Bincangperempuan.com– Nama Han Kang menjadi angin segar di dunia sastra. Kamis (10/10) di Stockholm, Swedia, penulis Korea Selatan ini diumumkan sebagai peraih Nobel dalam bidang Sastra tahun 2024. Tak hanya itu, Han Kang juga menorehkan prestasi baru sebagai perempuan Asia pertama yang memenangkan pernghargaan prestius tersebut.
Pencapaiannya mendobrak kritik Nobel Sastra yang selama ini lekat dengan dominasi laki-laki dan penulis Eropa serta Amerika Utara. Menyusul kemenangan Annie Ernaux pada tahun 2022, Han Kang kini bersanding dengan 17 perempuan penerima Nobel Sastra lainnya.
Lahir di Gwangju pada tahun 1970, Han Kang tumbuh besar dengan latar belakang yang lekat dengan literatur. Ayahnya, Han Seungwon merupakan novelis terkenal, demikian pula dengan kedua saudaranya yang meniti karir serupa di bidang kepenulisan. Debut Han Kang sebagai penulis bermula ketika kelima puisinya dimuat pada majalah Literature and Society. Buah penanya terus bermunculan, dengan beberapa judul seperti The Vegetarian dan Human Acts berhasil meraih atensi dunia internasional.
Lewat gaya menulis reflektif, Han Kang tidak ragu mengarungi kedalaman emosi manusia. Sebagaimana yang dituturkan Komite Nobel, karya Han Kang adalah “prosa puitis intens yang meghadapi trauma bersejarah dan mengungkap kerapuhan manusia.”
Baca juga: Ratih Kartika, Menembus Batas dengan Menjadi Penulis
Merangkul kemanusiaan melalui sastra
Han Kang tidak luput mengangkat kekerasan gender pada tulisannya yang berjudul The Vegetarian. Novel ini berkisah tentang Yeong-hye yang menolak memakan daging demi meraih mimpinya bertransformasi menjadi pohon. Walau terkesan surealis, The Vegetarian menekankan realita budaya patriarki ketika hak tubuh perempuan direnggut oleh laki-laki–yang mana pada cerita ini direpresentasikan oleh tokoh ayah, suami, dan kakak ipar Young-hye. Sepanjang cerita, Young-hye menerima kekerasan berlapis mulai dari objektifikasi, ekspektasi peran gender tradisional, hingga marital rape yang mengarah pada KDRT. Keinginan Young-hye sejatinya merupakan simbolisasi harapan semu atas kebebasan tubuhnya sendiri.
Pandangan Han Kang tentang dunia yang penuh kekerasan juga tercermin pada karyanya yang berjudul The Human Act. Novel ini mengangkat represi politik dan warisan trauma kolektif pada tragedi Pembantaian Gwangju 1980. Pengalaman Han Kang bersinggungan dengan Pembantaian Gwangju terjadi di usianya yang ke-12, ketika ia menemukan album foto jurnalis asing yang memotret kekejaman tragedi berdarah tersebut. Momentum ini menjadi titik permulaan bagi Han Kang sebagai sosok yang berusaha merangkul kemanusiaan, termasuk melalui karya-karyanya yang kini juga membawa dia menerima anugerah Nobel Sastra.
Menyatakan sikap atas perang Ukraina-Rusia dan Genosida
Menyusul berita kemenangannya ini, Han Kang justru dikabarkan menolak mengadakan konferensi pers sebagai bentuk pernyataan sikapnya terhadap perang Ukraina-Rusian dan Genosida Israel terhadap Palestina.
Mengutip Korea Times, keputusan ini disampaikan oleh Han Seung-Won yang merupakakan ayah Han Kang, “Dia mengatakan kepada saya, ‘Dengan perang yang semakin intensif dan orang-orang mati setiap hari, bagaimana kita bisa mengadakan perayaan atau konferensi pers?”
Di luar titelnya sebagai penulis Korea Selatan, Han Kang memperlihat kesadaran globalnya yang visioner, empatik, dan kritis–mempertegas betapa prinsipnya untuk menolak kekerasan tidak hanya tercermin melalui kata-kata, tetapi juga tindakan nyata.
