Home » News » Ethic Awareness dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual 

Ethic Awareness dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual 

Etika penulisan media untuk kasus kekerasan seksual

BincangPerempuan.com-  Berita media yang tersebar di internet tentunya dilihat atau dibaca oleh banyak orang. Mendengar topik yang sedang hangat, membuat masyarakat secara tidak langsung penasaran dan gencar mencari akan informasi detail mengenai kejadian apa yang terjadi dan kapan kejadian itu berlangsung. Namun, masih banyak artikel media yang secara terang-terangan menjelaskan kejadian masalah tanpa memperhatikan secara khusus akan kesadaran etika dalam penulisannya. 

Mungkin BPer’s berpikir bahwa tidak ada penulisan yang sempurna, tetapi ada beberapa hal lho yang sebenarnya harus menjadi concern kita dalam menulis berita di media. Salah satunya adalah pemberitaan media mengenai isu atau kasus kekerasan seksual. Tanpa disadari, ternyata korban dari kekerasan seksual mendapatkan kekerasan bukan pada saat konflik berlangsung saja melainkan juga memperoleh cacian akibat dari media yang diberitakan.

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan penulis media kurang memperhatikan gaya bahasa, penyampaian kata, membuat persepsi pribadi atau pandangan sosial akan korban yang berdampak pada gagalnya perlindungan dan pemulihan korban.Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan akan etika penulisan serta kesadaran bagi para penulis.

Baca juga: Femisida: Memahami Kekerasan Berbasis Gender dan Tindakan Pencegahannya

Etika penulisan media 

Berdasarkan laporan penelitian dari Dewan Pers dan Universitas Tidar mengatakan bahwa bahwa masih banyak media yang mengungkap identitas korban dan diskriminatif dalam pemberitaannya. Terhitung dari bulan Januari 2020 – Juni 2022. Terdapat 9 media arus utama di Indonesia, seperti suara.com, okezone, pikiranrakyat.com, kumparan, CNN Indonesia, Kompas.com, detik.com, Tribunnews.com, merdeka.com yang tidak aware akan gaya bahasa penulisan medianya. Tentunya ini pada akhirnya berdampak pada kesimpulan persepsi dari pembaca terhadap korban atau bagaimana masyarakat melihat kekerasan seksual serta adanya ilustrasi yang terkesan buruk akan korban juga akan berdampak bagaimana korban memandang dirinya sendiri. Selain itu juga berdampak pada pandangan suatu hal wajar akan adanya kasus kekerasan seksual. 

Insiden kekerasan seksual sering kali dilaporkan dari sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang korban. Investigasi Komnas Perempuan menemukan sembilan media besar telah melakukan pelanggaran dalam pemberitaan peristiwa kekerasan seksual. Pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah (38%) mencampurkan fakta dan opini, mengungkapkan identitas korban (31%), mengungkapkan identitas pelaku di bawah umur (20%), dan menggunakan bahasa biasa (29%). Di sisi lain, dalam hal konten berita, media masih mendorong pembaca untuk menciptakan stereotip dan penilaian terhadap korban. Terlebih lagi, media menggunakan frasa yang menarik perhatian pembaca dan terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Pemberitaan kasus kekerasaan seksual yang sangat vulgar dengan deskripsi subjek dan peristiwa justru berdampak kontra produktif khususnya dalam proses perlindungan dan pemulihan korban. Dalam penelitian tersebut meneliti tentang sejauh mana etika jurnalistik berperspektif korban dan responsif gender diterapkan dalam pemberitaan kekerasan seksual di media. Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberitaan kekerasan seksual masih mengungkap identitas korban baik secara langsung maupun tidak langsung. Narasi-narasi bias gender juga masih ditemukan baik dalam bentuk pelabelan korban (stereotyping), victim blaming, dan diskriminatif. Untuk menyikapi hal tersebut, penting sekali untuk bijaksana dalam pemilihan kata dan gaya penulisannya. 

