Home » News » Dampingi 23 Desa dan 9 Kecamatan, Upaya CP WCC Turunkan Angka KDRT di Bengkulu 

Dampingi 23 Desa dan 9 Kecamatan, Upaya CP WCC Turunkan Angka KDRT di Bengkulu 

Anisa Sopiah

News

Cahaya Perempuan Women Crisis Centre
  • Kehadiran Staf Lapangan Cahaya Perempuan Women Crisis Center (CP WCC) seringkali ditentang tokoh agama, tokoh adat, hingga mendapat ancaman personal karena dianggap mengajak perempuan untuk melawan pasangan.
  • Pendampingan terhadap 23 desa dan 9 kecamatan di Provinsi Bengkulu tetap konsisten dilakukan untuk menurunkan angka kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Provinsi Bengkulu.
  • Perjuangan itu membuahkan hasil, menurunkan angka kekerasan dan angka perkawinan anak hingga melahirkan peraturan pencegahan perkawinan anak di tingkat kabupaten.  

Bincangperempuan.com- Hingga November 2023, dilansir dari Simfoni KemenPPPA, jumlah kasus kekerasan berbasis gender di Provinsi Bengkulu mencapai 331 kasus, dengan 282 diantaranya dialami perempuan. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual menempati urutan pertama kasus kekerasan tertinggi di Provinsi Bengkulu, yakni sebanyak 173 kasus. Menyusul kekerasan fisik 110 kasus dan kekerasan psikis 72 kasus.

Ironinya, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru malah menjadi tempat paling banyak ditemukan kasus kekerasan. Dilaporkan bahwa laporan kasus KDRT di Provinsi Bengkulu mencapai 202 kasus. Miris ketika data mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan berdasarkan hubungan, paling banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat di lingkup keluarga, sebanyak 39 kasus dilakukan orang tua, 36 kasus dilakukan oleh suami/istri, 26 kasus dilakukan oleh saudara, dan 37 kasus lainnya dilakukan oleh tetangga. Ini memperjelas data yang menunjukkan bahwa korban kekerasan terbanyak juga berasal dari lingkup rumah tangga yakni sebanyak 216 korban.  

KDRT memang menjadi masalah menahun yang terus terjadi di Provinsi Bengkulu. Tahun lalu, kepada Bincang Perempuan, Kepala UPTD PPA Kota Bengkulu Ermawati mengatakan mayoritas kasus kekerasan seksual yang dilaporkan di tahun 2022 merupakan KDRT, incest dan pencabulan. Laporan ini membuktikan bahwa KDRT merupakan masalah serius di Provinsi Bengkulu yang harus segera ditangani. 

Baca juga: Purwani, Perempuan Pelestari Hutan Larangan di Bengkulu

Upaya Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dari Akar Rumput 

Melihat urgensi ini, Cahaya Perempuan WCC tergerak untuk melakukan pencegahan kekerasan dari level rumah tangga melalui Desa Dampingan Cahaya Perempuan WCC, sebuah program pendampingan kelompok masyarakat yang melibatkan tokoh agama dan tokoh adat di desa. Terhitung sejak tahun 2011, lembaga ini sudah mendampingi 23 desa dan 9 kecamatan yang tersebar di Kota Bengkulu, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kepahiang. 

Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Leksi Oktavia mengatakan di tingkat desa dan kelurahan, Cahaya Perempuan membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target pendampingan. Target dampingan pun bermacam-macam, mulai dari kelompok ibu-ibu dan perempuan dewasa, kelompok laki-laki muda dan ayah, dan kelompok anak umur 12 tahun yang sedang memasuki fase menstruasi dan mengenal lawan jenis. 

“Kita melibatkan laki-laki karena kekerasan terhadap perempuan itu kalau hanya perempuannya saja yang tahu, kalau sudah berumah tangga itukan seperti kayak kita melawan atau membangkang, tapi kalau suaminya diberikan penyadaran itu artinya hak itu diberikan secara sadar,” ujar Leksi. 

Berbagai kegiatan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas dilakukan seperti penyiapan layanan berbasis komunitas untuk pelayanan pada perempuan korban kekerasan, pengorganisasian komunitas, advokasi kebijakan dan anggaran di desa, pelayanan perempuan korban kekerasan, serta diskusi rutin setiap bulannya. 

“Kita awali dengan diskusi dulu, kapasitasnya dulu yang kita isi, terkait macam-macam kekerasan, kemudian materinya berkelanjutan berkaitan dengan hak perempuan,” jelasnya. 

Di tingkat kabupaten, Cahaya Perempuan rutin mengadakan diskusi setiap 3 bulan sekali melibatkan tokoh agama dan pemangku kebijakan seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian, dan instansi terkait lainnya. 

