Yanti merupakan anak mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ayahnya pernah ditangkap, ditelanjangi, diculik, disekap, dan disiksa sampai luka disekujur tubuh hingga mengalami patah tulang. Intimidasi dan ancaman juga meneror keluarga Yanti. Ingatan tragis puluhan tahun lalu itu masih membekas. Yanti dan keluarga pun masih berjibaku memulihkan trauma.
Bincangperempuan.com- “Cit gara-gara ayah kah nyoe, maka jih gampong hana aman le (gara-gara ayah kamu, makanya situasi di desa tidak aman lagi),” cacian itu dilontarkan tetangga kepada Yanti saat masih duduk di bangku kelas 6 SD.
Ia tidak langsung mengerti maksud dari cacian yang dialamatkan kepada dirinya. Namun, hatinya sudah pasti terluka mendengar cacian itu. Situasi desa tempat tinggalnya di Indrapuri, Aceh Besar memang sudah berubah.
Pos-pos pemeriksaan tentara didirikan dalam desa-karena pemerintah memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Warga panik melihat tentara berseragam lengkap dan bersenjata di desa. Ketakutan warga desa kemudian membuat warga jengkel kepada keluarga Yanti.
Sebab, Ibrahim, ayah Yanti, dituduh menjadi alasan tentara masuk ke desa. Ibrahim dituding tergabung dalam kelompok pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Yanti baru mengetahui Ibrahim kombatan GAM setelah dikata-katai warga desa. Ia menjadi semakin yakin tudingan dari warga desa itu menyasar pada keluarganya sejak teman-teman Ibrahim lengkap dengan senjata sering bertandang ke rumah. Ibrahim sendiri direkrut oleh GAM karena memiliki keahlian merakit bom ikan. Keahlian itu kemudian membawa Ibrahim menjadi perakit senjata untuk GAM.
Sejak direkrut menjadi kombatan GAM. Ibrahim pernah ditangkap sampai tiga kali. Penangkapan pertama terjadi saat Ibrahim di Pulau Sabang hendak menyeberang ke Banda Aceh. Dalam perjalanannya menuju pelabuhan, Ibrahim disergap dan ditangkap karena diduga memasok senjata api untuk kombatan GAM di Sabang.
“Ada surat penangkapan, lalu dibawa dan diinterogasi karena dituduh membawa senjata api untuk GAM yang ada di sana,” kata Yanti saat ditemui Bincang Perempuan pada Senin, (26/06/2023).
Saat diinterogasi, Ibrahim ditelanjangi menyisakan celana dalam saja di tubuhnya. Kaki dan tangan Ibrahim diikat di tong besi berwarna biru. Kemudian, ia diletakkan di pinggir jurang di Kilometer 0 Sabang. Ibrahim diminta mengaku telah memasok senjata api untuk GAM.
“Kalau kamu tidak mengaku saya tembak,” begitulah kira-kira ucapan aparat TNI kepada Ibrahim yang diceritakan Yanti. Kisah ini pun bisa Yanti ketahui karena diceritakan langsung oleh Ibrahim.
Ibrahim kemudian mengakui tuduhan itu. Itu siasat Ibrahim untuk menyelamatkan diri. Ia berpura-pura dan mengaku menyembunyikan senjata api untuk kombatan GAM di dalam kebun.
“Lalu, dibawa ke situ. Bapak pura-pura korek lahan untuk menyakinkan benar ada senjata di dalam tanah,” cerita Yanti.
Ibrahim memanfaatkan situasi itu sembari melarikan diri ke arah hutan. Sempat terjadi perkelahian. Senjata dari aparat yang menangkap dirinya berhasil direbut. Ibrahim berhasil melarikan diri ke arah hutan, bersembunyi di dalamnya dalam kurun waktu yang lama.
“Lama Bapak sembunyi di Sabang dalam hutan dan semak-semak. Proses untuk balik ke Banda Aceh harus menyamar menjadi perempuan memakai baju daster, kacamata, dan topi dengan kondisi badan luka-luka,” imbuh Yanti.
Setelah berhasil kembali ke Banda Aceh, Ibrahim sempat dititip di sebuah lembaga dalam jangka waktu tertentu. Karena situasi tidak aman, lbrahim pulang secara sembunyi-sembunyi. Namun, lagi-lagi tidak bisa langsung pulang ke rumah. Ia kembali bersembunyi di dalam hutan.
