Home » News » Ekofeminisme, Gerakan Perempuan Perjuangkan Keadilan Lingkungan Hidup

Ekofeminisme, Gerakan Perempuan Perjuangkan Keadilan Lingkungan Hidup

Rifaldy Zelan

News

Ekofeminisme, Gerakan Perempuan Perjuangkan Keadilan Lingkungan Hidup

Bincangperempuan.com– Era antroposen menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Manusia percaya bahwa mereka adalah makhluk dengan posisi yang lebih tinggi dibandingkan spesies lain. Pandangan ini membuat manusia melihat alam sebagai objek yang harus digunakan semaksimal mungkin untuk keberlangsungan hidupnya.

Keinginan manusia mempergunakan alam secara terus-menerus pada akhirnya berdampak pada kerusakan alam. Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations (UN), sekitar 420 juta hektare hutan hilang sejak tahun 1990 karena aktivitas manusia seperti pertanian, penebangan kayu, dan urbanisasi. Laporan Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) pada tahun 2021 menemukan hal serupa, bahwa aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, telah mengakibatkan peningkatan suhu global sebesar 1,2°C sejak era pra-industri.

Pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai objek ini sejalan dengan konsep Filsafat Barat Kanonik. Tradisi ini menekankan rasionalisme, di mana nalar dianggap sebagai ciri khas kemanusiaan yang membuat manusia lebih unggul dari hewan dan alam. Dalam pandangan ini, manusia dilihat sebagai makhluk rasional yang mampu berpikir abstrak dan memisahkan diri dari alam. Dualitas seperti nalar versus emosi dan manusia versus alam mendukung anggapan bahwa alam adalah objek yang dapat dieksploitasi.

Namun, konsep ini dikritik oleh Filsafat Feminis Lingkungan. Aliran ini menentang cara pandang yang memisahkan manusia dari alam dan menempatkan alam semata-mata sebagai objek. Filsafat Feminis Lingkungan menyerukan perubahan paradigma yang lebih inklusif dan berkelanjutan, di mana manusia hidup selaras dengan alam dan alam memiliki nilai di luar manfaatnya bagi manusia, sebagai upaya untuk mencegah kerusakan alam lebih lanjut. Kritik ini menjadi landasan dari gerakan ekofeminisme.

Baca juga: Sedekah Pohon untuk Bumi, Kesadaran Perempuan untuk Memperbaiki Lingkungan Hidup dan Hutan

Asal-Usul Gerakan Ekofeminisme

Ekofeminisme merupakan cabang feminisme yang membahas hubungan antara perempuan dan alam. Nama ekofeminisme dicetuskan oleh feminis Perancis yakni Françoise d’Eaubonne pada 1974.

Gerakan ekofeminisme modern tercetus dari serangkaian konferensi yang diadakan di Amerika Serikat oleh koalisi akdemisi dan para perempuan profesional selama akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. 

Pertemuan demi pertemuan dilakukan untuk membahas bagaimana feminisme dan lingkungan hidup dapat dipadukan untuk mendorong penghormatan terhadap perempuan dan lingkungan hidup. Gagasan ini didorong oleh preseden sejarah yang mengaitkan perempuan dengan alam, yang pada akhirnya menyebabkan penindasan terhadap keduanya.

Para ekofeminis mencatat bahwa perempuan dan alam sering digambarkan sebagai sosok yang kacau, tidak rasional, dan perlu dikendalikan. Sementara laki-laki sering digambarkan sebagai sosok yang rasional, teratur, dan dengan demikian mampu mengarahkan penggunaan dan pengembangan perempuan dan alam.  

Pengaturan ini melahirkan struktur hierarkis yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki dan memungkinkan eksploitasi terhadap perempuan dan alam. Dengan demikian, para ekofeminis menyadari bahwa untuk mengatasi kesulitan yang dialami salah satu pihak, mereka perlu menghapuskan ketidakadilan sosial yang menimpa keduanya (perempuan dan alam).

Pada akhir 1980-an, ekofeminisme berkembang dari lingkungan akademis menjadi sebuah gerakan populer. Popularisasi gerakan ekofeminis salah satunya didorong oleh Ynestra King, melalui sebuah artikelnya yang berjudul “What Is Ecofeminism?” yang dimuat dalam The Nation. Dalam tulisan itu, King mengajak semua orang Amerika untuk merenungkan bagaimana sistem kepercayaan mereka bisa menyebabkan eksploitasi alam dan penindasan terhadap perempuan. Berkat artikel King, konsep ekofeminisme semakin dikenal dan mendapatkan lebih banyak dukungan serta pemahaman filosofis yang lebih luas.

Gerakan ekofeminisme di Indonesia

Meskipun gagasan ekofeminisme baru tercetus pada tahun 1970-an, tetapi praktik dari ekofeminisme telah lama ada di berbagai negara, termasuk Indonesia. Banyak kisah-kisah perempuan tanah air memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang layak, salah satunya Aleta Baun atau akrab disapa Mama Aleta. 

