Home » News » Dari Reformasi ke Represi? Penyintas 98 Bicara Soal RUU TNI

Dari Reformasi ke Represi? Penyintas 98 Bicara Soal RUU TNI

Ais Fahira

News

Dari Reformasi ke Represi Penyintas 98 Bicara Soal RUU TNI

Bincangperempuan.com- Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang saat ini tengah dibahas secara diam-diam menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) dan organisasi masyarakat sipil. Pasalnya, revisi ini berpotensi mengembalikan peran TNI dalam ranah sipil, mengingatkan publik pada sejarah kelam dwifungsi ABRI di era Orde Baru.

Penolakan terhadap RUU ini juga datang dari Aliansi Perempuan Indonesia (API). Seperti yang disampaikan Selasa (18/03/2025) dalam konferensi pers daring untuk menyatakan sikap mereka.

“Kembalikan TNI ke barak dan Tolak RUU TNI,” tegas API dalam pernyataan resminya.

Menurut API dan berbagai kelompok sipil lainnya, RUU ini membuka kembali luka lama penyintas pelanggaran HAM di masa lalu. Pasal-pasal dalam revisi UU ini dianggap memberikan legitimasi bagi TNI untuk masuk ke ranah sipil, sesuatu yang seharusnya telah dihapus sejak reformasi 1998.

Baca juga: Susilawati, Perempuan Penyintas Konflik Agraria di Jambi

Sejarah Kelam Orde Baru: Mengapa TNI Tak Boleh Berperan di Ranah Sipil?

Pendeta Emmy Sahertian dari Kupang, menanggapi RUU TNI dalam Konferensi Pers Aliansi Perempuan Indonesia. (foto: screenshoot zoom meeting)

Di bawah pemerintahan Orde Baru, Indonesia hidup dalam bayang-bayang dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sebuah kebijakan yang memberikan peran ganda bagi militer—sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik.

Sejak era Presiden Soeharto, ABRI (sebelum TNI-Polri dipisah) memiliki kewenangan luas dalam mengatur berbagai aspek kehidupan sipil. Militer tidak hanya menduduki jabatan strategis di pemerintahan, tetapi juga turut campur dalam urusan ekonomi, sosial, dan politik.

Keberadaan militer dalam ranah sipil saat itu mengakibatkan banyak pelanggaran HAM, termasuk penculikan aktivis, penghilangan paksa, pembungkaman pers, serta represi terhadap kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Salah satu contoh paling nyata adalah tragedi 1998. Aktivis yang berani mengkritik pemerintah diculik dan disiksa. Hingga kini, beberapa di antara mereka masih hilang tanpa kejelasan.

Pendeta Emmy  Sahertian, penyintas tragedi 1998, mengungkapkan kekecewaannya atas wacana RUU TNI yang dinilai hanya akan mengulang sejarah kelam itu.

“Pelanggaran HAM masa lalu saja belum selesai, lalu datang wacana ini. Seakan-akan membuka luka masa lalu korban 1998,” ujar Emmy dalam konferensi pers API.

Dia juga menyoroti bagaimana negara lain, seperti Filipina, sudah berupaya mengadili para pelaku pelanggaran HAM masa lalu, sementara Indonesia justru membuka peluang bagi militer untuk kembali berkuasa di ranah sipil.

“Kalau di Filipina itu mereka yang melakukan pelanggaran HAM masa lalu bisa ditindak. Sedangkan mengapa kita tidak? Mereka saja belum dihakimi, lalu diberi otoritas kembali? Saya sungguh kecewa sekali,” tambahnya.

Baca juga: Beri Ruang Aman, Siapkan Pendampingan Bagi Penyintas Kekerasan 

RUU TNI: Kembali ke Rezim Militer?

RUU TNI yang kini dibahas secara tertutup memuat pasal-pasal yang berpotensi menghidupkan kembali peran militer dalam kehidupan sipil.

Selain itu, kehadiran militer dalam urusan sipil juga berisiko menciptakan impunitas. Salsa, moderator dalam konferensi pers API, menyoroti bahwa tentara yang masuk ke ranah sipil tidak akan tunduk pada hukum sipil.

“Dengan adanya TNI masuk ke ranah sipil, mereka kebal dari hukum sipil karena hanya bisa diadili di peradilan militer,” jelasnya.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam berbagai kasus, militer kerap terlibat dalam konflik perampasan tanah, proyek-proyek strategis nasional, hingga kasus perdagangan manusia, namun jarang tersentuh hukum.

Emmy  Sahertian menyoroti kasus perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sulit diungkap karena keterlibatan oknum TNI.

“Di NTT itu mengapa kasus perdagangan orang belum terungkap? Karena ada TNI yang bermain di sana,”tegasnya.

Selain itu, keterlibatan militer dalam kehidupan sipil juga berdampak buruk bagi perempuan.

Mereka ini patriarki yang terlembaga. Dalam berbagai konflik perampasan ruang hidup, perempuan yang paling menderita. Jika TNI masuk ke ranah tersebut, maka semakin besar penderitaan perempuan,” tambahnya.

Pelanggaran HAM yang Belum Tuntas

Sebelumnya, tepat pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah mengakui setidaknya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Merangkum dari Antara, peristiwa-peristiwa tersebut meliputi:

  1. Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  3. Peristiwa Talangsari di Lampung 1989
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
  9. Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999
  10. Peristiwa Wasior Papua 2001-2002
  11. Peristiwa Wamena Papua 2003
  12. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003

Pengakuan ini disampaikan setelah Presiden menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu (PPHAM), yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022. Presiden menyatakan penyesalan mendalam atas terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa-peristiwa tersebut serta berkomitmen untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Masih Belum Ada Penyelesaian

Namun, hingga saat ini, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Walau sudah ada pengakuan resmi dari pemerintah, keadilan bagi para korban hinga kini masih jauh dari harapan.

Kekhawatiran pun muncul terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang baru, yang dinilai dapat membuka kembali luka lama bagi para penyintas dan masyarakat luas. Dengan sejarah panjang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh militer. Rancangan tersebut berpotensi memberi kewenangan lebih bagi TNI untuk masuk ke ranah sipil, sehingga dapat melegitimasi kembali tindakan represi seperti di orde baru. 

Seperti yang ditegaskan oleh Emmy  Sahertian, “Saya menyatakan sikap agar militer kembali ke fungsi negara, bukan di ranah sipil, karena saya tidak mau lagi seperti dulu.”

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Praktisi Media Perempuan Ikut Ramaikan Local Media Summit 2022

Sejarah Gerakan Feminisme di Indonesia

Sejarah Gerakan Feminisme di Indonesia

7 Lagu tentang Women Empowerment Rayakan Perempuan dengan Nada dan Lirik (1)

Rayakan Perempuan dengan Nada dan Lirik

Leave a Comment