“Kami buat tempat tidur ala seadanya di sana,” kenang Yanti.
Baca juga: Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan
Ibrahim kembali ke rumah setelah luka akibat penyiksaan yang dialami saat ditangkap di Sabang berangsur-angsur pulih. Ibrahim juga bisa beraktivitas normal lagi. Tetapi tetap tidak seperti sedia kala. Aktivitas yang bisa dilakukan hanya sebatas sampai teras rumah.
“Kalau aktivitas kerja tidak bisa lagi, paling tulang punggung itu mamak sama kakak. Mamak bertani dan kakak berjualan kelontong di pinggir jalan,” katanya.
Tidak lama, surat penangkapan kembali dialamatkan ke Ibrahim. Ini kali kedua dia ditangkap. Saat itu, ibu Yanti harus menjual ladang yang ada di Sabang tempat Ibrahim dulu berpura-pura menyimpan senjata. Ladang itu dijual seharga Rp50 juta, uangnya dipergunakan untuk menebus Ibrahim.
Penyiksaan Makin Pedih
Belum genap sebulan Ibrahim ditangkap. Ibrahim kembali diculik oleh sekelompok orang bersenjata. Kali ini mereka tidak berseragam dan tidak membawa surat penangkapan. Rupa dan pakaian mereka terlihat seperti preman. Mereka datang dengan mengendarai mobil doff hitam. Mobil itu diberhentikan tepat di depan rumah nenek Yanti yang berada di pinggir jalan.
Saat sekelompok penculik itu datang, Ibrahim dan keluarga sedang duduk bersantai di teras rumah nenek yang juga masih di kawasan Aceh Besar pada pagi hari sekitar pukul 08.30 WIB. Ibrahim mengenakan baju koko lengkap dengan sarung. Sementara Yanti yang sudah duduk dibangku kelas 2 SMP sedang bermain bersama kemenakannya.
Sekelompok orang bertubuh tegap itu turun dari mobil, mereka berjalan masuk sambil menodongkan senjata. Ibrahim pun dibawa paksa masuk ke dalam mobil.
Yanti berlari memanggil Ibrahim yang dibawa. Ibrahim menolak menjawab, ia membentak anak bungsunya itu “Kah keon aneuk lon (kamu bukan anak saya),” begitulah ucapan yang dilontarkan Ibrahim. Yanti terkejut mendengar ucapan Ibrahim. Hatinya sakit karena tidak diakui sebagai anak.
Sebenarnya, itu bukan kali pertama Ibrahim tidak mengakui anak kandungnya. Saat Ibrahim ditangkap pada kali kedua, abang Yanti yang duduk dibangku SMA juga tidak diakui sebagai anak oleh Ibrahim. “Jih keon aneuk lon, aneuk adek lon (Dia bukan anak saya, tetapi anak adek saya),” kata Ibrahim kepada aparat saat ditangkap.
Kesedihan Yanti tidak diakui sebagai anak masih terasa hingga usianya kini menginjak 35 tahun. Air matanya pasti akan berlinang mengingat kejadian itu. Namun, hatinya sudah ikhlas karena menyadari bahwa ucapan Ibrahim itu justru untuk menyelamatkan anak-anaknya.
“Saat itu masih kecil tidak tahu tujuan Bapak bilang begitu, cuma ada rasa kecewa,” tuturnya..
Malam sebelum penangkapan, Ibrahim seperti sudah mempunyai firasat. Ia menyampaikan pesan kepada Yanti “Singoh menyo bapak hana lee kalon kalon mak beuh, menyoe na peng singoh bloe baje ke mah peusenang mak (besok kalau Bapak tidak ada lagi tolong lihat mamak ya, kalau ada uang belikan baju untuk mamak senangkan hati mamak),” pesan Ibrahim.
Yanti berpikir pesan itu karena Ibrahim hendak pergi melaut lagi untuk menangkap ikan. Maklum, biasa nelayan menghabiskan waktu sebulan di perairan untuk menjala ikan.
Mobil doff hitam yang menculik Ibrahim itu melaju ke Banda Aceh. Keluarga tidak tinggal diam atas penculikan paksa itu. Mereka membuat laporan ke Pos Kopassus setempat untuk melaporkan penculikan Ibrahim.