Mama Aleta mendapatkan penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tahun 2013 lalu. Penghargaan itu didapatkannya atas perjuangan Mama Aleta mempertahankan lingkungan tempat tinggalnya di Gunung Mutis, Molo, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari ancaman tambang. Perjuangan Mama Aleta tidak mudah, nyawa menjadi taruhannya. Pernah Mama Aleta menjadi korban dari percobaan pembunuhan, sehingga Mama Aleta harus lari bersembunyi di dalam hutan.

Kendati demikian, Mama Aleta dan warga lainnya tetap gigih berjuang untuk mempertahankan alam yang digunakan oleh mereka sebagai sumber kehidupan. Mama Aleta dan para warga khususnya perempuan melakukan aksi menenun untuk memprotes kegiatan tambang.

“Perjuangan berat. Kami menghadapi intimidasi dengan kekerasan. Namun, gerakan terus jalan sampai ratusan warga desa ikut. Sampailah pada aksi pendudukan sambil menenun sekitar 150 perempuan. Ini sekitar satu tahun di lokasi penambangan marmer.” Kisah Mama Aleta dilansir dari Mongabay.

Perjuangan Mama Aleta dan warga tidak sia-sia. Aksi menenun tersebut sukses mengusir perusahaan tambang. Mengutip pernyataan Mama Aleta di Mongabay, ia mengatakan pada 2007, mulai ada hasil. Aksi-aksi warga mulai jadi perhatian pemerintah. Memang perjuangan panjang. Pada 2010, karena menghadapi tekanan perusahaan pertambangan berhenti. Ada empat pertambangan di Molo, semua berhenti.

Kisah Mama Aleta hanyalah satu dari sekian banyak perempuan penjaga alam di Indonesia. Masih terdapat kisah lain seperti Rukmini Toheke, seorang penjaga Hutan Toro dan pejuang hak perempuan adat, gerakan tolak reklamasi di Teluk Benoa Bali dan gerakan Ibu Bumi di Kendeng, Jawa Tengah.

Baca juga: Perempuan Alam Lestari : Menghidupkan Kearifan Lokal dan Melawan Perubahan Iklim

Mengapa perempuan memperjuangkan lingkungan?  

Ketika kerusakan alam terjadi, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa 80% pengungsi akibat perubahan iklim adalah perempuan. PBB menjelaskan bahwa krisis iklim tidak “netral gender”, yang berarti perempuan dan anak perempuan terdampak lebih besar dibandingkan laki-laki.

Perempuan di banyak wilayah memikul tanggung jawab yang tidak proporsional dibandingkan laki-laki. Mereka bertanggung jawab untuk mendapatkan makanan, air, dan bahan bakar. Di negara-negara berpenghasilan rendah, banyak perempuan bekerja di sektor pertanian. 

Namun, musim kemarau dan curah hujan yang tidak menentu membuat mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pendapatan dan sumber daya bagi keluarganya. Tekanan ini sering kali membuat anak perempuan harus bolos sekolah untuk membantu ibu mereka.

Selain itu, perempuan juga semakin rentan terhadap konflik yang disebabkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim meningkatkan ketegangan sosial, politik, dan ekonomi, yang menggandakan ancaman bagi perempuan. Konflik yang muncul akibat perubahan iklim meningkatkan kerentanan perempuan dan anak perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual terkait konflik, perdagangan manusia, perkawinan anak, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Kendati perempuan menjadi kelompok paling terdampak, pada faktanya perempuan jarang dilibatkan dalam perumusan kebijakan-kebijakan terkait lingkungan hidup. Padahal sebuah studi dari Global Gender and Climate Alliance (GGCA) menunjukkan bahwa perempuan seringkali memiliki pengetahuan lokal yang mendalam tentang praktik-praktik lingkungan yang berkelanjutan. 

Sayangnya, pengetahuan ini sering diabaikan dalam perumusan kebijakan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa memperkuat peran perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan tidak hanya bermanfaat bagi kesetaraan gender tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan.

Ekofeminisme, sebagai gerakan yang menghubungkan isu-isu lingkungan dengan isu-isu feminis, menekankan pentingnya mendengarkan suara perempuan dalam usaha pelestarian alam. Ekofeminisme berargumen bahwa untuk mencapai keadilan lingkungan, kita harus mengakui dan mengatasi ketidakadilan gender yang ada. Dengan demikian, ekofeminisme menjadi penting karena tidak hanya berjuang untuk kesetaraan gender, tetapi juga untuk kesehatan dan keberlanjutan lingkungan secara keseluruhan.

Sumber:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Suara.com dan Core Indonesia Siap Gelar Youth Economic Summit 2024

Mengejar Kecantikan Ideal di Media Sosial

Stop Pelecehan Di Ruang Private dan Publik

Leave a Comment