Bincangperempuan.com- Lagi-lagi pejabat publik melontarkan candaan seksis di ruang publik. Pernyataan tersebut disampaikan Ahmad Dani dalam Rapat Komisi X mengenai persetujuan pemberian status warga negara Indonesia (WNI) terhadap tiga pesepakbola keturunan Indonesia, Rabu 5 Maret 2025.
Ia mengusulkan agar naturalisasi diperluas bagi pemain bola “di atas 40 tahun… dan mungkin yang duda” untuk dinikahkan dengan perempuan agar menghasilkan keturunan “Indonesian born” yang dinilainya akan bisa memiliki kualitas keterampilan sepakbola yang lebih baik.
Meskipun belakangan beralibi “out of the box”, namun hal tersebut jelas memicu perdebatan di masyarakat. Sampai kapan candaan seksis dan misoginis dinormalisasi di ruang publik? Apalagi sebagai seorang figur publik, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya memiliki dampak yang jauh melampaui lingkaran pribadinya. Hal ini tidak hanya mencerminkan bias yang melekat pada individu, tetapi juga mempertegas kekuatan budaya patriarki dalam ruang publik.
Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal
Candaan Seksis: Sebuah Gambaran Patriarki
Humor sering kali menjadi refleksi masyarakat, dinormalisasi sebagai sebuah kelucuan. Padahal, candaan seksis adalah kekerasan verbal yang mencerminkan budaya patriarki yang mengakar kuat. Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat, baik secara eksplisit maupun implisit. Ahmad Dani, lewat candaan seksisnya, secara tidak langsung memperkuat norma budaya yang merugikan perempuan.
Budaya patriarki ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia terbentuk melalui sistem sosial, politik, dan ekonomi yang menguntungkan laki-laki. Humor menjadi alat subtil untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Melontarkan candaan seksis bagi individu seperti Ahmad Dani mungkin tidak sepenuhnya sadar atau sebaliknya! Bahwa mereka sedang memperkuat struktur patriarki yang telah ada selama berabad-abad.
Dampak Candaan Seksis
Sementara itu, dilihat dari nilai sosial, candaan seksis kerap membawa implikasi yang jauh lebih besar daripada yang terlihat di permukaan. Candaan Ahmad Dani tidak hanya menyasar perempuan secara individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan dengan memperkuat stereotip gender yang membatasi.
Secara psikologis, humor semacam ini dapat memberikan dampak emosional yang mendalam. Perempuan yang menjadi target langsung mungkin merasa diremehkan, dipermalukan, atau bahkan trauma. Efek ini tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga kolektif dimana candaan seksis tidak hanya sebuah ucapan; ia adalah manifestasi dari kekuasaan gender yang terus bekerja.
Sebagai seorang publik figur, Ahmad Dani memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan norma sosial. Ucapannya didengar oleh ribuan, bahkan jutaan orang, yang bisa jadi memandang humor tersebut sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan lucu. Padahal di era digital seperti saat ini di mana kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender semakin meningkat, perilaku tersebut sangatlah tidak pantas.
Sudah seharusnya bagi figur publik seperti Ahmad Dani, meminta maaf secara tulus dan mengedukasi dirinya tentang isu gender. Permintaan maaf tidak hanya simbolis, tetapi juga menunjukkan bahwa ia bersedia bertanggung jawab atas ucapannya.
Menurut laporan dari UN Women (2020), tanggung jawab figur publik termasuk dalam “penggunaan platform untuk mempromosikan norma-norma positif yang inklusif.” Ketika figur publik seperti Ahmad Dani memilih untuk melontarkan candaan seksis, mereka tidak hanya gagal mempromosikan norma positif, tetapi juga turut memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada.
Dampak Lebih Luas pada Kesetaraan Gender
Candaan seksis juga menghambat upaya masyarakat dalam mencapai kesetaraan gender. Stereotip yang diperkuat melalui humor semacam ini dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan perempuan, seperti akses mereka ke pendidikan, pekerjaan, dan peran kepemimpinan. Hal ini menjadi lingkaran setan yang sulit diputus, di mana perempuan harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan mereka di tengah lingkungan yang kerap meremehkan.
