Home » News » Waktu Aku Dilayoff: Ketika Perempuan Kehilangan Pekerjaan

Waktu Aku Dilayoff: Ketika Perempuan Kehilangan Pekerjaan

Ais Fahira

Buku, News

Waktu Aku Dilayoff Ketika Perempuan Kehilangan Pekerjaan

Bincangperempuan.com- Belakangan ini, kita diterpa banyak berita pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satunya yang paling mencolok adalah gelombang PHK besar-besaran oleh Caltex. Fenomena ini bukan hal baru, terutama sejak pandemi COVID-19 melanda. Banyak perusahaan yang merampingkan tenaga kerja demi efisiensi, dan karyawan harus menerima kenyataan pahit yaitu kehilangan pekerjaan.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Ester Pandiangan, yang kemudian ia tuangkan dalam buku Waktu Aku Dilayoff, diterbitkan oleh Shira Media pada tahun 2024. Buku ini adalah kumpulan esai reflektif yang memuat perenungan pribadi Ester selama menjalani fase kehilangan pekerjaan. Tapi bukan sekadar curhat, tulisan-tulisan dalam buku ini membawa pembaca menyelami realitas dunia kerja, dan tantangan yang dihadapi perempuan.

Bak Diputus Sang Kekasih

Diputus dari pekerjaan bak putus dari kekasih. Ketika hidup sudah terbiasa dengan rutinitas kerja—bangun pagi, lembur, bertemu rekan, dan menerima gaji di akhir bulan, kini harus berhenti mendadak. Ester menggambarkan situasi ini dengan jujur dan sederhana, tapi cukup menyayat. Ia seperti dilempar kembali ke titik nol, di mana harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan jobseeker lain untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Yang membuat pengalaman ini makin getir, banyak orang yang meremehkan beban mental setelah dilayoff. Ester menulis bahwa tak sedikit orang yang menyambut kabar dirinya terkena layoff dengan sebutan “barisan jutawan” karena mendapat pesangon. Padahal kenyataannya jauh dari kata “enak.” Pesangon memang ada, tapi tidak menjamin rasa aman, apalagi di tengah kondisi pasar kerja yang tidak stabil. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pun hanya berlaku selama beberapa bulan—setelah itu, pekerja harus bertahan hidup sendiri.

Baca juga: Framing Femisida di Media: Mengapa Perspektif Korban Masih Terpinggirkan?

Mencari Sisi Positif

Meski penuh tekanan, masa layoff juga menjadi ruang jeda yang mempertemukan Ester dengan dirinya sendiri. Di tengah kegelisahan melamar pekerjaan dan menanti panggilan, ia menyempatkan diri untuk kembali ke alam, mengunjungi keluarganya, bercengkerama dengan abang dan kakaknya, dan memeluk momen-momen yang sempat hilang karena kesibukan kerja.

Momentum ini menjadi semacam healing, tapi bukan dengan kemewahan ala media sosial, melainkan dengan kesederhanaan dan kejujuran untuk menerima keadaan.

Profesi Kepenulisan yang Tak Lagi Dihargai

Salah satu renungan tajam yang ditulis Ester adalah tentang profesi kepenulisan. Ia menyindir dunia media dan industri konten yang kini lebih mengejar angka, views, dan optimasi SEO (Search Engine Optimization) ketimbang kedalaman tulisan. Kualitas sering menjadi nomor sekian, asalkan algoritma puas. Tak hanya itu, upah untuk penulis lepas dan jurnalis independen juga sangat tidak layak—bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Menurut Ester ini sangat kontras dengan kondisi sosial media yang hanya berisi hal dangkal tetapi lebih dihargai dari segi atensi dan materi. Karena saat ini, siapa pun bisa jadi selebriti. Tidak penting konten itu isinya penting, asal menarik dan nyeleneh seseorang bisa mendadak jadi jutawan. Semakin konyol dan viral, maka sebanyak itu pula keuntungan yang diraup. 

Artinya profesi di bidang jurnalistik yang memproduksi narasi yang mencerahkan, justru tengah berada di ambang marginalisasi. Padahal konten berkualitas justru semakin dibutuhkan untuk menjaga kewarasan publik.

Diskriminasi Perempuan di Dunia Kerja

Yang membuat buku ini semakin penting dibaca adalah bagaimana Ester menyisipkan pengalamannya sebagai perempuan dalam dunia kerja. Ia menyinggung kasus dalam sebuah sesi konsultasi CV, seorang perempuan justru malah mendapat pertanyaan melewati batas, seperti ukuran bra. Itu adalah bukti nyata bahwa diskriminasi dan seksisme masih menjadi tantangan berat bagi perempuan di tempat kerja.

Tidak hanya itu, dalam proses rekrutmen di dunia jurnalistik yang ia geluti, Ester sempat dicurigai karena menyebut nama jurnalis senior sebagai referensi. Ia ditanya “kamu siapanya dia?” dengan nada menghakimi. Tak hanya itu, Ester yang terbiasa berpakaian kasual dan santai sering diberi tatapan aneh karena dianggap tidak rapi dan terkesan kucel.Ini  menunjukkan betapa perempuan sering dinilai bukan dari kemampuan, tapi dari koneksi, penampilan, bahkan hal-hal yang tidak relavan dengan kompetensi.

Baca juga: Suami atau Istri yang Durhaka? Istilah Nusyuz yang Sering Disempitkan

Dunia Kerja yang Tak Baik-Baik Saja

Melalui pengalaman pribadinya, Ester ingin menyampaikan bahwa dunia kerja kita memang sedang tidak baik-baik saja. Misalnya Badan Pusat Statistik 2023, menunjukkan ra-rata upah per jam pekerja laki-laki adalah Rp20.125, sedangkan perempuan hanya Rp16.779. Kesenjangan ini mencerminkan bias gender yang konsisten di pasar tenaga kerja Indonesia. Selain itu survei Women’s Equality in the Workplace yang dilakukan Populix di Indonesia menemukan sebanyak 45% perempuan mengalami perlakuan tidak menyenangkan.

Belum lagi dengan persyaratan kerja yang membatasi usia pelamar. Kualifikasi dengan batas usia yang tak masuk akal. Bahkan karena pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai jurnalis, Ester malah dianggap overqualified dan akhirnya ditolak. Sampai dirinya heran, perusahaan ini maunya apa sebenarnya?

Pada akhirnya, Waktu Aku Dilayoff bukan hanya tentang pengalaman setelah kehilangan pekerjaan, tapi juga tentang seorang perempuan yang berjuang untuk tetap bertahan, sembari menghadapi luka-luka struktural dari dunia kerja yang timpang.

Buku ini bisa menjadi teman, terutama bagi yang sedang mengalami layoff, mereka yang masih bekerja, maupun para pengambil kebijakan. Karena dari pengalaman-pengalaman seperti inilah kita bisa mulai memperjuangkan dunia kerja yang lebih manusiawi, setara, dan suportif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Benarkah Perempuan Cerdas Kerap Melajang? Ini Faktanya!

Minim Riset dan Sensitivitas, Aplikasi Pemerintah Jadi Bias Makna

Minim Riset dan Sensitivitas, Aplikasi Pemerintah Jadi Bias Makna

McDonald’s Indonesia Hadirkan Empat Pahlawan Wanita Indonesia

Leave a Comment