Home » Pendidikan » Coreng Moreng Pendidikan Penyandang Disabilitas di Bengkulu

Coreng Moreng Pendidikan Penyandang Disabilitas di Bengkulu

Bincang Perempuan

Pendidikan

Bengkulu menghadapi banyak tantangan untuk meningkatkan mutu pendidikan anak disabilitas, mulai dari kurikulum dan fasilitas yang masih serba minim.

MA enggan tersenyum. Bocah ini menanggapi kehadiran Bengkulu Today “dingin” saat berulang kali ditanya apa cita-citanya. Hingga sang ibu Umida Husni, yang membujuk MA. “Ingin menjadi pilot,” celutuknya.

 “Wah bagus, terus belajar ya Nak,” ujak Adella Veranti, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 3 sambil berlalu.

Selintas, Bengkulu Today bisa melihat ada bulir-bulir basah menyelinap di sudut mata sang ibu yang memandang penuh kasih sayang pada MA, bocah penyandang disabilitas grahita dengan pertumbuhan mata kanan yang tidak sempurna.

Undang-undang No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, baik bagi anak non disabilitas maupun anak disabilitas. UU ini dipertegas dalam Permendiknas nomor 70 Tahun 2009, yakni memberi peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk sekolah di sekolah reguler.

Ironisnya, hal tersebut belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah daerah. Penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan dalam mengakses hak atas Pendidikan sehingga terkesan jadi “anak tiri”.

Ketua Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusif (MMI), Irna Riza Yuliastuty mengatakan, dalam konteks akses pendidikan formal, tidak semua kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu memiliki SLB yang berjenjang dari sekolah dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU).  Rata-rata Pemda Kabupaten hanya memiliki satu SLB Negeri dan berlaku untuk semua jenjang.

“Dari jumlah itu dapat dilihat bagaimana akses pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (disabilitas,red),” kata Irna.

Data yang dihimpun Bengkulu Today menunjukkan hingga tahun 2021, ada 18 SLB negeri se-Provinsi Bengkulu. Jumlah ini meliputi, lima SLB di Kota Bengkulu dan tiga SLB di Kabupaten Mukomuko. Sementara kabupaten lainnya hanya memiliki satu SLB. (Lihat Tabel 1)

Belum Mampu Mengakomodir Kebutuhan Pendidikan Anak Disabilitas

Selain jumlah SLB yang terbatas, kesediaan tenaga pengajar berbasis Pendidikan Luar Biasa juga minim. Akibatnya cara pengajaran menjadi seadanya dengan kurikulum yang disamakan untuk semua anak dengan kebutuhan khusus ini.

Padahal sangat penting untuk SLB memiliki kurikulum terpisah dengan melihat potensi yang ada pada anak disabilitas, apalagi kebutuhan dan target Pendidikan yang dicapai sangat berbeda setiap anaknya.

Irna mencontohkan, kurikulum untuk pendidikan untuk anak disabilitas yang bukan disabilitas intelektual dapat disamakan dengan kurikulum sekolah negeri biasa. Sehingga ketika lulus sekolah, mereka memiliki daya saing yang sama dengan anak regular, termasuk jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi atau melamar pekerjaan.

Namun pada praktiknya, anak dengan disabilitas dicampur aduk dalam satu kelas tanpa melihat apakah mereka mengalami disabilitas  intelektual atau bukan.

“Jika disamaratakan maka potensi yang ada di tiap anak tidak akan muncul,” kata Irna menyesalkan.

Naomi Husni, orang tua dengan anak disabilitas rungu sekaligus tenaga pengajar non PNS di SLB Negeri 5 Kota Bengkulu segendang penarian dengan Irna. Naomi mengatakan, dalam praktiknya, pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan pendidikan anak-anak disabilitas. Ini terlihat dari ketersediaan tenaga pengajar yang masih sangat minim. 

“Anak saya rungu, dia termasuk beruntung karena mendapatkan pendidikan langsung dari guru yang paham soal bahasa isyarat. Namun bagaimana yang lain ? Seperti saya, yang mengajar bukan dari basic PLB,” kata Naomi.

