Bincangperempuan.com- Apakah cinta adalah dua insan yang saling berpegangan tangan di senja hari? Apakah cinta berarti berbakti kepada orang tua? Atau apakah cinta lebih dari itu? Apa sebenarnya makna cinta?
Di era modern, persoalan cinta dan hubungan tak ada habisnya. Pop culture dipenuhi dengan film, musik, dan buku yang mengangkat tema cinta, hubungan, hingga patah hati—dan tetap saja laris manis. Lagu-lagu galau seperti yang dinyanyikan Bernadya, Mahalini dan musisi lainnya terus menemani banyak orang yang merasa tercerai-berai oleh cinta. Seakan-akan, cinta adalah persoalan utama yang harus ditemukan jawabannya, meski seringkali jawabannya sendiri tidak pernah memuaskan.
Cinta Bukan Sebatas Kepemilikan
Namun, jika kita keluar dari narasi mainstream, cinta bisa lebih luas daripada sekadar hubungan romantis atau kepemilikan atas seseorang. Dalam buku True Love: A Practice of Awakening the Heart, ajaran Buddhisme mengajarkan bahwa cinta sejati mencakup beberapa aspek penting seperti karuna (kasih sayang) dan mudita (kebahagiaan untuk orang lain). Thich Nhat Hanh bahkan menulis bahwa mencintai berarti juga mencintai penderitaan itu sendiri—bukan berarti menikmati rasa sakit, tetapi memahami bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Justru, hasrat kepemilikanlah yang membuat kita tersiksa. Cinta sejati ada dalam presence—kehadiran penuh kesadaran terhadap diri sendiri dan mereka yang kita cintai.
Erich Fromm dalam The Art of Loving juga menggugat gagasan cinta yang berbasis kepemilikan. Menurutnya, cinta tidak seharusnya diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa banyak kita “menjadi”. Dalam dunia yang terus mengajarkan kita untuk mengumpulkan lebih banyak—lebih banyak barang, lebih banyak status sosial, lebih banyak validasi dari orang lain—kita lupa bahwa cinta bukan tentang menumpuk kepemilikan, tetapi tentang bagaimana kita bertumbuh bersama. Jika cinta hanya soal memiliki, maka cinta tak lebih dari alat yang menumbuhsuburkan kapitalisme.
Baca juga: Potret Buruk Penanganan Kekerasan Berbasis Gender oleh Kepolisian
Cinta Bukan Sebatas Heteronormativitas
Dalam konteks hubungan heteronormatif, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang pasif, yang “menunggu” dan “menerima” perlakuan dari laki-laki. Sebaliknya, laki-laki dituntut untuk menjadi pihak yang aktif, yang “mengejar” dan “memimpin”. Narasi ini begitu mengakar sehingga harga diri perempuan sering diukur dari seberapa baik seorang laki-laki memperlakukannya. Padahal, seharusnya hubungan tidak terjebak dalam dikotomi ini.
Pada konteks hubungan yang lebih luas, lalu bagaimana dengan mereka yang homoseksual? Judith Butler dalam teori gendernya menyatakan bahwa gender dan seksualitas adalah sesuatu yang cair, bukan sesuatu yang kaku dan baku. Begitu pula dengan cinta. Seharusnya, makna cinta tidak dibatasi oleh relasi heteronormatif semata. Peran dalam hubungan bisa dinegosiasikan dan dipertukarkan, baik dalam hubungan heteroseksual maupun dalam hubungan sesama jenis. Tidak ada aturan baku bahwa yang satu harus lebih dominan daripada yang lain. Hubungan bukanlah ajang siapa yang lebih berkuasa, melainkan tentang kesetaraan dan komunikasi yang sehat.
Cinta dari Perspektif Sains
Sementara itu bagi penganut ilmu sains cinta adalh reaksi hormon. Oksitosin katanya itu hormon cinta yang mendukung pelestarian homo sapiens. Cinta itu seperti otak kita yang penuh dengan bahan kimia yang bikin hati berdebar, tangan keringetan, dan pipi jadi merah. Ketika kita jatuh cinta, otak kita jadi seperti bermain dengan “bahan-bahan bahagia,” seperti serotonin, tapi ada juga kortisol, yang bikin kita merasa cemas dan tegang, seperti tubuh seakan bersiap menhadapi ujian yang membuat dag-dig-dug.
Baca juga: #KaburAjaDulu: Tagar yang Ramai di Media Sosial, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Untuk yang Masih Lajang: Kamu Tetap Berharga
Bagi yang masih lajang, nilai dirimu tidak seharusnya diukur dari apakah kamu sudah “dipilih” oleh seseorang atau belum. Ini bukan kompetisi siapa yang lebih laku atau siapa yang berhasil mendapatkan pasangan lebih dulu. Banyak orang memilih untuk tetap single bukan karena mereka “tidak laku,” tetapi karena mereka lebih menikmati hidup dengan cara mereka sendiri. Ada yang memilih fokus pada karier, ada yang ingin mengejar impian mereka tanpa terikat komitmen yang belum siap dijalani, dan ada pula yang merasa lebih bahagia tanpa harus berurusan dengan dinamika hubungan romantis yang kadang melelahkan.
Jangan buru-buru menjalin hubungan hanya karena tekanan sosial atau demi memenuhi ekspektasi orang tua yang kebelet punya cucu. Di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit dan tuntutan hidup yang semakin berat, keputusan untuk menikah dan membangun keluarga seharusnya tidak dilakukan hanya karena norma sosial.
Sayangnya, alasan ini yang sulit dimengerti generasi yang lebih tua seperti milenial dan baby boomer. Dulu kalau rumah sebuah rumah sederhana di kota besar pada tahun 2000 dapat dibeli dengan harga sekitar Rp150 juta. Kini, rumah dengan spesifikasi serupa bisa mencapai Rp1 miliar. Ini menunjukkan bahwa generasi sekarang yang ingin menjalin hubungan jangka panjang punya tantangan yang berbeda.
Kondisi saat ini sudah berubah. Saatnya mendekonstruksi makna cinta, bukan hanya sebagai kebutuhan untuk melepas gairah atau memenuhi standar masyarakat. Cinta tidak bisa direduksi hanya menjadi soal siapa yang paling banyak memberi atau menerima. Cinta yang tulus tidak akan membuatmu sakit hati, tidak akan menjebakmu dalam relasi toksik, dan tidak akan membuatmu kehilangan diri sendiri.
Pada akhirnya, cinta adalah bagaimana kita memahami diri sendiri dan orang lain—bukan tentang siapa yang berhasil kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita saling merawat tanpa harus mengekang. Di sini, saya hanya berbagi perspektif tentang makna cinta. Pembaca berhak mendefinisikan cintanya masing-masing. Akhir kata, selamat merayakan cinta ala kamu. Semoga alam semesta memberkati.