Bincangperempuan.com- Mengapa perempuan sulit berkata tidak? Yap, BPer’s, kamu mungkin atau bahkan sering menjumpai perempuan yang ingin menolak sesuatu namun ia sulit mengatakan tidak. Kondisi ini dikenal dengan istilah Good Girl Syndrome, yakni menggambarkan kecenderungan perempuan untuk memenuhi standar “perempuan baik-baik” yang ditanamkan oleh ekspektasi sosial, keluarga, atau budaya. Sindrom ini ditandai dengan perilaku yang terfokus pada upaya menyenangkan orang lain, menghindari konflik, dan bersikap terlalu patuh atau sempurna di mata masyarakat.
Beberapa pola khas yang meliputi kesulitan mengatakan “tidak”, perfeksionisme yang berlebihan, ketergantungan pada validasi dari luar, hingga penekanan emosi pribadi. Kebiasaan ini sering kali berkembang sejak masa kanak-kanak yang didorong oleh norma gender dan peran yang dipaksakan kepada perempuan untuk menjadi sosok yang lembut, penurut, dan selalu mempertimbangkan perasaan orang lain.
Dalam konteks gender dan feminisme, pemahaman terhadap Good Girl Syndrome menjadi krusial karena sindrom ini mengungkap bagaimana tekanan sosial dan ekspektasi yang kaku bisa menghambat perempuan dalam mengekspresikan diri secara autentik.
Fenomena ini merujuk pada pola di mana perempuan merasa harus selalu “baik”, “ramah”, dan patuh sesuai standar masyarakat – pola yang bukan hanya sekadar tuntutan perilaku, tetapi juga membentuk cara perempuan memahami nilai diri mereka. Seiring berjalannya waktu, tekanan ini dapat mengekang kebebasan perempuan untuk mengambil risiko, menyuarakan opini, atau bahkan merangkul keinginan pribadi tanpa rasa bersalah.
Feminisme melihat Good Girl Syndrome sebagai hambatan yang memperlihatkan ketidakadilan dalam norma gender di mana perempuan sering kali diharapkan untuk lebih patuh dibanding laki-laki yang lebih banyak diberi ruang untuk berekspresi. Dengan memahami sindrom ini, perempuan bisa mulai melepaskan beban ekspektasi dan mulai membangun harga diri berdasarkan nilai dan pilihan mereka sendiri, bukan sekadar memenuhi harapan orang lain.
Penting bagi perempuan untuk dapat mengekspresikan diri tanpa takut melanggar standar “baik” atau “ideal” yang selama ini mengekang mereka.
Baca juga: Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru
Penyebab good girl syndrome
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya Good Girl Syndrome. Diantaranya, pola asuh otoriter. Pola asuh yang ketat sering kali menjadi akar dari Good Girl Syndrome. Mereka diajarkan untuk selalu mematuhi ekspektasi orang tua tanpa diberikan ruang untuk mengekspresikan diri. Akibatnya, muncul rasa takut yang mendalam untuk mengecewakan orang lain yang mendorong perempuan untuk terus berusaha menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks ini, kebutuhan dan harapan orang lain sering kali ditempatkan di atas kebebasan dan keinginan pribadi mereka.
Selain pola asuh, norma sosial dan budaya turut berperan besar dalam membentuk harapan terhadap perilaku perempuan. Sejak kecil, perempuan sering kali dicap sebagai individu yang harus berperilaku lembut, penurut, dan tidak melawan. Ekspektasi ini membuat mereka merasa tertekan untuk selalu tampil baik demi meraih penerimaan dari lingkungan sosial. Standar kebaikan yang ditetapkan oleh masyarakat mendorong perempuan untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain.
Perempuan yang terjebak dalam Good Girl Syndrome sering kali mengaitkan kebahagiaan mereka dengan kemampuan untuk memenuhi harapan orang lain. Tekanan yang berasal dari lingkungan sosial membuat mereka merasa bersalah jika tidak bisa memenuhi permintaan orang lain. Ketidakmampuan untuk menolak permintaan juga menjadi tantangan yang signifikan, karena ada ketakukan untuk dianggap egois atau tidak menyenangkan. Akibatnya, banyak perempuan terjebak dalam siklus tekanan mental dan emosional yang bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan perempuan.