Leksi mengatakan program ini dilakukan untuk menyelesaikan akar masalah yang sering terjadi di masyarakat kalangan bawah dan di keluarga. Menurutnya, selama ini upaya pemerintah menumpas kekerasan berbasis gender masih sebatas sosialisasi dengan melibatkan perwakilan masyarakat yang cenderung sudah paham dengan isu gender, seperti kepala desa, kepala dinas, dan petinggi lainnya. Padahal menurutnya, yang lebih memerlukan sosialisasi adalah masyarakat biasa. 

“Masyarakat juga ngomong, yang diundangkan itu kan biasanya orang aktif di kelurahan misalnya Pak RT, Pak RW, mayoritas memang orang yang paham, tapi bagaimana dengan masyarakat yang tidak diundang? Mereka berharap kegiatan itu diadakan di tempat mereka,” terangnya. 

Permintaan tersebut justru datang langsung dari Ketua RW setempat. Ia menilai bahwa penyampaian informasi terkait perlindungan anak dan perempuan serta regulasi yang mengatur tentang kekerasan memang perlu disampaikan secara langsung oleh ahlinya agar kepercayaan tersebut terbangun di masyarakat. 

“Ya senangnya seperti ini, jadi masyarakat langsung bukan saya yang dicerdaskan, jadi masyarakat ini denger sendiri loh terkait hukumnya, terkait dampaknya, kadang-kadang kalau dikasih tahu dari Pak RT dianggap belum ahli tapi kalau ada lembaga yang memang khusus untuk itu dia hadir berbicara tentang itu jadi lebih meyakinkan disertai dengan  pendampingan yang rutin,” kata Leksi menirukan pernyataan dari salah satu Ketua RW desa dampingan Cahaya Perempuan WCC. 

Oleh karena itu, Leksi berharap upaya penurunan angka kekerasan berbasis gender di Bengkulu tidak hanya dilakukan dengan pemberian informasi sekali lintas, namun perlu pendampingan yang intens, berkala, dan dalam waktu yang cukup lama dengan turun langsung ke masyarakat sehingga dapat mendorong perubahan perilaku. 

Baca juga: Perempuan Pulau Pari Mengeluh Sulitnya Menjaga Laut dan Pesisir

Tidak Mudah, Cahaya Perempuan Pernah Ditolak, Ditentang hingga Diancam

Kedatangan Cahaya Perempuan tidak diterima begitu saja. Stigma negatif tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat kental di pedesaan. Oleh karena itu upaya pendekatan dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Kalau mau ke desa kita sowan dulu sama Pak Kades, kita jelaskan bahwa kita lembaga perempuan. Awalnya, memang banyak yang mengatakan, salah satunya Pak Sekdes yang pernah kami temui, yang namanya LSM itu mereka (pihak desa) sudah tutup pintu, ‘karena pasti mereka cari duit di desa kami’ katanya, tapi kenapa melihat Cahaya Perempuan ini tidak,” tuturnya. 

Kehadiran Cahaya Perempuan ke desa tersebut merupakan hasil rekomendasi dari Dinas Kesehatan berdasarkan wilayah dengan tingkat masalah yang cukup tinggi. Oleh karena itu, Cahaya Perempuan WCC datang untuk membantu memfasilitasi proses penyelesaian masalah bukan justru malah menambah masalah. 

“Kami jelaskan karena kami memang tidak pernah meminta uang 1 rupiah pun dari masyarakat. Kami dapat informasi kenapa ke desa itu dari dinas rekomendasi, menurut dinas desa ini butuh sehingga kami datang ke sana,” jelasnya. 

Tidak berhenti sampai di sana, dalam proses menyampaikan informasi, Cahaya Perempuan WCC juga pernah ditentang oleh tokoh adat dan tokoh agama. Hal itu terjadi ketika ada kesalahpahaman yang beredar di masyarakat tentang surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan Tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan serta pukullah mereka. Lalu jika mereka telah menaati kamu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” (QS an-Nisa [4]: 34). 

Ayat ini kerap disalahartikan sebagai alasan dibolehkannya tindakan kekerasan pada istri. 

“Awalnya kita pernah ditentang oleh tokoh adat dan tokoh agama yang menganggap itu adalah secara muslim itu wajar, padahal itu kan ayat-ayat yang dipotong,” cerita Leksi. 

Oleh karena itu, Cahaya Perempuan rutin mengkaji ayat-ayat yang seringkali disalahartikan untuk menjadi landasan kekerasan terhadap perempuan. Kajian tersebut dilakukan dengan melibatkan Profesor Budi Kisworo dihadirkan sebagai narasumber dan fasilitator sehingga terbangun kesadaran bahwa selama ini pemahaman dan tindakan yang dilakukan keliru. 

“Misalnya di daerah itu, kalau ada yang melakukan perbuatan mesum langsung diarak tanpa mengenakan busana, itukan menjadi pertentangan. Itu dulu dianggap biasa saja biar kapok, tapi kan ada hal lain yang harus dipertimbangkan secara asas kemanusiaan,” lanjutnya. 

