[Peringatan: Kalimat berikut mengandung pelecehan seksual dan dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan]
“Mana ada kucing nolak kalau dikasih ikan!”
“Hidup itu kaya diperkosa, nikmatin aja”
“Ya elah, dia mah udah pernah gua pake”
“Pria yang pasangannya memiliki payudara besar sangatlah beruntung, karena berarti ia punya ‘pegangan’ hidup,”
Beberapa kalimat di atas (mungkin) terdengar familiar baik di lingkungan sekolah, tempat kerja, bahkan berseliweran di internet. Jeje Bahri, salah seorang pekerja media menceritakan kasus pelecehan yang pernah terjadi di salah satu tempat kerja lamanya.
“Salah satu teman perempuanku yang baru saja menikah, pernah membawa smartphone barunya ke tempat kerja, kemudian salah satu rekan kerjaku membuat lelucon tentangnya: “Enak ya sekarang modal ngangkang doang dapet Iphone,” tutur Jeje.
Alih-alih menertawakan lelucon tersebut, Jeje bercerita sejak saat itu, temannya justru membatasi pergaulan dengan rekan-rekan laki-lakinya. Jeje memahami hal tersebut, karena ia sendiri juga pernah mengalami hal serupa dan itu memang berdampak pada kehidupan sosialnya.
“Aku sendiri jadi takut untuk ngumpul sama cowo-cowo, ya ruang sosial aku jadi terbatas,” ungkap Jeje.
Seksisme dan Humor Seksis
Perilaku seksisme dilandasi keyakinan bahwa satu jenis kelamin lebih unggul (baca : laki-laki) daripada jenis kelamin lainnya. Dalam masyarakat patriarki, seksisme muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari prasangka, streotip diskriminasi, objektifikasi hingga lelucon. Candaan-candaan bernada seksual atau humor seksis masih sering ditemui di berbagai lingkungan sosial di Indonesia yang budaya patriarkinya masih kental.
Praktiknya, humor seksis dapat merendahkan, menghina, memberi stigma, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender mereka.
Dilansir dari situs resmi Jurnal Perempuan pada Selasa (23/05/2023), Dewi Candraningrum, pemerhati gender dari Jurnal Perempuan mengatakan humor seksis adalah humor-humor yang memandang inferior, menghina bentuk atau ukuran tubuh, menjadikan sebagai objek seks, terhadap laki-laki, perempuan, maupun non-biner. Tidak hanya yang bernada seksual, kadang humor seksis dapat terkesan halus, namun tetap bersifat merendahkan.
Misalnya, “Galak amat, lagi PMS, ya?”
“Lambat banget lu jalan, kayak cewe,”
Baca juga: Akhiri Stigma ‘Perawan Tua’ pada Perempuan Lajang
Yongki (23 tahun), laki-laki yang bekerja sebagai Barista mengatakan bahwa ia masih teramat sering mendengar lelucon seksis tersebut dari teman-teman laki-laki satu tongkrongannya. Menurutnya, sangat sulit menyadarkan teman laki-lakinya bahwa lelucon semacam itu tidak pantas dan merendahkan perempuan.
“Iya, itu (baca : humor seksis) lebih sering ditujukkan kepada teman-teman perempuan. Mereka (baca: perempuan) biasanya enggak ikut tertawa, mereka lebih sering diam, namun teman-teman laki-laki biasanya tidak peduli apakah mereka nyaman atau tidak dengan humor tersebut,” jelas Yongki.
Meski banyak datang dari laki-laki, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban humor seksis. Yongki sendiri juga pernah merasakan streotipe serupa saat masih berusia belasan tahun. Seperti, “Laki-laki kok ngga kuat angkat galon,”
Bukan Candaan, Humor Seksis Kekerasan Simbolik
Sebagai medium komunikasi sehari-hari, bahasa dan penggunaannya tidak bisa diremehkan. Pengajar Departemen Sosiologi dari University of North Carolina pernah menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Why Sexist Language Matters”, bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam komunikasi dan pemahaman antara individu yang menguatkan realitas sosial di masyarakat.
Sebagai alat yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, ide, dan perasaan, bahasa merefleksikan nilai-nilai sosial, budaya, dan pandangan dunia suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran, bahasa juga dipakai sebagai sarana untuk memelihara budaya dominan, yaitu patriarki.
