Home » News » Akhiri Stigma ‘Perawan Tua’ pada Perempuan Lajang

Akhiri Stigma ‘Perawan Tua’ pada Perempuan Lajang

Yuni Camelia Putri

News

Akhiri stigma perawan tua pada perempuan lajang

Bincangperempuan.com- Perempuan yang dianggap sudah cukup umur untuk menikah, kerap mendapatkan pertanyaan ‘kapan menikah?’ atau ‘kok gak nikah-nikah? Gak laku ya? Nanti jadi perawan tua lho! 

Pertanyaan dan pernyataan tersebut tentunya membuat perempuan merasa tidak nyaman. Meski tak diungkapkan secara lugas, namun rasanya seperti diolok-olok.  

Komentar tersebut muncul dipicu karena bias negatif terhadap perempuan lajang. Masyarakat digiring dengan pola pemikiran, perempuan lajang biasanya kesepian, terlalu pemilih, independen dan tidak membutuhkan laki-laki. 

Kultur masyarakat patrikarki memberikan label “perawan tua” pada perempuan yang tak kunjung menikah. Akibatnya perempuan merasa tertekan. Kondisi ini biasanya menimpa perempuan ketika sudah berusia di akhir dua puluhan atau menjelang tiga puluhan,  karena tak kunjung memiliki waktu untuk mencari pasangan atau memulai sebuah rumah tangga.

Baca juga : Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Berbasis Gender

Label “perawan tua” memperkuat persepsi bahwa perempuan yang belum menikah merupakan perempuan yang tidak laku. Stereotip ini jelas merugikan perempuan yang memilih untuk melajang di usia tertentu.

Gangguan yang diterima perempuan lajang

Tak hanya label “perawan tua”, masyarakat juga menilai jika perempuan yang baik akan lebih cepat menikah bisa mengurangi beban ekonomi keluarga dan menghindari zina. Meskipun perempuan tersebut telah bekerja dan taat beragama, masyarakat tetap memandang negatif status mereka yang belum menikah. 

Beberapa gangguan yang sering diterima oleh perempuan yang belum menikah, yaitu:

Dicap penyuka sesama jenis

Persepsi ini kerap diterima perempuan yang tidak memiliki pasangan di atas usia dua puluhan. Akan semakin parah apabila perempuan tersebut bergaya sedikit maskulin. Hal ini dikarenakan masyarakat sering kali menilai seseorang dari penampilan luarnya. Padahal tidak semua perempuan lesbian itu bergaya maskulin. Tak hanya itu perkara orientasi seksual seseorang harusnya menjadi ranah private yang harus dihormati. 

Dianggap kurang berusaha

Saat berusia remaja, perempuan diminta untuk tidak terlalu agresif dalam mencari pasangan. Persepsi ‘kurang usaha’ yang dilontarkan oleh masyarakat dikaitkan kepada perempuan yang dianggap tidak ramah, kurang dandan, tidak menjaga berat badan, hingga memaksa perempuan untuk menjadi sempurna di mata laki-laki.

Menganggu kehidupan pribadi dan keluarga

Perempuan yang memiliki prestasi atau sukses tetap dianggap gagal oleh masyarakat karena tidak menikah. Meskipun perempuan tersebut mengatakan bahwa dia sudah bahagia dengan kehidupannya, masyarakat tetap akan menganggunya.

Perempuan tersebut akan dicari kesalahannya agar dapat dipojokkan oleh masyarakat. Gangguan ini akan merambat hingga menganggu orang sekitar untuk turut memaksa perempuan tersebut agar segera menikah. Tindakan ini akan menganggu hubungan perempuan tersebut dengan orang sekitarnya.

Menakuti perempuan akan hidup sendirian di masa tua

Masyarakat akan menganggu perempuan lajang dengan mengatakan “perempuan akan sendirian dan kesusahan jika tidak ada anak yang mengurusi”. Masyarakat seakan lebih tahu tentang masa depan seseorang termasuk masa tuanya. Padahal, takdir yang dimiliki seseorang hanya diketahui oleh Tuhan termasuk kehadiran anak yang menjaga orang tua di masa tuanya.