Hal yang sama juga dikeluhkan Adelia Veranti, Kepala SLB Negeri 3.  Menurutnya di SLB Negeri 3 hanya ada 18 guru termasuk kepala sekolah.

Dari jumlah tersebut, 12 merupakan guru kelas dan sisanya guru bidang study, meliputi guru olahraga, agama, tata boga dan tenaga Tata Usaha (TU).  Guru dengan status PNS hanya 3 orang. Selebihnya merupakan tenaga non PNS. 

Basic ilmu PLB juga hanya dimiliki 4 orang guru. Sementara guru lain memiliki latar pendidikan beragam. Mulai dari sarjana Matematika, Biologi, Bahasa Inggris hingga Geografi.  

“Ketika akan mengajar, guru yang ada harus dilatih dulu bagaimana menangani anak inklusi. Jadi bisa dibayangkan, jika satu kelas ada 7 anak dengan disabilitas yang berbeda dan guru yang mengajar bukan PLB. Tapi kami tetap berusaha memberikan pendidikan sebaik-baiknya,” beber Adella.

Menurut Adelia, idealnya satu kelas di SLB memiliki siswa maksimal 5 orang. Siswa dikelompokkan dengan kebutuhan khusus (disabilitas,red) yang sama.  Sehingga guru lebih mudah dapat memberikan pelajaran sesuai dengan kurikulum yang ada.

RUANG TATA BOGA : Kepala SLB Negeri 3, Adella Veranti menunjukan ruang praktik Tata Boga yang dimiliki sekolah ini. (betty herlina)

Namun yang terjadi saat ini, satu kelas di SLB bisa memiliki lebih dari 5 siswa, dengan kebutuhan khusus yang berbeda-beda. Disabilitas rungu, grahita, netra disatukan dalam satu ruangan belajar yang sama dengan satu guru kelas non PLB.

“Untuk memaksimalkan sistem pembelajaran, diawal kami melakukan pengujian intelgensia anak. Sehingga dapat memodifikasi kurikulum yang ada. Menyesuaikan dengan kondisi dalam memberikan treatment pada anak tersebut,” katanya.

Selain itu, anak-anak semaksimal mungkin di dorong untuk memiliki keterampilan khusus sesuai dengan keunikan dan bakat. Untuk mendukung hal tersebut pihak sekolah membuka kelas Tata Boga dan memberikan kesempatan anak untuk tampil dalam berbagai acara, seperti dalam perlombaan menggambar dan melukis yang lazim diikuti anak-anak disabilitas rungu.

“Begitu ada lomba, sekolah langsung kirim [murid]. Termasuk menari, anak rungu juga biasa tampil menari. Hasilnya kami publikasikan di media sosial. Untuk membangun kepercayaan diri anak,” kata Adella.

Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu, Dempo Exler mengatakan pemerintah memang masih belum maksimal dalam memberikan hak-hak bagi anak disabilitas, khususnya dalam mengakses pendidikan. Tidak hanya dari sarana dan prasarana, termasuk tenaga pengajar juga harus dimaksimalkan.

Menurutnya, idealnya, anak-anak disabilitas bisa dikelompokan sesuai keunikannya, bukan seperti praktik saat ini.

“SMK saja bisa dibuat khusus, kenapa untuk SLB tidak. Termasuk di sekolah regular, sudah seharusnya satu sekolah disiapkan satu tenaga pengajar khusus PLB,” katanya singkat.

Sekolah Umum Inklusi Juga Belum Maksimal

Selain SLB, sistem pendidikan untuk anak-anak disabilitas sebenarnya juga dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem pendidikan inklusi,  dimana sekolah umum didorong untuk dapat menerima anak dengan disabilitas.

Sekolah inklusi idealnya memungkinkan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak non disabilitas. Termasuk diperlakukan selayaknya anak non disabilitas. Hal tersebut menunjukkan dampak positif sekolah inklusi terhadap anak dengan disabilitas dari segi psikologis

Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, layanan pendidikan dalam pendidikan inklusif harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan siswa, satu sekolah untuk semua, tempat, pembelajaran didasarkan pada hasil assessment dan tersedianya aksesbilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa merasa aman dan nyaman.

