Home » News » Apa Itu Hoe Phase? Merayakan atau Melabeli  Kebebasan Perempuan?

Apa Itu Hoe Phase? Merayakan atau Melabeli  Kebebasan Perempuan?

Ais Fahira

News

Apa Itu Hoe Phase? Merayakan atau Melabeli Kebebasan Perempuan?

Bincangperempuan.com- B’Pers pernah mendengar istilah hoe phase? Belakangan ini istilah tersebut mulai banyak dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di media sosial. Istilah ini sebenarnya berasal dari budaya Barat dan sering dikaitkan dengan eksplorasi seksual, terutama pada perempuan.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hoe phase, dari mana asalnya, dan mengapa istilah ini memancing diskusi yang beragam?

Asal Mula Istilah Hoe Phase

Melansir dari The Courier, istilah hoe phase berasal dari kata ‘hoe’ yang pertama kali tercatat sebagai slang di Amerika pada tahun 1960an.  Hoe sendiri adalah turunan singkat dari kata ‘whore’ yang berarti pelacur. Meskipun kedua istilah ini memiliki arti yang berbeda, akar kata tersebut berasal dari istilah merendahkan yang digunakan untuk menggambarkan pekerja seks. 

Pada masa lalu, kata ini sering digunakan dalam konteks yang merendahkan, khususnya terhadap perempuan. Namun, seiring perkembangan zaman, istilah hoe phase mulai diadopsi sebagai bagian dari narasi sexual liberation (kebebasan seksual), terutama oleh perempuan yang ingin mengambil kendali atas tubuh dan hasrat mereka sendiri.

Hoe phase sendiri berarti fase eksplorasi seksual dalam hidup seseorang. Pada perempuan, mereka lebih terbuka untuk mengeksplorasi seksualitas tanpa merasa terikat pada hubungan, norma atau ekspektasi masyarakat. Fase ini biasanya terjadi di usia muda, seperti saat kuliah atau awal memasuki dunia kerja, ketika seseorang sedang mencoba memahami diri sendiri, hasrat seksual, dan kriteria hubungan yang diinginkan.

Baca juga: Childfree Bukan Hanya Urusan Perempuan, Tapi Kesepakatan Pasangan

Apakah Istilah “Hoe Phase” untuk Merendahkan Kebebasan Seksual Perempuan?

Di satu sisi, hoe phase dianggap sebagai bentuk kebebasan seksual perempuan. Fase ini memungkinkan perempuan untuk lebih mengenal diri mereka sendiri, memahami preferensi seksual, dan menolak norma-norma yang mengontrol tubuh mereka. Dalam konteks ini, hoe phase bukan hanya tentang aktivitas seksual, tetapi juga tentang pemberdayaan perempuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka tanpa takut dihakimi.

Seluruh gagasan mengenai hoe phase sebenarnya sangat terkait dengan gender dan berakar pada sistem patriarki. Bahkan, perempuan sering kali ikut mempermalukan perempuan lain yang menjalani hoe phase.

Seperti di TikTok, beredarnya video seorang perempuan yang bangga tidak pernah melalui hoe phase memunculkan berbagai reaksi. Beberapa yang setuju menganggap bahwa tidak ada yang salah dengan tidak melalui hoe phase terutama bagi mereka yang menginginkan kriteria pasangan serupa. Tetapi di sisi lain, terdapat kritik karena rasa ‘bangga karena berbeda dari perempuan lain’ malah justru menjadi bentuk lain dari merendahkan sesama perempuan.

Fenomena ini dikenal sebagai slut shaming–tindakan mempermalukan perempuan atas pilihan seksual mereka. Tindakan ini sudah mengakar dalam masyarakat sehingga bahkan perempuan pun tanpa sadar melakukannya terhadap sesama perempuan.

Masyarakat patriarki masih memandang sebagai objek hasrat laki-laki, tetapi tidak diberi ruang untuk memiliki hasrat sendiri atau menunjukkan nafsu seksual mereka. Bahkan cara berpakaian perempuan selalu dikomentari seakan-akan hal tersebut urusan semua orang. Jika berpakaian terbuka, dicap sebagai “pelacur,” sedangkan jika terlalu tertutup, dianggap “pemalu” atau “terlalu baik.”

