TAK mudah bagi Hilda Sriwanti mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Keputusan yang akhirnya mengubah pandangannya dalam memaknai hidup. Bahwa hidup harus memberikan manfaat besar bagi orang lain. Itu adalah kebahagiaan yang tak bisa terukur.
11 Tahun Mengabdi Sebagai Pekerja Sosial
Sejak tahun 2010, wanita kelahiran 1981 ini memutuskan untuk menjadi pekerja sosial di Kementerian Sosial. Statusnya kontrak. Tugasnya melakukan pendampingan terhadap korban-korban kekerasan, terutama perempuan dan anak. Gajinya pun hanya setara Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan III.A atau sekitar Rp 3 juta untuk saat ini. Bahkan lebih kecil lagi pada kondisi tahun 2010 yang hanya Rp 1,2 juta. Tapi bukan gaji yang dia cari.
“Walaupun kami tidak punya meja, tidak punya kursi, nggak punya dana operasional, yang penting kami bisa mendampingi, bersama anak-anak (korban kekerasan, red). Punya tanggung jawab untuk membantu mereka,” ungkap Hilda saat berbincang dengan bincangperempuan.com belum lama ini.
Ibu dua anak ini merupakan lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu (Unib) tahun 2004. Dia sempat bekerja kantoran. Namun memutuskan untuk berhenti.
Baca juga: CP WCC, 23 Tahun Berkiprah untuk Perempuan Korban Kekerasan
“Tahun 2005 sempat kerja di Askes, kalau sekarang BPJS Kesehatan. Tapi berhenti. Jiwa saya nggak di situ. Tahun 2010 saya ikut tes pekerja sosial di Kementerian Sosial. Bertahan hingga sekarang. Tiap tahun perbarui kontrak. Ini membuat saya lebih nyaman karena selalu bersinggungan dengan perempuan dan anak,” beber Hilda.
Dikatakan Hilda, sebagai pekerja sosial dia punya kebebasan untuk bermitra dengan siapa saja. Asalkan itu punya koneksi dengan klien yang dia dampingi. “Intinya kita bisa melakukan keberfungsian sosial terhadap klien atau pemilik masalah,” katanya.
Meski tanpa jaminan karier, bahkan tanpa dana operasional saat melakukan pendampingan, Hilda tak pernah mengeluh. Niat tulusnya untuk membantu membuatnya selalu bersemangat mendampingi klien hingga kasusnya tuntas.
“Tetap betah meski dengan jaminan karier yang tidak ada. Tanpa operasional juga. Kalau bawa klien, pakai dana sendiri. Misal kita pendampingan sidang, sampai siang bawa klien. Enggak mungkin kan enggak makan siang. Tapi alhamdulillah (selalu, red) dicukupkan. Kenapa bertahan? Karena dari dulu niat saya ingin melakukan pengabdian dan pelayanan,” jelas Hilda.
Ketertarikan Hilda sebagai pekerja sosial sebetulnya sudah muncul saat dia masih duduk di bangku sekolah. Itu pula yang membuatnya memutuskan mengambil sekolah keperawatan. “Tahun 1999 tamat sekolah keperawatan. Saya lanjut ambil pekerja sosial medis, nah latar belakangnya adanya di Ilmu Kesejahteraan Sosial. Makanya saya pilih Universitas Bengkulu,” bebernya.
Lulus kuliah Hilda bergabung di Women Crisis Center (WCC). Di lembaga inilah Hilda benar-benar menyaksikan keterpurukan yang dialami para korban. Dia pun belajar hidup mandiri. “Dulu saya enggak bisa bawa motor sendiri, sampai akhirnya bisa pakai motor sendiri. Belajar mandiri banget. Saya juga belajar banyak hal. Hal kecil yang kita lakukan bisa memotivasi orang lain untuk melanjutkan hidupnya,” tutur Hilda.
Kini dalam sebulan Hilda bisa mendampingi 5 kasus baru. Beragam kasus dia kawal hingga tuntas. Bahkan kasus terlama yang dia damping ada yang mencapai hingga 2 tahun. “Kasus kekerasan seksual anak 7 tahun dengan pelaku bapak tiri dan bapak kandung. Sampai sekarang masih dalam pengawasan saya,” ujarnya.
Menurut Hilda, pekerja sosial sudah dimandatkan dalam UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Korban anak wajib didampingi pekerja sosial. “Tugas kami menggali informasi. Melakukan pendekatan terhadap anak. Kita dekati, bicara yang tidak terlalu formal. Hingga akhirnya dua-duanya (pelaku bapak tiri dan bapak kandung, red) ditangkap,” ungkap Hilda.
Dibeberkan Hilda, saat melakukan pendampingan dalam kasus ini ditemukan sejumlah hambatan. Salah satunya tidak adanya dukungan dari ibu kandung korban. Padahal dalam pemulihan trauma anak, dalam kasus ini ibu kandung memiliki peran besar.