Untuk membangun hubungan kepada masyarakat, Cahaya Perempuan mengirimkan satu staf lapangan per wilayah dampingan untuk tinggal di desa selama periode pendampingan, membaur dengan masyarakat. Namun tidak jarang, staf lapangan yang bertugas sebagai perpanjangan tangan Cahaya Perempuan dalam menyebarkan edukasi malah mendapat ancaman dari warga sekitar. 

“Bahkan staf lapangan sempat diancam, ‘jangan lagi ya ajak-ajak istriku dengan kegiatan-kegiatan kalian’, jadi ya ancamannya seperti itu. Sampai staf lapangan menangis ketakutan, bayangkan staf lapang diancam padahal kenyataanya dia hidup di sana,” ujar Leksi dengan nada prihatin. 

Namun, tantangan tersebut tidak menyurutkan perjuangan Cahaya Perempuan. Apabila ada aduan tentang ancaman atau kendala yang dirasakan staf lapangan, staf tersebut langsung diberikan penguatan serta pendampingan melakukan untuk komunikasi ke masyarakat. 

“Kami lakukan komunikasi dan negosiasi kepada masyarakat. Hal itu kami lakukan sehingga yang mengancam sadar ‘ternyata istriku ini bukan diajak untuk hal-hal yang membangkang, ternyata terkait penyadaran haknya,” terang Leksi. 

Berhasil Turunkan Angka Perkawinan Anak hingga Lahirkan Peraturan Bupati 

Selama 12 tahun berjalan, Program “Desa Dampingan Cahaya Perempuan WCC” sudah memberikan dampak yang signifikan terhadap desa-desa di Provinsi Bengkulu. Perubahan paling signifikan terlihat di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Sejak tahun 2016,  terjadi penurunan drastis angka kawin anak di Desa Talang Tinggi. Gerakan pencegahan kawin anak juga terjadi di Desa Sidoluhur dengan lahirnya peraturan desa mengenai batas usia anak. Di tingkat kabupaten, diskusi rutin melibatkan multi stakeholder juga telah melahirkan peraturan Bupati Nomor 27 Tahun 2018 terkait Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Seluma. 

“Semenjak beberapa tahun dan itu diungkapkan langsung oleh kades sudah tidak ada lagi (kawin anak), anak-anak setelah tamat SMA mereka ke kota mau kuliah, kalo nggak ada ya mereka bekerja,” terang Leksi. 

“Di desa Sidoluhur itu Kadesnya sudah membuat surat edaran peraturan desa. Awalnya dia ditentang sama keluarganya tapi kadesnya nggak gentar dijelaskan nggak boleh nikah di bawah umur 21 tahun, akhirnya diikuti sama masyarakatnya,” lanjutnya. 

Berdasarkan penuturan Ibu Tri Sapta selaku Ketua PKK Desa Talang Prapat, sebelum Cahaya Perempuan WCC memberikan informasi terkait perkawinan anak yang berdampak pada anak stunting, angka kawin anak di desa ini sangat tinggi, dalam 6 bulan itu ada 6 orang yang menikah di usia anak. Namun setelah Cahaya Perempuan masuk desa di tahun 2021, Ketua PKK dan kader lainnya menjadi proaktif memberikan informasi pada masyarakat dan memberikan layanan jika ada yang akan melakukan prosesi perkawinan di bawah 19 tahun. Ibu-Ibu PKK juga membuat dan memberi makanan tambahan bagi bayi dan balita stunting. 

“Nah setelah bergabung ke Cahaya Perempuan dia menyatakan sampai awal 2023 tidak ada lagi yang kawin anak, angka stuntingnya 0,” katanya. 

Kedepannya Leksi berharap program ini dapat terus berlangsung dan didukung penuh oleh pemerintah, terutama terkait pendanaan yang selama ini masih bergantung pada donor. 

“Hanya saja Cahaya Perempuan punya keterbatasan, ini kalau nggak ada pendanaan kita belum bisa beraktivitas karena sampai saat ini pemerintah sendiri belum ada memberikan sumber dana (belum masuk ke anggaran),” terangnya. 

Sejak tahun 2015, program-program Cahaya Perempuan mendapat dukungan dana dari berbagai donor diantaranya WPF, Canada fund, AusAID, Hibah Pemda Provinsi Bengkulu, APBN melalui program Organisasi Bantuan Hukum Kemenkumham, Cowater, Asian Community Trust, dan FAMM Indonesia.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, kekerasan seksual

Artikel Lainnya

Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda

Cherophobia: Menyelami Kekhawatiran terhadap Kesenangan Berlebihan

Negara Anggota dan Mitra ASEAN Tegaskan Komitmen Implementasi Rencana Aksi Regional : Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan

Leave a Comment