelaku kekerasan sering kali berasal dari lingkungan terdekat, seperti anggota keluarga atau pekerja pendukung perawatan.
Lebih jauh, Abia menjelaskan bahwa perempuan dengan disabilitas sering kali diabaikan dalam kebijakan tanggap bencana, seperti saat terjadi banjir atau krisis akibat perubahan iklim. Mereka menghadapi hambatan komunikasi yang signifikan, di mana kebutuhan spesifik mereka jarang dipertimbangkan.
“Dalam situasi darurat, perempuan penyandang disabilitas sering kali menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan akses bantuan. Padahal, mereka membutuhkan dukungan yang lebih besar untuk bertahan dalam situasi yang sulit,” ujarnya.
Ancaman Gerakan Anti-Hak terhadap Kesehatan Reproduksi
Stephanie Musho, seorang pengacara sekaligus Koordinator Regional Catalysts Africa, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak negatif gerakan anti-hak seperti Deklarasi Konsensus Jenewa.
Deklarasi ini, menurutnya, secara tidak langsung membatasi hak perempuan atas layanan kesehatan reproduksi, termasuk aborsi yang aman. Dalam banyak kasus, kebijakan yang diusung oleh kelompok “pro-life” sering kali mengabaikan kebutuhan mendesak perempuan, terutama mereka yang berasal dari kelompok marginal.
“Deklarasi ini tidak mengakui hak internasional untuk aborsi yang aman, dan kebijakan yang mereka dorong berpotensi memperburuk akses perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi esensial,” ujar Stephanie.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan semacam ini sering kali menciptakan ketidaksetaraan lebih lanjut, khususnya bagi perempuan dengan disabilitas yang sudah menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Stephanie juga menggarisbawahi bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut menciptakan stigma yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang aman. Hal ini menjadi pengingat bahwa upaya untuk melindungi hak kesehatan reproduksi harus melibatkan perlawanan terhadap narasi-narasi anti-hak yang mengancam kemajuan yang telah dicapai selama beberapa dekade terakhir.
Baca juga: Dekriminalisasi Aborsi, Jadikan Aborsi Aman Untuk yang Membutuhkan
Dampak Gerakan Anti-Hak di Asia dan Afrika
Debanjana Choudhuri, Direktur Eksekutif Women’s Global Network for Reproductive Rights (WGNRR), mengungkapkan bahwa tekanan untuk mengurangi bahasa yang mendukung kesetaraan dan keadilan gender semakin meningkat.
Menurutnya, gerakan anti-hak sangat terorganisir dan didanai dengan baik. Mereka menggunakan narasi berbasis “nilai-nilai tradisional” untuk membenarkan kebijakan yang sebenarnya merugikan perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Di beberapa negara Asia, seperti India, meskipun terdapat kemajuan hukum seperti undang-undang aborsi aman, stigma sosial tetap menjadi hambatan utama.
“Banyak perempuan di pedesaan yang bahkan tidak tahu bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan layanan aborsi yang aman. Mereka terus menghadapi tekanan dari masyarakat yang memandang aborsi sebagai tindakan tidak bermoral,” jelas Debanjana.
Di Afrika, situasinya tidak jauh berbeda. Banyak negara di kawasan ini masih memberlakukan undang-undang yang sangat ketat terhadap aborsi, bahkan dalam kasus kehamilan akibat pemerkosaan. Akibatnya, banyak perempuan yang memilih jalan aborsi tidak aman yang berisiko tinggi terhadap nyawa mereka.
“Gerakan anti-hak menggunakan isu moralitas untuk membenarkan kebijakan yang tidak manusiawi ini,” tambahnya.
Tantangan Interseksional dalam Mengatasi Kekerasan Berbasis Gender
Benedicta Oyedayo Oyewole dari International Planned Parenthood Federation (IPPF) menyoroti pentingnya pendekatan interseksional dalam mengatasi kekerasan berbasis gender.
Menurutnya, seksisme, ageisme, dan eksklusi sistematis menciptakan lapisan kerentanan tambahan bagi perempuan. Benedicta menyerukan gerakan feminis, gerakan hak disabilitas, dan komunitas LGBTQI+ untuk bersatu melawan patriarki dan ketidaksetaraan ekonomi yang memperparah kekerasan berbasis gender.
Ia juga menggarisbawahi bahwa sistem patriarki tidak hanya memengaruhi perempuan, tetapi juga kelompok minoritas gender lainnya. Oleh karena itu, tanggapan terhadap kekerasan berbasis gender harus mencakup semua lapisan masyarakat, termasuk laki-laki yang menjadi sekutu dalam perjuangan melawan ketidakadilan ini.
Pentingnya Gerakan Kolektif untuk Mencapai Kesetaraan Gender
Shobha Shukla, Koordinator SHE & Rights, menegaskan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tidak akan tercapai tanpa membongkar sistem patriarki yang telah mengakar. Menurutnya, pemerintah dan organisasi internasional harus lebih serius dalam menangani isu-isu kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi.
“Narasi berbahaya tentang ‘sistem keluarga’ dan ‘nilai tradisional’ hanya akan memperburuk ketidakadilan yang ada,” ujarnya.
Shobha juga menekankan pentingnya advokasi yang melibatkan komunitas akar rumput. Menurutnya, perubahan yang nyata hanya dapat dicapai jika masyarakat, khususnya perempuan, diberikan platform untuk menyuarakan kebutuhan dan aspirasi mereka. Ia percaya bahwa kampanye seperti SHE & Rights adalah langkah awal yang penting untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua.