Bincangperempuan.com- Pernikahan dalam Islam umumnya dilakukan dengan kehadiran wali nikah, yang dalam banyak mazhab wali harus berasal dari kerabat laki-laki, seperti ayah, kakek, paman, atau saudara kandung laki-laki. Di Indonesia, hukum yang berlaku mengikuti mayoritas pandangan ulama yang mewajibkan adanya wali laki-laki dalam pernikahan perempuan.
Namun, ada berbagai situasi di mana perempuan kesulitan menemukan wali laki-laki, misalnya karena telah yatim piatu, tidak memiliki saudara laki-laki, atau walinya sendiri menolak untuk menikahkannya. Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan: Apakah perempuan dapat menikahkan dirinya sendiri? Atau bisakah seorang perempuan lain menjadi wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali laki-laki?
Untuk menjawab pertanyaan ini, liputan ini mengangkat perspektif dari Guru Besar Kajian Gender, Prof. Alimatul Qibtiyah, dan aktivis feminis Muslim, Wanda Roxanne.
Baca juga: Feminisme Eksistensialisme, Jalan Menuju Kebebasan Perempuan
Wali Perempuan dalam Islam: Perspektif Prof. Alimatul Qibtiyah
Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, perempuan sebenarnya diperbolehkan menjadi wali nikah. Dirinya bahkan pernah secara langsung berperan sebagai wali dalam sebuah pernikahan bagi seorang perempuan yatim piatu.
“Saya pernah menjadi wali pernikahan, jadi anak tersebut sudah yatim piatu. Saya sebagai wali nikah memastikan apakah pasangannya ini orang baik-baik dalam artian tidak ada niat jahat dan bersedia menerima sang mempelai perempuan serta mengemban tanggung jawab sebagai suami,” paparnya dalam Ngaji Feminis: Konsep dan Perspektif Bodily Autonomy dalam Islam yang telah berlangsung secara online pada Minggu, 16 Maret 2025.
Meskipun secara konsep Prof. Alim telah menjalankan peran sebagai wali nikah, secara praktik formal saat ijab kabul tetap dilakukan oleh saudara laki-laki dari mempelai perempuan.
“Secara metode itu sah! Tapi waktu formalnya posisi wali waktu itu saudara laki-laki. Karena alasannya masih belum lazim dan kesannya wah kayak frontal sekali ya untuk kondisi saat ini. Jadi kalau saya jadi wali nikah pas ijab kabul kayaknya bakal kontroversial” jelasnya.
Menurutnya, perbedaan pandangan soal wali nikah dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok Islam:
- Kelompok Islam Konservatif, yang tetap mempertahankan metode dan praktik formal pernikahan sebagaimana yang telah berlangsung secara turun-temurun.
- Kelompok Islam Moderat, yang bersedia mengubah metode selama tujuannya tetap sama, misalnya dengan membolehkan perempuan menjadi wali dalam kondisi tertentu, meskipun secara formal masih menggunakan wali laki-laki.
- Kelompok Islam Progresif, yang tidak mempermasalahkan metode maupun formalitas dan bersedia menyesuaikan aturan dengan perkembangan zaman, selama tetap mencapai tujuan utama dalam pernikahan.
Prof. Alimatul menegaskan bahwa dalam diskusi di kalangan ulama, persoalan wali perempuan sebenarnya sudah cukup lama dibahas. Namun, pembahasan ini masih jarang didakwahkan secara luas.
“Dulu saya ada ikut konferensi ulama Islam yang mendatangkan syekh dari Mesir. Sebenarnya pendapat soal wali nikah itu sudah biasa dan dapat diterima. Tapi secara umum masih jarang dibahas,” katanya.
Prof. Alimatul menambahkan bahwa meskipun saat ini ada banyak kelompok Islam yang moderat hingga progresif, praktik pernikahan di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh pandangan konservatif terutama di Indonesia.
“Kalau dari Imam Hambali, perempuan itu bisa menikahkan dirinya sendiri dan itu nggak ada masalah sama sekali. Tetapi kan mayoritas yang dianut di Indonesia itu Madzhab Syafi’i, jadi memang masih belum lazim pembahasan soal wali perempuan itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Dikritik Sebagai “Tradwife” oleh Publik, Hannah “Ballerina farm” Speak Up‼️
Hukum Wali Nikah dalam Undang-Undang Indonesia
Senada dengan hak tersebut dalam hukum di Indonesia mayoritas ulama mengatakan bahwa perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri dan harus memiliki wali laki-laki. Indonesia, sebagai negara yang mengikuti mazhab Syafi’i dalam banyak aspek fikih, mengadopsi konsep wali nikah dalam regulasi hukumnya. Hal ini tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur pernikahan umat Islam.
- Pasal 19 KHI:
“Wali nikah dalam suatu akad nikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: laki-laki, beragama Islam, baligh, berakal sehat, tidak dipaksa, adil, dan wali nasab berdasarkan garis keturunan laki-laki menurut urutan terdekat.” - Pasal 20 KHI:
“Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah laki-laki yang memiliki hubungan darah dengan calon pengantin perempuan, sedangkan wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk pemerintah jika wali nasab tidak ada atau tidak memenuhi syarat.”
Dari aturan ini, terlihat bahwa hukum di Indonesia mewajibkan wali laki-laki. Jika wali nasab tidak ada atau menolak menikahkan, maka perempuan harus menggunakan wali hakim, bukan menikahkan dirinya sendiri.
Perspektif Wanda Roxanne: Wali sebagai Bentuk Perlindungan Sosial
Berbeda dengan Prof. Alimatul, aktivis feminis Muslim Wanda Roxanne memiliki pandangan yang lebih berhati-hati dalam soal pernikahan tanpa wali laki-laki. Dalam forum yang sama, Wanda mengutip pandangan Kyai Faqih yang menyatakan bahwa wali pernikahan tetap harus orang lain, bukan perempuan itu sendiri.
“Kalau saya mengutip dari Kyai Faqih, itu sebenarnya walinya harus orang lain, supaya dapat melindungi hak perempuan itu sendiri,” katanya.
Menurut Wanda, sistem perwalian dalam pernikahan juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan sosial bagi perempuan. Hal ini bertujuan agar perempuan tidak dianggap remeh atau disia-siakan oleh calon suaminya.
“Dalam kondisi masyarakat yang saat ini masih patriarkal, perempuan masih sering dianggap rendah, bahkan rentan sekali untuk diremehkan, dan disia-siakan. Oleh karena itu kehadiran wali berfungsi untuk memberi dukungan dan perlindungan bagi perempuan dalam pernikahan,” jelasnya.
Dari perspektif sosial, kehadiran wali memang memiliki peran yang penting dalam menjaga hak perempuan dalam pernikahan. Hal ini juga berkaitan dengan struktur sosial yang masih memandang perempuan sebagai kelompok yang lebih rentan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dinamika Wali Nikah dalam Konteks Islam dan Perubahan Sosial
Pada akhirnya, pernikahan merupakan institusi yang sakral dalam Islam, dan peran wali dirancang untuk melindungi hak serta kesejahteraan perempuan.
Meskipun mayoritas ulama masih menekankan pentingnya wali laki-laki dalam pernikahan, terdapat pandangan yang membolehkan perempuan menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain, terutama dalam kondisi tertentu. Imam Hambali, misalnya, memiliki interpretasi yang lebih fleksibel terkait masalah ini.
Di Indonesia, praktik perempuan menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain masih jarang diterapkan karena dominasi Mazhab Syafi’i. Namun, diskusi mengenai hal ini terus berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan keadilan gender dan perubahan konteks sosial. Karena hadirnya perdebatan ini mencerminkan bagaimana fiqih terus berkembang sesuai dengan konteks sosial dan budaya yang berubah.
Dengan demikian, penting bagi setiap individu dan komunitas Muslim untuk memahami berbagai pandangan yang ada serta menyesuaikannya dengan kondisi zaman, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat Islam. Dengan begitu, hukum Islam dapat tetap relevan dan responsif terhadap realitas kehidupan masyarakat modern.
Referensi:
- Mahkamah Agung RI. (2011). Himpunan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam serta Pengertian dalam Pembahasannya. Jakarta: Mahkamah Agung RI.