Salah satu contoh kutipan berita dengan pelabelan (stereotyping) terhadap korban: 

“Gadis ABG berinisial N (14) diduga diperkosa saat seharusnya mendapatkan pendampingan psikologis setelah jadi korban pemerkosaan oleh pamannya sendiri. Direktur YLBHI LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan, mengungkap identitas terduga pelaku.” (artikel 5)

“Kekerasan seksual kembali terjadi. Kali ini korbannya dua bocah yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).” (artikel 6)

“Seorang remaja berinisial K (18), ditangkap polisi karena diduga menyekap dan memperkosa gadis cantik di Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang.” (artikel 7)

Tiga contoh stereotip korban menampilkan kondisi korban yang seolah-olah “wajar”  menjadi korban kekerasan seksual. Istilah “gadis remaja” dan “gadis cantik” mengacu pada penampilan fisik korban. Korbannya diduga ABG (Anak Baru Gede), seorang pemuda berwajah segar, sehat, dan  cantik. Hal ini memberikan kesan bahwa situasi tersebut pada akhirnya menyebabkan korban  mengalami pelecehan seksual. Istilah “remaja” sekarang mengacu pada keterampilan dan pengalaman korban. Korban dianggap sebagai bayi yang ingusan, tidak berpengalaman, tidak mampu mengurus dirinya sendiri, hingga akhirnya membuatnya menjadi korban kekerasan seksual. Penulisan seperti itulah yang salah dan tidak boleh dijadikan pemberitaan dalam media karena mengandung negative stereotyping terhadap korban kekerasan seksual. 

Baca juga: Perempuan dalam Bingkai Media Massa yang Seksis dan Misoginis

Undang-Undang Etika Jurnalistik 

Andrianto, seorang Etika Jurnalistik mengartikan etika jurnalistik sebagai aturan atau prinsip yang mengatur media dalam mempublikasikan  program, berita, atau informasi. Sumber etika jurnalistik adalah kesadaran moral, pengetahuan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas. Regulasi media di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari undang-undang media, juga telah dibuat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bagi jurnalis/organisasi berita. KEJ  diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 yang mengesahkan Keputusan Dewan Pers Tahun 2006 tentang KEJ. 

Dalam KEJ 2006, Kode Etik Jurnalis/Organisasi Media memuat 11 pasal yang ditandatangani oleh 29 organisasi jurnalis/organisasi media di Indonesia. a.) Kesepakatan dicapai antara 29 organisasi berita dari seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2006. b.) Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 yang mengesahkan Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers. c.) Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan: “Wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”  Dalam keterangan resmi ini yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalis adalah kode etik yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Etika Jurnalistik , juga dikenal  sebagai Kode Etik Jurnalistik, diciptakan untuk memastikan bahwa para profesional media tidak melakukan kesalahan dan menjaga standar kualitas  dalam melakukan pekerjaannya secara profesional dan bertanggung jawab.

Tidak hanya itu saja, berdasarkan beberapa definisi ahli yang tertuang dalam komitmen dan instrumen hukum internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Platform Beijing, istilah kekerasan terhadap perempuan diartikan sebagai “segala bentuk kekerasan berbasis gender; ini juga berarti sesuatu yang mempunyai efek fisik, seksual, atau psikologis sebagai akibatnya. Hal ini mencakup ancaman tindakan seperti pemaksaan dan perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik  di ruang publik maupun dalam kehidupan pribadi seseorang. 

Berdasarkan analisis gender yang dikemukakan oleh Faki, kekerasan seksual merupakan bagian integral dari kekerasan berbasis gender. Karena kekerasan berbasis gender itu sendiri merupakan  bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka kekerasan seksual merupakan kejahatan diskriminatif yang terutama menimpa perempuan dan bertentangan dengan kewajiban dan instrumen hukum internasional. Dalam hal dimaksudkan bahwa kekerasan seksual melalui penyampaian media juga pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental dan psikologis dari korban. Oleh karena itu, organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meratifikasi perjanjian penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Untuk menyimpulkan, penting sekali bagi media berita untuk saling memperhatikan kode etika dalam penulisan maupun publikasi media agar terhindarnya stigma negatif mengenai korban kekerasan seksual. 

Sumber: 

  • Triantono & dkk, “ETIKA JURNALISTIK PEMBERITAAN KEKERASAN SEKSUAL DI MEDIA DALAM PENDEKATAN PERLINDUNGAN KORBAN DAN RESPONSIF GENDER”, dalam Laporan Penelitian Dewan Pers dengan Universitas Tidar. 
  • Tim Komnas Perempuan, “Catahu 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020”, dalam Komnas Perempuan Website 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Tatapan dan Rayuan, Masuk Bentuk Kekerasan Seksual

Marie Antoinette: Bias Patriarki dalam Penghakiman Publik

Cegah Bunuh Diri Pada Korban Kekerasan Berbasis Gender

Cegah Bunuh Diri Pada Korban Kekerasan Berbasis Gender

Leave a Comment