Bincangperempuan.com– Benarkah perempuan dan laki-laki sebenarnya tidak pernah dilahirkan? Apa yang membuat perempuan dikatakan perempuan? Apakah biologi menentukan segalanya, atau justru peran gender dibentuk oleh konstruksi sosial?
Rentetan pertanyaan tersebut menjadi inti dari feminisme eksistensialisme, sebuah aliran pemikiran yang diawali oleh Simone de Beauvoir, salah satu tokoh feminis paling berpengaruh di abad ke-20. Melalui bukunya The Second Sex, Beauvoir menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan karena konstruksi sosial dan ekspektasi masyarakat.
Apa Itu Feminisme Eksistensialisme?
Feminisme eksistensialisme adalah salah satu cabang feminisme yang berakar pada filsafat eksistensialisme. Aliran ini mengedepankan kebebasan individu, otentisitas, dan tanggung jawab setiap orang untuk menentukan makna hidupnya sendiri.
Salah satu tokoh utama dari aliran ini adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Prancis yang mengguncang dunia dengan bukunya, The Second Sex (1949). Dalam buku ini, Beauvoir mendekonstruksi bagaimana masyarakat patriarkal memperlakukan perempuan sebagai the Other (yang liyan), sebuah posisi yang mereduksi perempuan menjadi objek dibandingkan subjek.
Sebelum menulis The Second Sex, Beauvoir terinspirasi oleh buku L’âge d’homme (1939) karya Michel Leiris yang membuatnya merenungkan satu pertanyaan mendasar: “Apa artinya menjadi seorang perempuan?” Dari pertanyaan ini lahir konsep the Other, yang menjadi inti dari kritiknya terhadap cara masyarakat menempatkan perempuan. Dalam pandangan Beauvoir, perempuan dipandang sebagai “Yang Lain”—dianggap pasif, kurang penting, dan bergantung pada laki-laki yang dijadikan standar universal.
Dalam kerangka ini, perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam pengertian sosial, tetapi dikondisikan oleh norma budaya dan ekspektasi gender yang mengekang. Kutipan Beauvoir yang paling terkenal, “One is not born, but rather becomes, a woman”, menegaskan bahwa menjadi perempuan adalah hasil konstruksi sosial, bukan sekadar fakta biologis.
Baca juga: Feminazi dan Bahayanya Bagi Gerakan Perempuan
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Feminisme eksistensialisme menempatkan kebebasan dan tanggung jawab sebagai prinsip utama. Setiap individu, termasuk perempuan, memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa dikekang oleh norma mau pun stereotip sosial.
Beauvoir dalam teorinya juga menawarkan tiga strategi untuk menegaskan eksistensi agar perempuan setara dengan laki-laki, diantaranya: 1) perempuan harus bekerja agar dapat mengembangkan dirinya, 2) perempuan harus menjadi seorang intelektual, dan 3) perempuan harus menolak posisi yang lebih rendah (subordinasi) dan menjadi pelaku transformasi sosial. Dalam hal ini, gerakan feminisme eksistensialis berfokus pada perjuangan individu. Oleh karena itu, unsur terpenting untuk menyukseskannya adalah dengan adanya kesadaran para perempuan untuk meraih eksistensi dirinya sendiri.
Namun, dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering kali terjebak dalam bad faith (keyakinan palsu), di mana mereka menerima peran tradisional sebagai istri, ibu, atau sebagai “pelengkap laki-laki” tanpa mempertanyakan pilihan tersebut. Beauvoir mengkritik penilaian perempuan hanya didasarkan kepada aspek biologis, misalnya mengasosiasikan perempuan hanya dengan fungsi reproduksi, seperti hamil dan melahirkan sebagai ibu. Menurut Beauvoir ini menghilangkan potensi perempuan untuk berkembang sebagai individu.
Akan tetapi bukan berarti perempuan yang memilih menjadi ibu adalah hal buruk. Menurutnya menjadi ibu adalah pilihan yang sah, tetapi menganggapnya sebagai posisi yang paling mulia dan superior adalah bentuk diskriminasi terselubung terhadap perempuan yang memilih jalan hidup lain.