Rupanya, Ibrahim memang disekap di Pos Kopassus Indrapuri. Yanti mengetahui informasi ini karena pernah diceritakan Ibrahim saat sudah dilepaskan.
Pasca penculikan, Ibrahim dibawa ke Krueng Jreu. Di situ ia disiksa, dipukul hingga menyebabkan dua lengannya patah, tulang rusuk patah, tulang kaki juga keluar di antara luka luka akibat penyiksaan. Lalu, ia kembali disekap di Kopassus Indrapuri.
Rencananya setelah disiksa hari itu, Ibrahim ditinggalkan di hutan kawasan Krueng Jreu. Namun, melihat Ibrahim masih hidup setelah disiksa secara sadis. Ia dibawa kembali ke Pos Kopassus Indrapuri.
Di sana, penyiksaan kembali didapatkan. Ibrahim yang masih luka sekujur tubuh dipaksa makan nasi pakai cabai. “Pokoknya setiap hari disiksa, makan nasi lebih banyak cabai rawitnya. Memang harus makan sama cabainya,” jelas Yanti.
Penyiksaan itu dirasakan Ibrahim selama sebulan lebih. Bersyukur salah satu di antara aparat masih ada yang memiliki nurani. Ibrahim dilepaskan secara diam-diam. Ia dipakaikan seragam tentara lengkap dengan topi dan diantar pulang pada pukul 03.00 WIB dini hari ke rumah tempat dirinya diculik.
“Mi, Mi, pat kah Mi? (Mi, mi, di mana kamu Mi),” Mi-panggilan Ibrahim untuk Ibunya. Ia memanggil-manggil meminta dibukakan pintu.
Yanti dan keluarga saat pemberlakuan DOM sudah tidak tinggal lagi di rumah. Mereka tidur di rumah nenek. Saat tidur pun hanya sekadar berbaring, tidak bisa nyenyak karena pikiran mereka sudah diselimuti ketakutan. Mendengar suara gonggongan anjing saat malam hari saja sudah bisa membuat mereka berjaga dalam tidur.
Sekembalinya Ibrahim pasca penculikan, Ibrahim hanya dirawat di rumah tidak bisa dibawa ke rumah sakit karena situasi yang tidak aman khususnya bagi anggota kombatan GAM. Untuk sekadar mendapatkan obat dari apotek saja sangat sulit, mereka akan dicecar banyak pertanyaan.
Baca juga: Rama Herawati, Perempuan di Balik Universitas Syiah Kuala Bebas Sampah
Ibrahim pun hanya dirawat berbekal obat tradisional saja. Padahal, luka disekujur tubuhnya itu membutuhkan penanganan dari dokter profesional. Karena penanganan seadanya, Ibrahim akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat pagi tahun 2002.
Trauma Keluarga dan Upaya Bangkit dari Ketakutan
Sepeninggal Ibrahim, mental Ibu Yanti terguncang. Makan tidak selera tidur juga tidak nyenyak. Sampai saat ini pun, ibunya masih kesulitan tidur apabila sudah lewat pukul 00.00 WIB karena masih merasa ketakutan. Suara dentuman saja bisa membuat ibunya merasa was-was.
“Paling jam 21.00 WIB sudah terkantuk. Tetapi, jam 00.00 ke atas sudah tidak bisa tidur. Apakah itu salah satu efek dari trauma kita tidak tahu karena tidak mendapat penanganan pemulihan trauma,” kata Yanti.
“Mamak sempat ngomong tidak nyambung juga, kadang duduk sendiri, termenung, habis itu ngomong. Sekarang alhamdulliah sudah tidak lagi, cuma tidur aja masih terganggu,” katanya.
Hingga kini, Ibu Yanti dan keluarga tidak pernah mendapatkan bantuan pemulihan trauma dari pemerintah. Namun, mereka sering didatangi oleh sejumlah orang untuk diminta KTP.
“Didatangi sering minta KTP, cuma sulit mendapatkan informasi. Untuk apa KTP kita tidak jelas, saat ditanya dibilang diminta orang yang di atas. Lalu, nanti diantar gula 2 kg, dulu pas hari meugang (tradisi masak daging di Aceh dua hari sebelum hari Ramadhan dan Lebaran) diantar daging, kadang dikasih duit Rp300 ribu pernah juga Rp1 juta,” katanya.
