Home » News » Dark Side : Fakta Pendidikan Kedokteran Indonesia yang Penuh Cerita Bullying

Dark Side : Fakta Pendidikan Kedokteran Indonesia yang Penuh Cerita Bullying

Retno Wahyuningtyas

News

Bincangperempuan.com- Dibalik reputasi yang gemilang, dihormati, dan pengabdian, ternyata “tersembunyi” budaya pendidikan kedokteran yang feodalistik dan menindas. Kasus kekerasan adalah masalah besar dalam institusi pendidikan kedokteran yang selama ini tidak terpublikasi dan tidak terungkap, akibat dinormalisasi. Bukan kali ini saja narasi ini muncul namun sudah berkali-kali.

Banyak cerita dari dokter muda hingga calon dokter spesialis tentang bagaimana mereka diperlakukan tidak sewajarnya. Bahkan, baru-baru ini publik disuguhi kasus perundungan yang berbuntut kematian dokter muda mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro di Semarang. Sebelumnya, Universitas Pajajaran juga memecat 2 mahasiswa karena kasus perundungan. Mungkin masih banyak lagi kasus yang belum terungkap.

Pendidikan kedokteran di Indonesia, bukan hanya sangat mahal. Nyatanya, dekat dengan tindakan kekerasan seperti pemerasan dana, pelecehan seksual, gratifikasi, eksploitasi berkedok pengabdian, kelebihan jam kerja, hingga bullying dan relasi senioritas. Hierarki dalam pendidikan kedokteran ini tentu bukan hal baru. Kultur toxic ini dipelihara berpuluh-puluh tahun lamanya berakar dalam wajah yang sangat menindas. Feodalisme dalam pendidikan kedokteran juga tampak dalam bentuk praktik diskriminatif.

Baca juga: Pemerintah Indonesia Hapus Praktik Sunat Perempuan

Dokter berdarah biru

Mahasiswa yang berasal dari latar belakang sosial atau ekonomi yang kurang beruntung mungkin menghadapi hambatan lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang memiliki privilege. Ada istilah “darah biru” dalam lingkungan Pendidikan kedokteran, termasuk status ekonomi dan strata sosial. Darah biru biasa diidentikkan dengan mereka yang berasal dari keluarga pejabat atau keluarga dokter. Ada privilege khusus bagi mereka yang disebut dengan turunan “darah biru” dan tentu saja ada praktik diskriminasi bagi golongan dokter yang tidak masuk dalam kategori ini.

Praktik buruk dalam dunia kedokteran ini bukan saja merusak generasi. Namun merusak masa depan layanan kesehatan yang inklusif, non diskriminasi di Indonesia.  Sadar atau tidak, budaya perundungan, kekerasan, diskriminasi, relasi kuasa telah mereproduksi pendidikan kedokteran yang minim empati dan menindas manusia lain.

Wajah pendidikan kedokteran yang sarat bullying dan perundungan, akan sangat mempengaruhi layanan kesehatan bagi individu atau masyarakat Indonesia. Budaya hierarki yang tidak sehat dari senior terhadap junior, sebenarnya praktik lama yang menggerogoti tubuh pendidikan kedokteran. Ironisnya, budaya kekerasan ini dinormalisasi sebagai bagian dari kewajiban dan proses yang harus dilewati sebagai cara untuk tes mental agar calon dokter menjadi “handal”.

Faktanya, sistem kekerasan ini terus melahirkan “dendam” dan dinormalisasi hingga dilakukan turun-temurun. Sungguh ironis! Permasalahan ini tentunya bukan hanya masalah institusi, tapi masalah besar bagi negara. Terlebih masalah dalam menentukan kualitas sumber daya manusia dokter yang terbentuk melalui penindasan secara struktural.

Baca juga: Stigma Sosial terhadap Anak Fatherless

Lantang, Dianggap Barisan Sakit Hati

Tim Bincang Perempuan mencoba mengamati dokter progresif yang berusaha melawan feodalisme pendidikan kedokteran yang disuarakan melalui media sosial, yakni oleh @drg.mirza @drningz @alvin.sa.putra @prabaniswara. Dengan keberanian mereka, mereka konsisten dan berkomitmen untuk menumbangkan praktik kekerasan yang berkedok “tes mental”.

Harapan mereka “zero bullying” bukan hanya tagline, tapi dipraktikkan dalam pendidikan kedokteran di Indonesia. Dalam perjuangannya, mereka sering dituding sebagai “barisan sakit hati” oleh para dokter yang menormalisasi kekerasan di dunia pendidikan kedokteran. Faktanya, banyak pengalaman yang dikirimkan oleh netizen kepada ke empat dokter aktivis tersebut.

Netizen “anonim” yang membagikan “suara terdalam” yang telah lama ditutupi, disembunyikan, bahkan dibungkam oleh para korban. Karena merasa tidak ada tempat mengadu atau keadilan, apabila menyampaikan pengalaman yang dialami dan dirasakan.

Para korban menyatakan mengalami kerugian finansial, tekanan mental, perceraian, kekerasan fisik, kekerasan verbal, bahkan ada yang sampai berhenti dari PPDS, yang paling parah adalah budaya bullying ini menyebabkan ada korbannya yang melakukan aksi bunuh diri. Tidak hanya itu, dampak dari bullying ini juga akan berpengaruh pada keluarga korban yang turut kecewa pada apa yang dialami anggota keluarganya yang menjadi korban perundungan.

Namun, bagi pelakunya yang merupakan senior yang memiliki kuasa, hal ini bukan hal penting, karena mereka biasanya tidak berempati pada apa yang dialami korban, dan denial (menyangkal) bahwa dampak-dampak yang dialami korban bukan merupakan tanggung jawab  pelaku.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Beban ganda perempuan

Membebaskan Diri dari Beban Ganda

Stigma Nakal, Bagi Perempuan yang Pulang Malam

Tatapan dan Rayuan, Masuk Bentuk Kekerasan Seksual

Leave a Comment