Home » News » Benarkah Tabungan Gen Z Habis untuk Self-reward dan Healing?

Benarkah Tabungan Gen Z Habis untuk Self-reward dan Healing?

Ais Fahira

News

Benarkah Tabungan Gen Z Habis untuk Self-reward dan Healing

Bincangperempuan.com- B-pers pernah menemukan narasi semacam “Gimana mau nabung, Gen Z kan suka healing?” atau “Gimana mau nabung, dikit-dikit self-reward?” Kalimat semacam itu mencerminkan anggapan bahwa Gen Z adalah generasi yang gemar mengalokasikan uang untuk kesenangan pribadi, seperti membeli makanan favorit, barang hobi, atau sekadar nongkrong di kafe sambil menikmati kopi.

Namun, benarkah generasi ini benar-benar kesulitan menabung hanya karena kebiasaan healing dan self-reward? Atau adakah faktor lain yang membuat kondisi finansial mereka jauh lebih sulit dibanding generasi sebelumnya?

Gen Z, Self-Reward, dan Healing

Sebagai generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, Gen Z tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan. Mereka menghadapi ekspektasi tinggi, baik dari lingkungan kerja, keluarga, maupun media sosial. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika mereka mencari cara untuk memberikan apresiasi terhadap diri sendiri melalui self-reward dan sesekali melakukan healing untuk menjaga kesehatan mental.

  • Self-reward sering dikaitkan dengan kebiasaan membeli barang atau pengalaman sebagai bentuk apresiasi terhadap pencapaian pribadi, misalnya membeli buku setelah menyelesaikan pekerjaan berat atau pergi makan enak setelah gajian.
  • Healing lebih dari sekadar jalan-jalan atau liburan mahal. Konsep ini mencakup segala bentuk usaha untuk mengurangi stres dan kelelahan, termasuk sekadar menghabiskan waktu dengan teman, istirahat sejenak dari media sosial, atau melakukan aktivitas yang menyenangkan.

Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, kebiasaan self-reward dan healing ini sebenarnya bukanlah hal baru. Hanya saja, saat ini narasi tentang keduanya lebih sering muncul di media sosial, sehingga menimbulkan kesan bahwa Gen Z terlalu sering mengalokasikan uang untuk hal-hal tersebut.

Baca juga: Nikah? Nanti Dulu! Kenapa Gen Z Memilih Menunda Pernikahan?

Benarkah Uang Gen Z Habis karena Healing?

Data justru menunjukkan hal yang berbeda. Berdasarkan survei GoodStats, 75% Gen Z mengalokasikan gaji mereka untuk membeli makanan, 63% menyisihkan untuk tabungan dan investasi, 62% digunakan untuk perawatan diri serta membantu orang tua, sementara 56% digunakan untuk hiburan.

Artinya, meskipun hiburan dan perawatan diri menjadi salah satu prioritas, bukan berarti Gen Z menghabiskan seluruh pendapatannya hanya untuk bersenang-senang. Justru mereka masih berusaha untuk menabung dan mengatur keuangan sesuai dengan kondisi yang ada.

Masalah utama bukanlah kebiasaan healing, melainkan biaya hidup yang terus meningkat, sementara pendapatan yang diterima belum tentu mencukupi kebutuhan dasar.

Generasi yang Sulit Sejahtera

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa biaya hidup semakin tinggi, sementara daya beli terus menurun akibat inflasi. Harga barang dan jasa meningkat, tetapi kenaikan pendapatan tidak selalu sebanding. Akibatnya, gaji yang diterima saat ini memiliki daya beli yang lebih rendah dibanding beberapa tahun lalu.

Salah satu indikatornya adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus mengalami tekanan. Per Maret 2025, nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp15.800 per dolar AS, yang tentunya berdampak pada harga barang impor dan kebutuhan pokok. Melemahnya nilai rupiah ini memperparah kondisi ekonomi karena biaya hidup semakin mahal, sementara kenaikan gaji belum tentu mengikuti laju inflasi.

Di sisi lain, permasalahan dalam dunia kerja juga semakin kompleks. Banyak pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi, tetapi menawarkan gaji yang rendah. Selain itu, standar kualifikasi yang ditetapkan oleh perusahaan sering kali tidak realistis. Misalnya, untuk posisi entry-level yang seharusnya terbuka bagi lulusan baru, masih banyak perusahaan yang menetapkan persyaratan pengalaman kerja 1–3 tahun.

Laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa skill mismatch—ketidaksesuaian antara keterampilan pencari kerja dengan kebutuhan industri—menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka pengangguran. Lebih dari 50% perusahaan menyatakan kesulitan menemukan pekerja dengan keterampilan yang sesuai. Sementara itu, para pencari kerja merasa tuntutan kualifikasi yang ditetapkan terlalu tinggi dan sulit dipenuhi.

Situasi ini menciptakan paradoks: ada banyak lowongan pekerjaan, tetapi tidak dapat terisi karena adanya ketidakseimbangan antara ekspektasi perusahaan dan kemampuan pencari kerja. Akibatnya, banyak lulusan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, meskipun mereka memiliki pendidikan yang cukup.

Selain masalah ketenagakerjaan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) juga masih tinggi. BBC Indonesia melaporkan bahwa sejak Januari hingga Agustus 2024, 46.240 pekerja kehilangan pekerjaan. Meskipun ada harapan bahwa angka PHK tahun ini tidak akan melampaui 64.000 kasus seperti tahun lalu, tren ini tetap mengkhawatirkan.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita, menyebut bahwa sejak disahkannya UU Cipta Kerja pada 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Akibatnya, hampir 50.000 buruh terkena PHK sejak akhir 2024, dan Elly memprediksi bahwa gelombang PHK ini belum akan berhenti dalam waktu dekat.

Belum lagi, harga aset seperti rumah semakin tidak terjangkau. Jika dulu memiliki rumah di usia 30-an dianggap sebagai standar kemapanan finansial, kini harga properti sudah melampaui pendapatan rata-rata Gen Z. Biaya DP yang tinggi dan cicilan yang mencekik membuat banyak anak muda terpaksa memilih untuk menyewa atau bahkan tetap tinggal bersama orang tua.

Dengan kondisi ekonomi seperti ini, wajar jika banyak Gen Z kesulitan untuk mencapai standar kemapanan seperti yang diidamkan oleh generasi sebelumnya. Tantangan finansial yang mereka hadapi jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya, bukan sekadar karena kebiasaan self-reward atau healing, tetapi karena sistem ekonomi yang memang semakin tidak ramah bagi anak muda.

Baca juga: Gen Z Generasi Digital Paling Sering Kena Scam? Kok Bisa?

Tidak Ada yang Salah dengan Healing

Narasi bahwa Gen Z boros karena terlalu sering healing sebenarnya hanya menyalahkan individu tanpa melihat faktor sistemik yang lebih besar. Jika biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan lebih terjangkau, serta gaji lebih layak, maka Gen Z tidak perlu merasa terjebak dalam siklus kerja keras tanpa jaminan masa depan yang stabil.

Justru, dalam kondisi yang penuh tekanan seperti ini, menjaga kesehatan mental menjadi hal yang penting. Healing dalam bentuk apa pun bukanlah tindakan boros, melainkan bagian dari mekanisme bertahan di tengah realitas ekonomi yang sulit.

Alih-alih menyalahkan generasi muda karena gaya hidup mereka, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan mengapa sistem ekonomi dan kebijakan yang ada membuat kesejahteraan semakin sulit dicapai. Bagaimanapun, generasi ini tidak bisa terus disalahkan karena ingin hidup dengan sedikit lebih nyaman di tengah ketidakpastian yang ada.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Lima Media Perempuan Ikuti Advance Training for The Media Business Viability

Bincang Perempuan Lolos Coaching SOP KBGO Perusahan Media

Bincang Perempuan Lolos Coaching SOP KBGO Perusahan Media

Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT

Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT?

Leave a Comment