Home » News » Dulu Dilarang, Kini Dirayakan: Dinamika Imlek dan Identitas Tionghoa di Indonesia

Dulu Dilarang, Kini Dirayakan: Dinamika Imlek dan Identitas Tionghoa di Indonesia

Ais Fahira

News

Dulu Dilarang, Kini Dirayakan Dinamika Imlek dan Identitas Tionghoa di Indonesia

Bincangperempuan.com- Hari ini, kita bisa dengan bebas merayakan Imlek dengan penuh suka cita. Namun, tahukah B’Pers bahwa perayaan ini dulu sempat dilarang di Indonesia? Tepatnya pada era Orde Baru (1967–1998), masyarakat etnis Tionghoa tidak hanya dilarang merayakan Imlek, tetapi juga mengalami represi budaya yang sangat kuat. Bagaimana perjalanan Imlek di Indonesia hingga akhirnya bisa kembali dirayakan secara terbuka?

Orde Baru dan Represi Terhadap Etnis Tionghoa

Pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa kerap dicap sebagai kelompok asing yang tidak beragama, bahkan dikaitkan dengan komunisme. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik Orde Baru yang menentang ideologi komunis setelah peristiwa 1965. Sebelumnya, Presiden Soekarno dikenal dekat dengan Tiongkok yang saat itu berada di bawah pemerintahan Partai Komunis. Namun, ketika Soeharto berkuasa, hubungan Indonesia dengan Tiongkok memburuk, dan warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran kecurigaan.

Pada tahun 1967, Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang melarang perayaan Imlek di ruang publik. Tidak hanya Imlek, berbagai aspek budaya Tionghoa juga ditekan—mulai dari penggunaan nama Tionghoa yang harus diubah menjadi nama Indonesia, hingga pelarangan agama seperti Konghucu dan Konfusianisme. Masyarakat Tionghoa dipaksa untuk hanya menganut agama-agama yang diakui negara. Selain itu, penggunaan bahasa Mandarin dan berbagai dialek Tionghoa juga dilarang di ruang publik.

Melansir dari BBC Indonesia, Evi Mariani dari Project Multatuli menjelaskan bahwa pada masa itu, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) menjadi dokumen wajib bagi warga keturunan Tionghoa untuk membuktikan status kewarganegaraan mereka. Tanpa SBKRI, mereka sulit mendapatkan akses pendidikan, pekerjaan, hingga layanan administrasi negara. Ketidakpastian identitas ini berlangsung selama beberapa dekade hingga akhirnya mencapai titik kritis pada tahun 1998.

Saat terjadi krisis ekonomi dan politik menjelang jatuhnya Soeharto, etnis Tionghoa kembali menjadi sasaran kebencian. Di Jakarta dan beberapa kota lain, tersebar isu anti-Tionghoa, yang memicu kerusuhan dan aksi kekerasan. Salah satu tragedi paling mengerikan adalah gelombang pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa, yang meninggalkan trauma mendalam bagi komunitas mereka.

Menurut wawancara Ita Fatia Nadia dengan Tirto, Ita Fatia, yang saat itu menjadi relawan, mencatat bahwa dalam kerusuhan Mei 1998, setidaknya terdapat 189 kasus kekerasan seksual yang menargetkan perempuan Tionghoa.

Akibat berbagai bentuk represi ini, banyak masyarakat Tionghoa kehilangan hubungan dengan identitas dan budaya mereka sendiri. Selain itu, pengalaman pahit seperti tragedi 1998 menciptakan luka yang membekas bagi generasi mereka.

Baca juga: Cadar Garis Lucu, Suara Perempuan untuk Perdamaian 

Reformasi dan Peran Gus Dur: Imlek Kembali Diakui

Kemudian, pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan terhadap perayaan Imlek dan kebudayaan Tionghoa. Di masa pemerintahannya, agama Konghucu juga kembali diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Dua tahun kemudian, di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek resmi dijadikan hari libur nasional.

Sejak saat itu, perayaan Imlek kembali diadakan secara terbuka di berbagai daerah, mulai dari festival barongsai, pemasangan lampion di pusat kota, hingga acara budaya yang disiarkan di televisi.

Stigma dan Persepsi Terhadap Etnis Tionghoa

Meski Imlek kini sudah menjadi bagian dari perayaan nasional, masih ada anggapan bahwa masyarakat Tionghoa bersikap eksklusif dan kurang berbaur dengan masyarakat lain. Namun, hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang membentuk kondisi sosial mereka.

