PRAKTIK pembukaan lahan kopi secara monokultur di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) memicu krisis air bersih dan bencana longsor sehingga berdampak negatif bagi perempuan desa di kawasan penyangga.
Jumratul Aini (50), perempuan asal Desa Sumber Bening Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong mengaku sudah sejak lima tahun terakhir kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan itu terjadi meski pemerintah setempat telah menyediakan jaringan pipa air bersih ke desa.
Akibat itu, kata perempuan yang akrab disapa Sum ini, para perempuan desa jadi kesulitan untuk menjalankan aktivitasnya di rumah tangga. Termasuk untuk pemenuhan kebutuhan membersihkan organ reproduksi perempuan. Apalagi, kini dalam kondisi pandemi Covid-19 ada imbauan dari pemerintah untuk membasuh tangan dengan sabun secara rutin.
”Jadi harus banyak air yang digunakan,” katanya, Minggu (11/10/20).
Sementara itu, Donsri (45), perempuan lain asal Desa Karang Jaya mengaku selain mengalami krisis air bersih. Dampak dari pembukaan lahan untuk menanam kopi secara monokultur juga menimbulkan bencana longsor di kebun kopi di ladang milik warga.
Pengalaman Donsri, pada akhir Februari tahun lalu. Ladang miliknya pernah mengalami bencana longsor. Akibat itu, ia mengalami kerugian hampir mencapai Rp 5 juta.
“Lahan yang terkena longsor itu tidak dapat ditanami tanaman apa pun lagi,” kata perempuan yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Sumber Jaya.
Perempuan Karang Jaya lainnya, Sumrah (57), bahkan mengalami kerugian lebih besar pada saat itu. Pengakuannya ia merugi hingga Rp9 juta, lantaran ladangnya terkena longsor hingga tiga kali.
”Padahal itu (lahan) tidak terlalu tebingan,” katanya.
Polikultur adalah Solusi
Kepala Dusun di Desa Karang Jaya Muhammad Yusuf mengakui jika munculnya krisis air bersih dan bencana longsor di desanya memang sudah terjadi sejak lima tahun terakhir. Ia menduga bencana itu ditimbulan oleh aktivitas pembukaan lahan baru di kawasan TNKS yang dilakukan oleh warga di luar wilayah Kabupaten Rejang Lebong.
“Pembukaan lahan tersebut digunakan untuk bertani kopi monokultur,” kata Yusuf.
Sementara itu, menurut Dosen dari Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Yansen Ph.D bencana yang dialmi oleh para warga di desa tersebut. Ditengarai oleh pola tanam yang salah. Salah satunya monokultur yang membuat berkurangnya tutupan lahan berupa pohon-pohon penyangga.
Ketika itu terjadi penyerapan air ke dalam tanah menjadi tidak optimal. Keseimbangan ekologis pun menjadi terganggu sehingga memicu erosi (longsor), kemarau dan bencana alam lainnya.
Contohnya kopi, kata Yansen, tanaman yang hidup dengan pohon naungan ini secara alaminya memang harus ditanam secara polikultur. Sebab akan membuat adanya interaksi secara biotik yaitu interaksi hidup seperti tumbuhan dan hewan.
Beberapa tumbuhan punya kemampuan memproses faktor lingkungan secara berbeda. ada pohon yang sistem perakarannya cenderung memanfaatkan air dari bagian tanah yang lebih dalam yang disebut dengan “pumping up”.
Jenis tumbuhan semusim, akan memanfaatkan air dari daerah yang lebih dekat ke permukaan tanah sehingga akan cepat terevaporasi (penguapan air). Jadi jika ada pohon-pohon tinggi, maka “pumping up” tadi juga menjamin ketersediaan air.
Monokultur juga dapat menyebabkan tumbuhan lebih rentan terserang predator atau hama karena ketahanan tumbuhan berbeda-beda. Namun, pada monokultur lebih rentan karena jika hama menyerang satu tanaman, maka akan sangat mudah menyerang tanaman yang lain. Sedangkan jika tumbuhannya beragam, jika satu jenis tanaman diserang, jenis lain belum tentu diserang atau lebih tahan terhadap hama.
Dari aspek ekonomi monokultur lebih untung per satuan waktu (misalnya per tahun). Namun, polikultur lebih menguntungkan. Beberapa hal postif terkait polikultur adalah Ketahanan ekologi jangka panjang, seperti aspek kesuburan tanah dan kesempatan memanen lebih dari satu jenis tanaman serta dapat menjadi ketahanan ekonomi, karena bisa jadi komoditas tertentu harganya turun komoditas lain bisa diandalkan.
“Polikultur adalah hal yang sangat baik,” kata Yansen, Minggu (5/11/20). (wahyuni saputri)
*) Penulis adalah Ketua KPPSWD yang ikut serta dalam workshop Peningkatan Kapasitas Jurnalis Warga dalam Melakukan Peliputan Antisipasi Dampak Covid-19 yang diinisiasi PPMN dan Unesco.