Mereka juga pernah mendapatkan uang dhiyat (uang untuk korban konflik yang meninggal). Ibunya menerima sebesar Rp2 juta dalam dua kali tahap. Namun, baru-baru ini ia mendapat informasi uang dhiyat yang seharusnya diterima itu Rp40-60 juta.
“Selebihnya tidak pernah lagi sampai sekarang. Kalau dulu ada diantar daging meugang utusan dari Panglima Sagoe. Kami tahunya dia GAM juga dulu dan dari mana sumber sumbangan itu tidak dijelaskan,” katanya.
Kondisi Yanti juga tidak jauh berbeda dengan ibunya, suaranya bergetar dan kalimatnya terbata-bata kala diminta menceritakan kembali tragedi konflik yang menimpa keluarganya. Ia masih sering bermimpi buruk dan sulit tidur jika mengingat kejadian itu.
“Saya sebenarnya bimbang juga saat diminta cerita tentang peristiwa ini, soalnya sulit tidur sampai empat hari kalau mengingat kejadian itu, tetapi ini penting untuk diceritakan agar menjadi pembelajaran untuk ke depan,” katanya.
Trauma sebenarnya sudah dirasakan Yanti sejak di sekolah. Masa itu, ia sering dipanggil oleh aparat dan GAM. Ia selalu dicecar pertanyaan tentang identitas ayahnya.
“Saat di sekolah tiba-tiba sudah dipanggil. Nanti datang tentara bertanya anak siapa kamu, kita tidak berani kasih tahu, kadang mau sekolah tidak berani karena orang itu di pos asal pagi sudah duduk di simpang. Merasa nanti diikuti,” katanya.
Karena itu, Yanti selalu mengubah-ubah nama asli orang tuanya saat diminta mengisi biodata dari pihak sekolah. Ia tidak berani menuliskan nama asli orang tua kandungnya karena takut diintimidasi.
“Ketakutan kita kalau kasih biodata asli kadang apa yang terjadi kepada keluarga kita, itu masa Bapak belum diculik,” katanya.
Selain trauma, tragedi konflik juga memaksa Yanti harus menguburkan cita-citanya menjadi guru karena terpaksa putus sekolah saat duduk di bangku SMA. Kondisi ekonomi keluarganya saat itu sudah tidak stabil lagi sebab hanya mengandalkan penghasilan dari ibunya saja berladang di sawah.
“Cuma mamak aja yang bekerja, penghasilan utama dari sawah. Ladangnya pun milik orang lain. Itu pun masih ada sisa SPP yang belum dilunaskan sampai sekarang sekitar Rp2 juta dan rencananya akan saya lunaskan juga nanti,” katanya.
Usai putus sekolah, Yanti juga harus terpaksa menikah di usia dini 17 tahun. Ibunya meminta Yanti segera menikah. Namun, Yanti menolak karena ingin melanjutkan kuliah dan meraih impian menjadi guru.
“Meunyo han katem bah matee lon deh (Kalau tidak mau biar saya yang mati),” ucap Ibunya. Mendengar perkataan itu Yanti pun luluh. Ia memahami maksud ibunya yang sebenarnya berniat baik untuk masa depannya agar ada orang yang bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan Yanti seandainya ibunya tidak bisa lagi bersamanya.
Meski masih dibaluti dengan rasa trauma dan ketakutan. Mereka harus bangkit untuk melanjutkan hidup. Kini, Yanti pun perlahan-lahan sudah berani membuka diri dan membagikan cerita pahitnya itu kepada orang banyak.
“Dulu tidak berani bicara gini depan orang, takut, kalau ngomong agak gagap. Kalau sekarang alhamdulillah tidak pandai kali cuma bisa tampil di masyarakat,” katanya.
Pelan-pelan Yanti berdamai dengan trauma meskipun sulit pulih sepenuhnya berkat sering bergabung dengan Flower Aceh-LSM yang mendukung hak-hak perempuan di Aceh. Sejak itu, Yanti bisa kembali ceria dan sedikit melupakan masa pahitnya.
Saat ini, Yanti disibukkan dengan banyak kegiatan sebagai kader PKK, Posyandu, dan berbagai aktivitas kelompok perempuan akar rumput. Beberapa kali ia juga turut menjadi pendamping perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.(**)