Bincangperempuan.com– Nama Yesi Sepriani (40) sudah tak asing lagi di kalangan masyarakat Teluk Sepang, Kota Bengkulu. Ibu tiga anak tersebut menjadi salah seorang relawan Posko Lentera, yakni gerakan masyarakat yang menolak keberadaan PLTU Teluk Sepang 2×100 MW.
Sembari menjalankan tugas domestik sebagai ibu rumah tangga, Yesi juga bekerja serabutan. Kadang menjadi petugas sensus, untuk kebutuhan data statistik. Sesekali menghadiri pertemuan di Posko Lentera.
Katanya, suaminya bekerja menjual karpet keliling di provinsi tetangga. Tidak setiap saat mengirimkan uang bulanan. Untuk menopang kebutuhan harian Yesi harus bekerja.
“Kita sudah banyak melihat dampak kesehatan akibat hidup berdampingan dengan PLTU. Termasuk kerusakan lingkungan yang dialami,” terangnya.
Baca juga: Tri Wahyuningsih, Sadar Lingkungan Lewat Omah Teduh
Apa saja yang dilakukan di Posko Lentera? Yesi mengaku, ia mendapatkan banyak sekali pengetahuan. Mulai dari mengetahui apa saja yang menjadi haknya sebagai warga negara. Termasuk langkah hukum apa yang bisa diambil jika haknya dicerabut oligarki atas nama pembangunan.
Tadinya, kata Yesi, sebelum ada Posko Lentara, kegiatan masyarakat kurang terorganisir. Ketika melakukan warga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Jadi geraknya sendiri-sendiri. Namun sekarang lebih terorganisir,” imbuhnya.
Nyaris lima tahun Yesi bergabung di Posko Lentara. Ibarat deburan ombak, pasang surut sudah ia alami. Mulai dari dikucilkan tetangga, hingga hilangnya bantuan dari pemerintah satu persatu yang bisanya ia terima.
Perihal itu, Yesi pernah menanyakan langsung ke pemerintah setempat. Alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan, Yesi malah dianggap sudah tidak layak lagi mendapatkan bantuan. Konon, pemerintah setempat berdalih bantuan untuk Yesi memang sudah diputus dari pemerintah pusat.
Yesi tak bisa berkutik. Kecuali menghela nafas dan berdoa agar semesta meluaskan rezeki untuknya dan anak-anak. Yesi mengaku, tidak semua warga Teluk Sepang menerima keberadaan dan perjuangan yang dilakukan Posko Lentera. Ada yang memang suka rela bergabung. Namun ada pula yang terang-terangan menolak. Sebagian juga karena motif ekonomi. Bahkan tak sungkan “memata-matai” gerak-gerik Yesi.
“Ya, risiko kalau berjuangan ya seperti ini. Kadang dilaporkan begini dan begitu. Tapi mau bagaimana mana lagi. Kalau bukan saya yang ikut berjuang lantas siapa lagi. Saya tidak punya pilihan untuk pindah, lahan kehidupan hanya disini, jadi harus berjuang untuk hidup di lingkungan yang sehat,” beber Yesi.
Yesi menuturkan, sebelum PLTU Teluk Sepang beroperasi, sebagian warga sudah kehilangan mata pencaharian. Ini lantaran lahan tumbuh tanam milik warga terpaksa digusur dengan nilai ganti rugi yang tak seberapa. Akibatnya, warga harus mencari alternatif penghidupan yang lain.
Ketika PLTU resmi beroperasi, pelahan kerusakan lingkungan mulai terjadi. Hal ini berdampak pada hilangnya mata pencaharian mayoritas warga yang berprofesi sebagai nelayan. Lokasi tempat mencari ikan yang biasa dikunjungi nelayan, menjadi alur pembuangan air bahang (limbah PLTU, red). Akibatnya, warga terpaksa mencari ikan lebih jauh.
“Hasil yang didapat tidak setimpal dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaut,” katanya.
Baca juga: Ratih Kartika, Menembus Batas dengan Menjadi Penulis
Belum lagi, kesehatan warga, kata Yesi. “Nyaris tidak pemeriksaan kesehatan gratis rutin yang dilakukan setiap bulan untuk memastikan kondisi kesehatan kami disini. Kalau mau ya berobat sendiri. Padahal anak-anak yang ISPA nyaris tak henti. Belum lagi yang kena penyakit gatal-gatal,” paparnya.
Ia menuturkan, tak akan berhenti berjuang menolak keberadaan PLTU Teluk Sepang dan menyuarakan apa yang seharusnya menjadi hak warga terdampak. Sampai, pemerintah dan pihak yang tanggungjawab tak ada pilihan, kecuali mendengarkan.