Dituduh sebagai perempuan yang pemilih

Perempuan yang masih melajang, biasanya dipaksa untuk asal memilih laki-laki tanpa harus memikirkan risiko setelah menikah. Intinya mereka menganggap “perempuan tinggal menikah saja dan tidak perlu memikirkan kondisi atau permasalahan setelah menikah”. Ketika perempuan menolak, mereka akan mendapatkan hinaan yang lebih parah seperti “sudah bagus ada yang mau, perawan tua kok banyak mau”.

Baca juga : Jangan Ada Lagi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja

Dampak yang ditimbulkan akibat tekanan untuk segera menikah

Stigma ‘perawan tua’ telah memaksa perempuan untuk menikah tanpa persiapan yang cukup. Perempuan yang menikah tanpa persiapan dapat mengalami kerugian karena terpaksa untuk menikah. Beberapa dampak yang ditimbulkan diantaranya :

Tekanan mental

Perempuan yang selalu ditanya “kapan menikah” akan mengalami tekanan mental karena rasa tidak nyaman dan tidak berharga sehingga memaksa mereka untuk mengucilkan diri dari masyarakat. Pada akhirnya, mereka akan menikah tanpa memikirkan risiko yang akan dialami. Hal ini tentu saja akan menambah beban psikologis pada perempuan yang menikah karena tekanan dari sekitarnya.

Menghambat pendidikan

Dampak ini sering dirasakan oleh perempuan yang memilih untuk menempuh pendidikan daripada menikah di usia muda. Tekanan yang memaksa mereka untuk menikah akan semakin menghambat pendidikan karena cenderung belum siap dalam menghadapi permasalahan setelah menikah. 

Pada kondisi terburuk, perempuan akan menghadapi kondisi kegagalan dalam menempuh pendidikan dan perceraian. Eli Finkel selaku psikolog Amerika Serikat menilai bahwa perempuan yang menikah karena tekanan sekitarnya akan sulit mendapatkan pernikahan yang bahagia karena selalu merasa sulit dan lelah dalam hubungan pernikahannya.

Keterbatasan dalam berkarier

Pernikahan tanpa kesiapan yang cukup akan mengurangi kesempatan perempuan dalam mengembangkan karier. Hal ini karena bayang-bayang untuk mendapatkan persetujuan dari suami sebelum memutuskan untuk berkarier sesuai impiannya. Hal inilah yang akan mempengaruhi kemampuan seorang perempuan untuk mencapai karier yang diinginkannya.

Menjadi lajang yang bahagia

Budaya patriarki yang mengakar di masyarakat telah merundung perempuan karena bias gender. Perempuan mendapatkan beban yang lebih berat daripada laki-laki. Anggapan ini karena perempuan dianggap tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya atau mendapatkan status lebih tinggi tanpa bantuan dari laki-laki.

Anggapan berbeda justru diterima oleh laki-laki yang justru dianggap elegan ketika memilih untuk lajang. ‘Perawan tua’ justru dikonotasikan negatif dengan tujuan untuk meremehkan perempuan muda yang belum menikah.

Lantas, bagaimana cara mengakhiri stigma ‘perawan tua’ ini? Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan mengabaikan dan menunjukkan jika perempuan lajang dapat hidup bahagia.

Cara ini banyak dilakukan oleh perempuan-perempuan di China melalui postingan media sosial yang menunjukkan bahwa mereka menikmati hidup. Bahkan, cara ini menjadi tren di China untuk menginspirasi perempuan dalam posisi serupa untuk lebih percaya diri dan tetap fokus dengan pilihan hidupnya. Tren ini berhasil melawan stigma bahwa ‘perawan tua’ adalah perempuan yang tidak diinginkan oleh siapa pun.  

Seorang Sosiolog Universitas Nasional Singapura, Mu Zheng mendapati bahwa stigma ‘perawan tua’ di China berhasil dikurangi karena perempuan China telah mandiri dan sukses dalam kehidupan sosial dan perekonomiannya.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, kekerasan verbal, stigma perawan tua

Artikel Lainnya

Kisah Para Perempuan Pangkal Babu, Selamatkan Hutan Mangrove Lewat Batik Khas Pesisir

Minuman olahan kecombrang

Semangat KPPL Maju Bersama Jadikan Minuman Sari Bunga Kecombrang dari Hutan TNKS Sebagai Ikon Rejang Lebong

Queen bee syndrom

Queen Bee Syndrome: Fenomena Sosial di Tengah Dominasi Maskulinitas

Leave a Comment