Menurut Soe Tjen Marching, seorang penulis keturunan Tionghoa asal Surabaya sekaligus pengajar di SOAS University London, pola segregasi ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Angelique Maria Cuaca, seorang perempuan keturunan Tionghoa asal Padang yang sedang meneliti multikulturalisme Tionghoa di Sumatera Barat, juga memvalidasi hal tersebut.

“Di zaman kolonial Belanda, masyarakat dikelompokkan berdasarkan etnisnya. Jadi, tidak boleh membaur satu sama lain. Kenapa demikian? Itu adalah strategi politik adu domba agar antar-etnis tidak bisa bersatu,” kata Angelique saat ditemui di Kota Padang.

Kebijakan ini terus berlanjut hingga masa Orde Baru, di mana banyak etnis Tionghoa terpaksa menutup diri demi keamanan dan stabilitas mereka. Namun, tingkat integrasi komunitas Tionghoa berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada sejarah dan dinamika sosial setempat.

Keberagaman dalam Komunitas Tionghoa Indonesia

Tidak semua komunitas Tionghoa mempertahankan bahasa asli mereka. Angelique juga menambahkan bahwa di Padang, bahasa Tionghoa sudah banyak ditinggalkan, karena jumlah komunitasnya yang kecil dan sulitnya belajar bahasa Mandarin di lingkungan yang kurang mendukung.

“Di Padang, komunitasnya lebih kecil. Saat ada pelarangan seperti itu, semuanya takut, hingga akhirnya bahasa itu hilang. Uniknya, malah muncul ‘Bahasa Minang Pondok’—bahasa Minang dengan logat Tionghoa. Tionghoa di setiap daerah itu berbeda-beda,” ujarnya saat berbincang santai dengan penulis tentang penelitiannya di Kota Padang, pertengahan Desember 2024 lalu.

Menurutnya, kondisi ini berbeda dengan di Medan, di mana komunitas Tionghoa masih banyak yang fasih berbahasa Hokkien karena komunitasnya lebih besar dan lebih kuat dalam mempertahankan budaya. Sementara itu, di Lasem, sulit membedakan mana warga keturunan Tionghoa dan mana yang bukan. Hal ini karena sejak ratusan tahun lalu, banyak nenek moyang mereka menikah dengan penduduk pribumi, sehingga terjadi asimilasi budaya yang sangat kuat. 

“Nah, itu kan menunjukkan bahwa bahkan dalam masyarakat Tionghoa sendiri, terdapat keberagaman yang sangat kompleks,” tambah perempuan yang akrab disapa Like tersebut.

Baca juga: Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT?

Merayakan Keberagaman Sebagai Kebanggaan Bangsa

Seiring waktu, semakin banyak masyarakat yang menyadari bahwa etnis Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Namun, hingga kini, nasionalisme kaum Tionghoa-Indonesia masih kerap dipertanyakan. Padahal, sebagian besar dari mereka lahir dan besar di Indonesia, tetapi tetap harus menghadapi tuntutan untuk membuktikan kecintaan mereka terhadap negeri ini.

Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru. Mereka telah datang sejak masa kolonial dan bahkan pernah memberontak melawan VOC dalam Kongsi Dagang di Kalimantan dan Jawa. Sejarah mencatat bahwa mereka bukan hanya sekadar ‘pendatang,’ tetapi juga ikut berjuang dan berkontribusi bagi bangsa ini. Perjalanan panjang tersebut menunjukkan bahwa batas antara ‘pribumi’ dan ‘pendatang’ semakin kabur, karena selama berabad-abad mereka telah menjadi bagian dari identitas Indonesia itu sendiri.

Kini, kita patut bersyukur bahwa keberagaman di Indonesia semakin diakui dan dihargai. Perayaan Imlek bukan lagi sesuatu yang tabu, tetapi telah menjadi bagian dari budaya yang dirayakan bersama. Ini membuktikan bahwa identitas nasional bukanlah sesuatu yang kaku dan statis, melainkan terus berkembang seiring waktu.

Pada akhirnya, orang Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia tetaplah orang Indonesia. Merayakan Imlek bukan hanya tentang tradisi etnis, tetapi juga tentang merayakan semangat kebersamaan dalam keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa ini.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Tes Kehamilan Pada Siswi Antisipasi atau Pelanggaran Privasi

Tes Kehamilan Pada Siswi: Antisipasi atau Pelanggaran Privasi?

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim

Hentikan Kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM

Leave a Comment