Berbagai studi sosial menunjukkan bahwa humor seksis bukan sekedar humor, namun merupakan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Humor seksis membangun dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan membiarkan perempuan menjadi objek humor, sehingga membuat perempuan menginternalisasi nilai-nilai seksisme dan membuat pelecehan seksual berkedok humor menjadi budaya yang lazim. Misalnya, humor soal pemerkosaan yang dinormalisasi akan membentuk budaya pemerkosaan (rape culture), budaya yang mendukung kekerasan terhadap perempuan.
Fakta ini dibuktikan oleh penelitian Thomas E.Ford, Professor of Social Psychology dari Western California University yang menunjukkan bahwa orang yang kerap terpapar humor seksis dapat mempengaruhi psikologis orang tersebut sehingga ia memiliki level toleransi yang lebih tinggi terhadap pelecehan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Mereka juga dilaporkan kerap memotong dana untuk organisasi-organisasi perempuan di kampus setelah mengonsumsi lawakan seksis. Beberapa penelitian lainnya bahkan melihat adanya kecenderungan para laki-laki yang terpapar lelucon seksis akan menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan.
Baca juga: Perempuan Rentan Menjadi Korban Perdagangan Manusia
Selain mencerminkan pemikiran pribadi, penelitian lainnya dari Christoper J. Hunt, psikolog klinis University of Sidney menyatakan bahwa seringkali lelucon seksis juga dilakukan untuk memperkuat ikatan antar laki-laki karena perempuan dan gender minoritas lainnya dianggap ‘liyan’ atau ‘out-group’ sementara sesama laki-laki heteroseksual dianggap sebagai in-group.
Hal ini juga dikonfirmasi Yongki bahwa terkadang ada peer-pressure yang cukup kuat dari laki-laki dalam suatu kelompok sosial untuk menyetujui lelucon yang merendahkan perempuan.
“Dulu aku pernah ikut ngetawain, tapi sekarang udah nggak lagi. Selain karena belum sadar, dulu aku ikutan ketawa karena takut dianggap mengacaukan suasana. Biasanya kalau kita negur, ya ketika pasti ditegur balik, ada sanksi sosial kalau kita nyeriusinnya” ujar Yongki.
“Kamu terlalu serius, ngga seru ah. Kek gitu aja dipermasalahin, kita kan cuma bercanda,” demikian Yongki menirukan respons temannya.
Yongky merasa, dengan melakukan hal-hal yang dianggap lebih feminin atau lebih dikaitkan dengan perempuan, ia dianggap mencederai nilai-nilai maskulinitas dominan di masyarakat.
Melanggengan Humor Seksis di Ruang Publik
Hasil penelusuran redaksi Bincang Perempuan, di era internet, humor kini tak hanya hadir di ruang eksklusif pertemanan. Kehadiran meme, TV, blog atau vlog Youtube menjadi medium baru orang untuk mengekspresikan guyonan mereka. Perkembangan humor Indonesia juga diwarnai dengan treneksistensi stand-up comedy (komedian lawak tunggal) yang naik daun di tanah air sejak awal tahun 2000. Dalam perkembangannya, memang lebih banyak comica –istilah untuk seseorang yang melakukan stand-up comedy– laki-laki yang terkenal.
Humor-humor yang banyak diperdengarkan tentu saja humor khas pria: vulgar tanpa tedeng aling-aling. Dalam acara Stand Up Comedy, panggung ke panggung, kita masih sering mendengar komedian melontarkan humor-humor seksis yang dianggap lucu. Tindakan menoleransi dengan mengatakan “Itu hanya lelucon,” melanggengkan rasa tidak sensitif sehingga bahasa sehari-hari pun memberikan privilege kepada laki-laki untuk melecehkan perempuan.
Baca juga: Pentingnya Consent dalam Pelaksanaan Body Checking
Baru-baru ini, salah seorang comika mengadakan tur stand up comedy dan melalui humornya ia menyebarkan banyak miskonsepsi tentang feminisme. “Feminis, cewe yang males dan ribet,” . Materi stand-up tersebut terang menuai ramai kritik di sosial media, publik bahkan melayangkan petisi berjudul ‘Stop, Mendegrading Perempuan. Stop Menggunakan Tema Perempuan Untuk Objek Jualanmu!!!” Hal serupa juga terjadi pada comika lainnya.
Seorang YouTuber juga pernah membuat konten dengan secara random menanyakan ukuran bra kepada perempuan-perempuan yang ia temui di jalan, dan video ‘humornya’ ini diunggah ke YouTube. Mendapatkan penonton lebih dari 60.000 orang, sebagian besar warganet menanggapi video ini sebagai pelecehan dan merendahkan wanita, hingga akhirnya menghapus video itu dari YouTube dan minta maaf di akun Twitter-nya.