Stres dan Kelelahan Mental : Harga yang Dibayar untuk Menjadi “Baik”
Fenomena Good Girl Syndrome yang sering dialami perempuan biasanya dimulai sejak usia dini ketika mereka diajarkan untuk selalu menjadi “perempuan” baik melalui ekspektasi sosial yang sering kali berlebihan. Pola asuh ini menciptakan rasa kewajiban untuk memenuhi harapan orang lain, sehingga banyak perempuan merasa terjebak dalam upaya untuk menyenangkan orang-orang di sekitar mereka.
Salah satu dampak yang signifikan dari sindrom ini adalah kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain. Perempuan yang terpengaruh sering kali merasa tertekan ketika tindakan baik mereka tidak diakui atau dibandingkan dengan perempuan lain yang bisa memperdalam rasa tidak percaya diri dan ketidakpuasan dengan diri sendiri.
Dalam konteks ini, perfeksionisme adalah isu lain yang banyak dihadapi perempuan. Banyak dari mereka merasa perlu untuk melakukan segala sesuatu dengan sempurna, bahkan dalam hal-hal ecil yang mungkin tidak terlalu penting yang nantinya dapat menyebabkan stres berkelanjutan dan kelelahan mental. Ketakutan untuk mengecewakan orang lain sering kali membuat mereka terobsesi dengan harapan orang di sekitar, bahkan ketika hal tersebut ternyata harus mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi.
Perempuan yang mengalami Good Girl Syndrome cenderung memilih untuk “bermain aman”, mengikuti norma-norma sosial yang ada, dan menghindari tindakan yang dapat membuat mereka terlihat berbeda atau mencolok. Kesulitan dalam menolak permintaan orang lain juga menjadi masalah signifikan, karena ketakutan akan konflik dan penilaian negatif menghalangi mereka untuk berani mengatakan “tidak”. Hal ini menyebabkan mereka sering kali menambah beban pada diri mereka sendiri yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Selain itu, rasa bersalah juga sering kali muncul ketika mereka merasa tidak dapat memenuhi harapan orang lain dengan kekhawatiran akan dianggap egois atau tidak menyenangkan.
Maka dari itu, memahami lebih dalam tentang Good Girl Syndrome sangat penting bagi perempuan agar mereka dapat menyadari bagaimana tekanan sosial ini membatasi kebebasan dan identias mereka. Mengambil langkah berani untuk melepaskan diri dari harapan yang tidak realistis sangatlah penting, sehingga perempuan bisa hidup dengan lebih autentik dan menemukan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.
Baca juga: Ekofeminisme, Gerakan Perempuan Perjuangkan Keadilan Lingkungan Hidup
Bagaimana norma gender mengakar membentuk persepsi perempuan ideal
Good Girl Syndrome menguatkan stereotip gender dengan menanamkan pandangan bahwa perempuan seharusnya patuh, lembut, dan selalu menyenangkan. Perempuan sering kali tumbuh dengan harapan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, menghindari konflik, dan tidak “menonjol” atau terlalu menentang. Ekspektasi ini memperkuat gagasan bahwa perempuan “baik” adalah yang selalu mendahulukan orang lain, membatasi pengembangan sifat proaktif atau ambisius yang lebih sering dikatikan dengan laki-laki. Akibatnya, masyarakat lebih sulit meneripa perempuan yang mencoba mengekspresikan diri secara bebas atau yang berani menentang norma-norma tradisional.
Dari sisi peran dalam masyarakat, Good Girl Syndrome dan stereotip gender yang menyertainya sering kali membuat perempuan merasa tertekan untuk memilih jalur “aman” yang dianggap lebih sesuai dengan harapan sosial, seperti menjadi ibu rumah tangga atau bekerja di bidang yang identik dengan pengasuhan, seperti pendidikan atau perawatan kesehatan. Pembatasan ini menghambat perempuan untuk mengeksploitasi bidang karier yang lebih kompetitif atau berisiko tinggi, seperti STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) yang biasanya mengapresiasi keberanian mengambil risiko dan pandangan independen. Dampaknya, terdapat ketidakseimbangan peran gender di sektor-sektor yang menuntut jiwa kepemimpinan yang kuat inovatif.