Inilah mengapa istilah hoe phase punya potensi menjadi misoginis karena lebih berfokus kepada pelabelan perempuan. Sedangkan istilah yang serupa untuk laki-laki yang yang punya kehidupan seksual aktif dengan banyak pasangan tidak ada. 

Laki-laki yang memiliki banyak pasangan seksual sering dianggap “jantan” atau “normal,” sedangkan perempuan yang melakukan hal yang sama justru mendapatkan stigma sebagai “tidak bermoral” atau “tidak berharga.” Hal ini mencerminkan standar ganda yang masih kuat dalam masyarakat patriarkal. 

Perempuan yang memilih untuk menikmati kebebasan seksual sering kali dianggap “akalnya setengah,” seolah-olah mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan rasional tentang tubuh mereka sendiri. Bahkan, ada anggapan bahwa jika seorang perempuan menjalani hoe phase, itu berarti dia tidak memiliki standar atau kriteria dalam memilih pasangan.

Padahal ketika seseorang memilih menjalani hoe phase, selama keputusan tersebut berasal dari keinginan pribadi, bukan untuk memenuhi ekspektasi atau hasrat orang lain, tidak masalah. Apa pun keputusan seseorang atas kemauan diri sendiri dan dilakukan dengan tanggung jawab tidak patut direndahkan. 

Baca juga: Menjadi Perempuan Cisgender di Tengah Ragam Gender, Privilege atau Tantangan?

Bagaimana Menghadapi Stigma Hoe Phase?

Menghadapi stigma terkait hoe phase membutuhkan pemahaman yang lebih luas tentang kebebasan perempuan dan pentingnya menghormati pilihan individu. Berikut beberapa cara untuk menyikapi fenomena ini:

  1. Hentikan Penghakiman
    Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, termasuk cara mereka mengeksplorasi seksualitas. Alih-alih menghakimi, penting untuk menghormati pilihan individu, terutama jika keputusan tersebut tidak merugikan orang lain.
  2. Hapus Standar Ganda
    Mengapa kita lebih kritis terhadap kebebasan seksual perempuan dibandingkan kenakalan laki-laki? Seharusnya siapa pun pelakunya mereka berhak atas pilihan hidup mereka. Dan kita seharusnya memperlakukan semua orang dengan adil, tanpa memandang jenis kelamin.
  3. Berhenti Menggeneralisasi
    Hanya karena seseorang menjalani hoe phase, bukan berarti mereka tidak memiliki standar atau kriteria. Seksualitas adalah bagian kompleks dari identitas manusia, dan setiap individu memiliki alasan serta cara masing-masing dalam menjalani fase ini.
  4. Biarkan Mereka Menjalani Fasenya
    Hoe phase adalah bagian dari hidup seseorang. Jika kita membiarkan laki-laki melakukan kesalahan, eksplorasi, atau kenakalan tanpa penghakiman, lantas mengapa kita tidak bisa memberikan ruang yang sama untuk perempuan?

Hoe phase adalah bagian perjalanan seseorang, khususnya perempuan, untuk mengeksplorasi seksualitas mereka tanpa kompromi. Walau sering dicap buruk oleh stigma patriarki, fase ini sebenarnya adalah bentuk pemberontakan—upaya perempuan merebut kendali atas tubuh dan hidup mereka sendiri.

Sebagai masyarakat, sudah saatnya kita berhenti jadi hakim moral. Hoe phase bukan soal memenuhi standar siapa pun, melainkan soal mengenal diri sendiri. Kalau seseorang sedang menjalani fase ini, selama dilakukan dengan tanggung jawab, biarkan saja. itu hidup mereka.

Ironisnya, kita terlalu sibuk mengkritik kebebasan perempuan sementara kenakalan laki-laki terus dirayakan. Padahal, perempuan adalah manusia seutuhnya, bukan sekadar objek seksual. Jangan jadikan tubuh perempuan arena permainan standar ganda.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis  (1)

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis 

Konstruksi Patriarki Terhadap Financial Insecurity Perempuan

RUU PPRT mandeg

Mangkrak 10 Tahun, Puan, Stop Sandera RUU PPRT

Leave a Comment