Sangat disayangkan, media-media mainstream yang sering dikonsumsi masyarakat acapkali masih melanggengkan rape jokes. Baik cetak maupun digital, berbagai media menayangkan humor seksis yang dilakukan oleh pejabat, artis, dan figur publik lainnya.
Bahkan, pada masa pandemi lalu Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia dikritik karena menyampaikan lelucon seksis di tengah angka positif COVID-19 yang saat itu sedang meningkat. Dalam acara halalbihalal Ikatan Alumni Universitas Negeri Sebelas Maret (IKA UNS) (26/05/2020), ia menceritakan meme tentang virus corona dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Meme tersebut menyerupakan istri dengan virus COVID sekaligus mengakui bahwa saat itu pemerintah tidak mampu mengendalikan virus Corona. “Corona is like your wife, in easily you try to control it, then you realize that you can‘t. Then, you learn to live with it,” ujar Mahfud. Mengingat meme itu disebarkan dari sesama menteri, artinya masih ada sejumlah pejabat Indonesia yang tidak sensitif gender dan merendahkan perempuan.
Melawan Humor Seksis
Menjadi sulit dihentikan saat orang-orang beranggapan bahwa hal tersebut sekedar komedi yang tidak berbahaya, sehingga kebanyakan orang tidak melihat bahwa bahasa sehari-hari yang memiliki konsekuensi politik nyata. Bahkan ketika yang melakukannya tidak memiliki niat untuk menyerang, bahasa ofensif seperti humor seksis dapat memiliki dampak halus yang tidak kita sadari.
Mengutip Yayasan Pulih pada Selasa (23/05/2023), ketidaksadaran ini membuat kebanyakan orang masih merespons humor seksis dengan nada yang positif, misalnya dengan ikut menertawakannya atau menimpalinya. Hal ini membuat korban humor seksis terkadang mengabaikan rasa tidak nyaman dan tidak terlalu memikirkannya karena dianggap hanya candaan. Korban bahkan juga bisa tidak merasakan serangan sama sekali (insensitif) karena budaya patriarki yang tertanam di masyarakat membuat korban pelecehan menginternalisasi nilai-nilai patriarki (internalized misoginy) secara tidak sadar.
Lalu, bagaimana cara menghentikan humor seksis? Melansir situs WomenKind World Wide, setidaknya ada dua tindakan yang dapat kamu lakukan jika kamu mendengar atau menjadi korban humor seksis:
- Berhenti Menertawakannya
Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah berhenti menertawakannya. Sadari bahwa humor seksis lebih dari sekedar lelucon, melainkan mengandung unsur pelecehan dan diskriminasi terhadap manusia. Dalam hal ini, kita dapat memahami bahwa bagaimana kita merespons dan berpartisipasi dalam humor tersebut merupakan bagian dari pelanggengan perendahan martabat dan kemanusiaan perempuan. Ikut tertawa berarti setuju dengan perilakunya.
- Tegur Langsung
Saat menyadari bahwa humor seksis merendahkan martabat manusia, tidak perlu lagi terpaksa tertawa agar dianggap ‘asyik’. Kita perlu memberitahukan bahwa hal tersebut adalah hal yang salah dan mengajak orang-orang di sekitar kita meninggalkan kebiasaan tersebut. Jika salah seorang dari kita menjadi korban atau menyaksikan atau mendengar humor seksis, jangan berdiam diri. Sampaikan keberatan kalian bahwa hal tersebut merugikan orang lain karena bersifat merendahkan dan mempermalukan perempuan. Misalnya,“saya tidak suka dengan yang kamu katakan, menurut saya itu tidak lucu sama sekali.” Berbicaralah dengan jelas dan tegas tentang ketidaksetujuan, jelaskan mengapa itu tidak pantas dan kalian tidak nyaman dijadikan objek seksual dalam humor.
Langkah menghentikannya dapat dimulai dari lingkungan terdekat kita. Membantu menciptakan lingkungan yang inklusif serta mendukung kesetaraan dan keadilan gender melalui tindakan sehari-hari. Mendukung humor yang positif, penghargaan pada prestasi perempuan, dan menciptakan ruang yang aman untuk berdiskusi tentang isu-isu gender. (Dian Amalia Ariani)