Tunduk pada norma gender yang kaku juga membuat perempuan kerap merasa terpaksa menyesuaikan diri dengan peran tertentu meski minat atau keinginan pribadi mereka berbeda. Ketundukan ini bisa membatasi kesempatan perempuan untuk berkembang secara profesional maupun personal. Perempuan yang selalu mengikuti harapan sosial mungkin akan mengalami frustrasi, ketidakpuasan, dan merasa kurang dihargai. Seiring waktu, tekanan ini mengurangi peluang mereka untuk mandiri secara ekonomi dan emosional serta memperumit upaya mereka untuk menuntut hak dan kesempatan yang setara.
Dampak Good Girl Syndrome pada karir dan kehidupan sosial perempuan pun sangat jelas. Di tempat kerja, perempuan yang terlalu fokus pada “menyenangkan” orang lain sering kali kesulitan untuk menegosiasikan hak, seperi gaji atau promosi. Sifat yang selalu mengutamakan kebutuhan orang lain membuat mereka cenderung mengambil peran yang kurang dihargai dan menghambat perkembangan karir. Dalam kehidupan sosial, perempuan dengan sindrom ini sering merasa harus memenuhi ekspektasi orang lain yang pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan pribadi. Pola hidup yang selalu “melayani” tanpa memperhatikan kebutuhan diri berisiko mengakibatkan stres berkelanjutan dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Pembebasan diri : menantang ekspektasi sosial untuk perempuan
Pembebasan diri atau ekspektasi sosial merupakan langkah penting bagi perempuan untuk lepas dari tekanan atau pandangan yang dibentuk oleh stereotip gender. Banyak perempuan terjebak dalam peran tradisional yang mengharuskan mereka fokus pada tugas domestik, sehingga potensi dan ambisi mereka sering kali terabaikan. Dengan menantang ekspektasi tersebut, perempuan dapat menjalani hidup sesuai pilihan dan aspirasi mereka tanpa takut akan penilaian sosial. Berbagai inisiatif di Indonesia berusaha mendukung perempuan dalam mengejar pendidikan dan karir serta memperluas peluang yang ada di luar peran yang biasanya mereka jalani.
Pemberdayaan perempuan sangat penting dalam memberi mereka hak untuk menentukan jalannya sendiri, baik dalam bidang pendidikan maupun karier. Organisasi seperti Komnas Perempuan dan UN Women aktif memperjuangkan hak-hak ini, memastikan perempuan memiliki akses yang sama dalam bidang yang didominasi pria seperti STEM. Selain itu, hak untuk bersuara menjadi pilar utama pemberdayaan, memungkinkan perempuan untuk mengekspresikan pendapat dan membuat keputusan yang berkaitan dengan hidup mereka. Meskipun masih ada tantangan, seperti kekerasan berbasis gender, upaya legislatif seperti pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menunjukkan kemajuan signifikan dalam melindungi hak perempuan dan mendukung mereka untuk bersuara bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
Contoh gerakan yang menentang stereotip gender di Indonesia meliputi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang memperjuangkan hak-hak perempuan serta menentang perkawinan paksa dan kekerasan seksual. Di era modern, gerakan yang dipimpin oleh Komnas Perempuan dan Amnesty International Indonesia berfokus pada kesetaraan gender dan hak perempuan di tempat kerja dan di masyarakat. Gerakan-gerakan ini berusaha mematahkan pandangan konservatif yang menghambat kemajuan perempuan dan berupaya mewujudkan kesetaraan dalam berbagai sektor, baik ekonomi maupun sosial.
Menciptakan budaya yang mendorong kesetaraan dan kebebasan bagi perempuan
Good Girl Syndrome menggambarkan pola di mana perempuan merasa perlu selalu menyenangkan orang lain yang sering kali mengorbankan keinginan dan kebutuhannya. Ini dapat menyebabjan penuruhan harga diri, stres berlebihan, bahkan masalah kesehatan mental. Kesadaran dan pendidikan gender menjadi kunci agar perempuan mampu mengenali serta mengatasi tekanan tersebut. Dengan mendorong perempuan untuk mengeksploirasi diri mereka secara bebas dan otentik, kita membangun budaya yang menghargai keragaman dan mendukung perkembangan mereka, baik secara pribadi maupun dalam masyarakat.