Bca juga: Cegah dan Kenali Kekerasan Seksual pada Anak
“Yang melaporkan justru tetangga. Ibunya cuek dan tidak mau mengakui. Anak mengadu ke ibu. Ibunya tak menganggap. Mengadu ke bapak kandung malah diperkosa juga. Total sudah 11 kali korban mengalami kekerasan seksual,” beber Hilda.
Dikatakan Hilda, dalam masa pemulihan korban dapat menjadi normal seutuhnya agak sulit. Semua tergantung keluarga. Keluarga harus memberikan dukungan.
“Trauma anak-anak ini kadang tidak terpikirkan oleh orang lain. Kita harus memikirkan reintegrasi sosial, menyatukan lingkungan dan keluarganya. Memperhatikan tumbuh kembangnya. Ini yang harus dijaga, terutama untuk korban yang masih belum baligh,”
Hilda Sriwanti
Selama melakukan pendampingan, Hilda mengungkap fakta bahwa korban membutuhkan waktu yang lama untuk lepas dari kekerasan yang dialaminya. “Terungkap setelah bertahun tahun. Ada yang sampai 5 tahun. Itu lantaran korban berada di bawah ancaman. Rata-rata susah terungkap,” ujarnya.
Kendala lain yang dialami Hilda yakni sulitnya mencari lembaga yang mau menampung anak-anak korban kekerasan tersebut. Padahal untuk kasus-kasus tertentu dengan korban yang tak mendapat dukungan keluarga, solusinya harus mencari pengasuhan alternatif.
“Sulit sekali mencari lembaga, meyakinkan lembaga atau panti asuhan yang mau menampung anak korban kekerasan seksual. Kami sudah lakukan advokasi ke pemerintah untuk membuat rumah sosial perlindungan anak. Rumah sosial perlindungan anak ini sangat diperlukan,”
Hilda Sriwanti
Korban kekerasan seksual tak pandang usia. Dari kasus yang ditanganinya, usia paling kecil 3 bulan hingga 18 tahun. Pelaku umumnya adalah orang terdekat. Orang yang dikenal oleh korban. “Sebenarnya ini sudah darurat sekali. Ini bukan hal yang terlihat. Apalagi kondisi korban tidak bisa diukur dengan angka,” ucapnya.
Mirisnya lagi, untuk korban disabilitas justru beberapa kasus tidak bisa diproses hukum. Hal itu lantaran sulitnya melakukan pengungkapan. “Pengungkapan secara verbal. Kami kesulitan dalam berkomunikasi. Anak-anak itu tidak paham kalau mereka menjadi korban. Mereka tidak tertekan secara psikologis. Tapi tetap kita pantau untuk mengamati apakah ada gejala trauma,” katanya sembari menyebut sudah ada 4 kasus korban disabilitas yang melewati proses hukum.
Bersama Yayasan PUPA, Hilda terus memberikan advokasi. Memberikan pemahaman bahwa korban kekerasan anak harus didampingi, bukan hanya saat kasusnya berjalan. “Anak korban kekerasan seksual ini sampai usia 18 tahun baru bisa kita lepas. Ada konflik dengan tumbuh kembangnya,” terang Hilda.
Hilda juga melakukan pendekatan terhadap media. Terutama terhadap pemberitaan yang bersinggungan dengan korban perempuan dan anak. Dia pun meminta media tidak menampilkan visual anak, atau visual yang dapat mengungkap identitas anak seperti rumah dan lainnya. Penulisan juga harus yang ramah anak. Karena itu bisa menimbulkan trauma bagi anak. “Dampak pemberitaan itu luar biasa. Kita harus melihat kondisi psikologis. Penting memberikan informasi, tapi dampak yang dirasakan korban jauh lebih penting,” tutur Hilda.
Dalam pemberitaan Hilda meminta media agar fokus untuk menyelesaikan masalah. Hal terpenting si pemilik masalah bisa menyelesaikan masalahnya. “Kita harus saling menjaga harga diri. Baik kita sebagai yang membantu, maupun yang punya masalah,” imbuhnya.
Baca juga: Yulia Suparti : Dari Sampah Ingin Menyelamatkan Dunia
Diakui Hilda, tak banyak yang tahu keberadaan pekerja sosial seperti dirinya. Tak heran bila di lapangan dia kerap mendapati ketidaktahuan masyarakat, bahkan dari Pemerintah Daerah sendiri. “Bukan masalah besar. Sudah biasa kalau banyak yang tidak tahu. Hal terpenting bagi saya bagaimana membangun kepercayaan dengan klien. Kalau klien merasa tidak nyaman dengan kita itu bisa menambah beban psikis mereka,” tutup Hilda. (betty herlina/eL)
*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.