“Dengan bahasa yang sederhana, pendidikan inklusif menginginkan siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak non disabilitas dalam satu kelas. Dalam proses belajar mengajar, anak berkebutuhan khusus dibantu oleh shadow atau guru pendamping,” kata Irna.

Berdasarkan SK Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu No 814/2410-439/Dikprov tanggal 9 November 2015, ada 24 sekolah inklusif di Bengkulu.  (lihat tabel 2)

Dari pengalaman pendampingan yang dilakukan MMI, lanjut Irna, ada perbedaan kualitas antara anak disabilitas yang bersekolah di SLB dengan sekolah inklusi.

Secara mental dan sosial kesiapan anak di disabilitas di sekolah inklusi untuk berada di tengah masyarakat lebih kuat. Ini lantaran anak-anak terbiasa melihat dan menerima perbedaan yang dimiliki semua orang di sekolah inklusi.

“Jika ada anak disabilitas yang berprestasi di sekolah umum tidak akan dilihat keterbatasannya tetapi memang dilihat kemampuan yang mereka miliki,” kata Irna.

Tantangan Menambah Guru

Kepala Diknas Provinsi Bengkulu, Eri Yulian mengatakan pihaknya terus berkomitmen untuk memberikan akses pendidikan yang baik bagi penyandang disabilitas, termasuk menambah jumlah pendidik dengan Pendidikan dasar PLB.

Di setiap kesempatan, pemerintah melalui diknas juga mengupayakan pengguliran bantuan untuk mendukung pendidikan inklusi.

Untuk tahun 2021, ada 3 sekolah inklusi di Bengkulu yang mendapatkan bantuan dari kementerian Pendidikan; SMA Negeri 7 Bengkulu Selatan, SMP Negeri 36 PK-Lk Kaur dan SD Negeri 4 Muara Kemumu, Bengkulu Utara.

“Diknas tetap memberikan perhatian khusus untuk mereka (anak-anak disabilitas, red),” katanya berkomitmen.

Eri mengakui ada keterbatasan jumlah tenaga guru dengan basic pendidikan PLB. Permasalahan tersebut ironisnya lebih pada penetapan persoalan kuota calon pegawai negeri sipil (CPNS). 

Baca juga : Pendidikan Masa Pandemi Covid-19 : Mengintip Anak Penyandang Disabilitas Belajar

Provinsi Bengkulu sendiri sudah berupaya mengakomodir dalam penerimaan guru non PNS, yaitu dengan tidak membebankan gaji guru non PNS pada sekolah. Sebaliknya gaji guru non PNS yang mengajar di SLB sepenuhnya ditanggung dari APBD Bengkulu.

Saat ini ada 376 tenaga pengajar non PNS untuk SLB yang diakomodir dan ter- SK. Yakni GTT/PTT berjumlah 281 orang dan tenaga pendamping profesional 95 orang.  

Sebelumnya, guru non PNS tersebut tidak memperoleh keterjaminan penghasilan bahkan keterjaminan pekerjaan.

“Sekarang, penghasilan mereka melalui APBD termasuk gaji 13 dan THR,” pungkas Eri.

Disadari atau tidak banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam pendidikan untuk anak penyandang disabilitas di Bengkulu.

“Yang paling penting menghapus stigma sekolah di SLB, serta memberikan kualitas pendidikan yang terbaik. Sehingga lulusan SLB Negeri 3 dapat menjadi pribadi yang mandiri,” kata Adella Veranti, Kepala SLB Negeri 3. (betty herlina)

*) Tulisan ini diproduksi dalam rangkaian Journalism Grant : Workshop Writing for Inclusion dari AJI Indonesia, British Council dan Disability Arts Online dan sudah tayang lebih dahulu di Bengkulu Today.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Disabilitas, Story Grant

Artikel Lainnya

Perempuan dan Akses Pendidikan yang Setara

Menanti Akses Pendidikan yang Setara

Kuliah di Luar Negeri? The Struggle is Real

Kuliah di Luar Negeri? The Struggle is Real

Dilema Ibu Sekolah Lagi

Dilema Ketika Ibu Memutuskan Sekolah Lagi

Leave a Comment