Sebagai contoh, penelitian oleh European Institute for Gender Equality (EIGE) menunjukkan bahwa budaya seksis dapat menurunkan tingkat partisipasi perempuan di tempat kerja dan ruang publik. Humor seksis, walaupun terkesan sepele, adalah salah satu manifestasi dari budaya ini.
Baca juga: Normalisasi Candaan Seksis pada Anak dan Remaja
Komnas Perempuan: Cegah Pernyataan Seksis, Perkuat Kewibawaan DPR RI
Sementara itu, Komnas Perempuan dalam rilisnya mengatakan pernyataan Ahmad Dani dinilai melecehkan karena menempatkan perempuan sekedar mesin reproduksi anak, pelayan seksual suami. Apalagi pernyataan ini dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa jika pemain sepakbola yang dinaturalisasi itu beragama Islam maka bisa dinikahkan dengan empat perempuan. Padahal hukum Indonesia, dalam hal ini UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, mengatur ketentuan dan prasyarat yang ketat untuk mencegah perkawinan lebih dari satu orang menjadi sekedar menguntungkan satu pihak dan mengeksploitasi lainnya.
Pernyataan ini juga merendahkan martabat Indonesia dengan rasisme karena seolah kualitas laki-laki pesepakbola dari luar negeri memiliki sifat genetik yang lebih baik daripada dari Indonesia. Kalimat rasis tampak dalam penekanan agar naturalisasi tidak kepada yang “bule” karena ras Eropa yang berbeda.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa seluruh pimpinan dan anggota DPR RI memiliki mandat untuk mengawal 4 Pilar Kebangsaan sebagai landasan dalam pembuatan Undang-Undang dan untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pernyataan yang disampaikan seluruh anggota DPR RI dalam situasi apa pun. Ke-4 Pilar Kebangsaan itu adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip penghormatan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, non diskriminasi, dan penghargaan pada kebhinnekaan adalah nilai integral dari 4 Pilar Kebangsaan yang harus dijunjung tinggi dan diamalkan. Termasuk di dalamnya adalah penghargaan kepada perempuan sebagai manusia yang setara, bukan sekadar objek seksual dan objek reproduksi.
Pernyataan bersifat seksis ini juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana termaktub dalam UU No. 7 Tahun 1984 terkait penetapan ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Tujuan 5. CEDAW mengamanatkan agar para pejabat publik termasuk pembuat kebijakan di Negara Pihak menahan diri untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan justru mengambil langkah strategis untuk menghapuskan diskriminasi tersebut.
Mengingat bahwa pernyataan Ahmad Dani berpotensi melanggar hak asasi perempuan, mencederai citra, kehormatan dan kewibawaan DPR RI, khususnya Komisi X yang juga mengawal bidang pendidikan, Komnas Perempuan mendorong Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk memeriksa kasus ini lebih lanjut. Selain bertentangan dengan nilai-nilai dalam 4 Pilar Kebangsaan, pernyataan ini mengindikasikan ketidakseriusan dalam melaksanakan tugas DPR RI, yaitu terkait peran pengawasan DPR RI pada ketersediaan dukungan dan tata kelola pembinaan pesepakbola nusantara agar putra-putri bangsa Indonesia dapat berprestasi optimal di cabang olahraga ini. Pemeriksaan perlu dilakukan oleh MKD untuk memperkuat kewibawaan DPR RI dengan memastikan peristiwa serupa tidak berulang kembali.
Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI untuk melakukan penguatan kapasitas anggota DPR RI dalam hal Konstitusi ,HAM, dan kesetaraan dan keadilan agar dapat mengemban tugasnya sebagai wakil rakyat secara profesional, berintegritas, amanah dan sesuai dengan etika yang berlaku. Selain itu, Partai Politik dan khususnya Partai Politik yang mengusung Ahmad Dani, perlu memberikan pemahaman dan pengawasan kinerja pada anggota DRR RI yang diusungnya, termasuk dalam hal pernyataan, agar seturut dengan prinsip-prinsip HAM, non diskriminasi serta kesetaraan dan keadilan gender.