Baca juga: Nandina Putri, Ajak Anak Muda Bengkulu Peduli Budaya
Han Kang dan pengakuan bagi penulis perempuan Asia
Kemenangan Han Kang menuai sukacitadari berbagai pihak, terutama pegiat literasi. Sastrawan Indonesia, Intan Paramadhita yang terkenal akan karya-karya bernuansa feminisnya, turut memberi sorotan bagi Han Kang melalui postingan akun instagramnya @sihir.perempuan
Han Kang is the first Asian woman writer to win the Nobel Prize in Literature. Here’s how I see it: (1) Han Kang deserves all the attention and recognition for her powerful body of work. (2) The labour of literary translators deserves even more recognition. (3) I still think that the Nobel Prize has failed women of colour. The fact that Han Kang is the first Asian woman writer to win the prize in 2024 means that there have been many remarkable Asian women writers ignored and excluded by this European institution for decades.
Selain memberi ucapan selamat, tak lupa Intan menyampaikan apresiasi bagi kontribusi para penerjemah yang telah mengalihbahasan karya-karya penulis non-inggris. Takarirnya juga memuat ‘kritik halus’ terhadap institusi barat yang selama ini terlalu berorientasi pada sastrawan kulit putih.
Nobel Sastra, sebagai penghargaan bergengsi pun, bisa dibilang cukup timpang. Hanya ada 17 penulis perempuan dari total 118 penerima penghargaan yang sudah diadakan sejak 1901 ini. Kritik ini tidak lepas dari anggapan bias gender dari panel juri yang didominasi pria, hingga minimnya keterwakilan penulis perempuan dari beragam latar belakang.
Keterbatasan dalam penerjemahan menjadi salah satu batu sandungan yang menghambat eksposur dari karya-karya potensial penulis ini. Dilansir dari Pen America, “Penulis perempuan berkontribusi kurang dari 30% dari literatur yang diterjemahkan ke bahasa Inggris.” Data ini menunjukkan minimnya representasi penulis perempuan non-inggris yang mampu menembus pasar internasional.
Bahkan karya Han Kang, The Vegetarian baru bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 2015. Yangka waktu yang cukup lama apabila mengingat buku ini sudah lebih dulu diterbitkan tahun 2007 di Korea Selatan. Peran Deborah Smith selaku penerjemah layak dihargai karena berhasil mengantarkan karya pertama Han Kang memperoleh pengakuan global, termasuk penghargaan International Booker Prize (2016). Tanpa adanya peran penerjemah, rasanya mustahil bagi Han Kang untuk bisa sampai di titik saat ini sebagai penerima Nobel Sastra.
Di masa kini, kesadaran akan kesetaraan gender dan pentingnya cross-cultural understanding terus disuarakan. Hal ini berperan besar menumbuhkan harapan baru, terutama bagi keterlibatan perempuan di dunia sastra. Salah satu contoh implementasi nyatanya dapat kita lihat pada kampanye Women in Translation Month (#WIMonth) yang digagas oleh Meytal Radzinki sejak tahun 2014. Kampanye ini ramai disuarakan oleh penerbit dan para pegiat literasi dengan tujuan mempromosikan karya perempuan dari seluruh dunia dan menekankan pentingnya peran penerjemahan ke bahasa Inggris.
Pencapaian Han Kang menjadi nyala api baru bagi penulis Asia, pun bagi penulis-penulis kulit berwarna lain yang selayaknya memperoleh perhatian atas karya visioner mereka yang takkalah memukau. Bukanlah hal mustahil kelak melihat Mieko Kawakami, Adania Shibli, Intan Paramadhita, dan nama-nama lain memperoleh panggung yang lebih luas di kancah internasional.
Sumber :
- “Han Kang, Perempuan Pertama Asia yang Menangkan Nobel Sastra” dilansir dari https://www.konde.co/2024/10/han-kang-perempuan-pertama-asia-yang-menangkan-nobel-sastra/
- “Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra”, dilansir dari https://magdalene.co/story/han-kang-sastrawan-korsel-yang-menang-nobel/#google_vignette
- “Han Kang: ‘Writing about a massacre was a struggle. I’m a person who feels pain when you throw meat on a fire’” dilansir dari https://www.theguardian.com/books/2016/feb/05/han-kang-interview-writing-massacre
- “Women in Translation Month: Moving Toward Parity” dilansir dari https://pen.org/women-in-translation-month-moving-toward-parity/
- “Han Kang declines press conference, refuses to celebrate award while people die in wars” dilansir dari https://www.koreatimes.co.kr/www/culture/2024/10/135_384056.html