Beauvoir berpendapat bahwa perempuan seharusnya bebas menentukan esensi atau makna hidup bagi dirinya. Ia juga menegaskan bahwa kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab. Perempuan perlu menyadari kebebasan mereka dan berani mengambil tanggung jawab atas pilihan hidup yang otentik, meskipun itu berarti menentang norma sosial.
Baca juga: Kenapa High Value Women Lebih Banyak Bersinar Saat Ini?
Relevansi Feminisme Eksistensialisme di Era Modern
Pemikiran feminisme eksistensialisme tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam menghadapi stereotip gender dan tantangan baru yang dihadapi perempuan modern. Beberapa penerapannya dapat dilihat dalam:
- Perlawanan terhadap standar kecantikan
Perempuan yang menolak untuk mengikuti standar kecantikan seperti kulit cerah, tubuh kurus, atau riasan sempurna menunjukkan keberanian untuk mendefinisikan kecantikan menurut perspektif mereka sendiri. - Pilihan hidup yang otentik
Banyak perempuan saat ini memilih untuk tidak menikah, tidak memiliki anak, atau fokus pada karier mereka, meskipun keputusan tersebut sering dianggap “tidak sesuai kodrat”. - Kemandirian finansial
Feminisme eksistensialisme mendorong perempuan untuk tidak bergantung secara ekonomi pada pasangan, sehingga mereka memiliki kendali penuh atas hidupnya.
Selain itu, prinsip ini juga relevan dalam perjuangan perempuan di sektor pendidikan, politik, dan tempat kerja. Pilihan untuk menjadi diri sendiri yang bebas dari tekanan sosial—adalah inti dari kebebasan yang diperjuangkan feminisme eksistensialisme.
Kritik terhadap Feminisme Eksistensialisme
Meskipun sangat berpengaruh, feminisme eksistensialisme tidak luput dari kritik. Beberapa poin kritik yang sering disampaikan:
- Kurangnya perspektif interseksional: The Second Sex terlalu berfokus pada pengalaman perempuan cisgender kulit putih kelas menengah di Barat. Pengalaman perempuan kulit berwarna, transgender, atau dari budaya lain kurang terwakili.
- Idealisme individualistik: Fokus pada kebebasan individu sering kali mengabaikan kenyataan sosial seperti kemiskinan, diskriminasi rasial, atau kolonialisme yang memengaruhi kebebasan perempuan.
- Kurang menyentuh aspek emosional dan relasi: Feminisme eksistensialisme dianggap lebih menekankan rasionalitas dan kebebasan, tetapi kurang memperhatikan hubungan manusia yang kompleks.
Feminisme eksistensialisme mengajarkan kita bahwa kebebasan perempuan bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi harus diperjuangkan. Dalam konteks modern, perjuangan ini berarti menolak peran tradisional yang memenjara, mendobrak batasan stereotip, dan menciptakan ruang untuk pilihan yang otentik.
Namun, kita juga harus menyadari pentingnya interseksionalitas dalam memahami pengalaman perempuan yang beragam. Dalam dunia yang semakin kompleks, feminisme harus berkembang menjadi lebih inklusif tanpa kehilangan esensi perjuangan kebebasan yang diajarkan oleh feminisme eksistensialisme.
Referensi:
- Ester Lianawati. (2021, September 26). Atas Nama Kebebasan: Cinta, Perkawinan, dan Maternitas di Mata Simone de Beauvoir. LSF Discourse. Retrieved from https://lsfdiscourse.org/perkawinan-menurut-simone-de-beauvoir/
- Mahadewi, N. M. A. S., Prameswari, N. P. L. M., & Nugroho, W. B. (2019). Feminisme eksistensial Simone de Beauvoir: Perjuangan perempuan di ranah domestik. Jurnal Nasional. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/sorot/article/download/51955/30814
- Simons, M. A. (2023). Simone de Beauvoir. In E. N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/