Home » News » Budaya Pemerkosaan dan Upaya Penanggulangannya

Budaya Pemerkosaan dan Upaya Penanggulangannya

Yuni Camelia Putri

News

Bincangperempuan.com- B-Pers, apakah kamu pernah mendengar rape culture atau budaya pemerkosaan? Ternyata, budaya pemerkosaan merupakan upaya lainnya untuk mendiskusikan skandal pemerkosaan ekstrem yang tidak banyak disadari oleh masyarakat. Ironinya, para pelaku berasal dari orang-orang yang berkuasa, atau tidak sedikit dilakukan brand-brand produk terkenal, dan lainnya.

Kira-kira, apa aja sih kasusnya? Kasus pertama yang berhasil menyita perhatian adalah kampanye iklan yang dirilis oleh Domenico Dolce & Stefano Gabbana di tahun 2007 yang menampilkan seorang perempuan yang ditahan oleh pria dan diawasi oleh beberapa pria lainnya. Alih-alih mempromosikan pakaian musim semi dan musim panas, iklan ini justru dinilai mendukung kekerasan seksual melalui fesyen. Selain kampanye iklan dari Dolce & Gabbana, brand besar seperti Calvin Klein turut menggunakan pemerkosaan sebagai titik fokus iklan mereka.

Kasus kedua yang banyak ditemukan adalah acara komedi di TV atau film yang menormalisasikan pemerkosaan, Mirisnya, masih sedikit masyarakat yang menyadari hal ini. Akibatnya, budaya pemerkosaan ini secara gencar di promosikan dengan berbagai cara.

Baca juga: Empat Kursi DPR RI Dapil Bengkulu Diraih Perempuan

Nah, apa sih budaya pemerkosaan itu? Yuk, cari tau penjelasannya disini!

Mengenal budaya pemerkosaan

Dilansir dari Vox, budaya pemerkosaan merupakan budaya yang menormalisasikan kekerasan seksual di lingkungan masyarakat. Budaya ini cenderung menyalahkan korban atas serangan yang diterima. Ironinya, budaya tidak hanya tentang kekerasan seksual, melainkan norma-norma budaya dan institusi yang justru melindungi pelaku pemerkosaan, mempermalukan korban, dan menuntut perempuan melakukan pengorbanan dalam kebebasan dan keamanan untuk menghindari kekerasan seksual.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertama, para pelaku dan pendukungnya mendukung nilai patriaki, Kedua, mereka menginginkan perempuan menanggung beban kekerasan seksual yang mereka lakukan dengan tidak mengungkap identitas pelaku. Apabila gagal dalam melindungi dirinya, mereka akan menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang diterima.

Pada titik ini, perempuan mengalami keterbatasan untuk mencegah atau meminta keadilan atas tindak kekerasan seksual seksual yang terjadi. Tak hanya perempuan, budaya ini juga membuat korban laki-laki tidak mendapatkan perlindungan hukum dan dukungan sosial.

 Ciri-ciri budaya pemerkosaan

Jika membahas tentang ciri-ciri dari budaya pemerkosaan, jawaban pertama yang muncul dipikiranmu adalah menyalahkan korban. Yups, budaya pemerkosaan yang sudah mengakar di masyarakat memang kerap menyalahkan korban atas apa yang dialaminya. Meksipun demikian, terdapat ciri-ciri lainnya yang harus kamu ketahui untuk menghentikan budaya pemerkosaan di masyarakat. Ciri-ciri dari budaya pemerkosaan, yaitu:

  • Menyalahkan korban. Biasanya budaya pemerkosaan yang sudah mengakar kuat di masyarakat akan terus menyalahkan korban. Bagi mereka, kekerasan seksual dapat terjadi karena korban memintanya kepada pelaku.
  • Meremehkan kekerasan seksual. Meremehkan kekerasan seksual merupakan bentuk normalisasi budaya pemerkosaan yang didukung oleh masyarakat. Alih-alih memberikan sanksi sosial ke pelaku, masyarakat justru dengan mudah memaafkan kekerasan seksual yang dilakukan.
  • Mendukung candaan berbau seksual. Mendukung candaan yang berbau seksual merupakan bentuk dari pelecehan seksual secara verbal. Biasanya, kamu akan menemukannya di acara tv, diskusi singkat, atau masyarakat mendukung candaan humor seksual dengan ikut menertawakan candaan yang menyasar pada bagian tubuh yang sensitif, rumor atau gambar seksual.
  • Hanya perempuan yang dianggap perlu mempelajari cara untuk menghindari pemerkosaan. Selayaknya nilai patriarki yang dianut, perempuan dianggap sebagai kelompok lemah yang harus mempelajari cara untuk menghindari pemerkosaan. Hal ini karena masyarakat menilai jika hanya laki-laki lemah saja yang menjadi korban pemerkosaan. Akibatnya, korban laki-laki semakin bertambah tanpa adanya perlindungan diri.
  • Menolak untuk tanggapan serius tentang tuduhan pemerkosaan. Menolak tanggapan serius tentangtuduhan pemerkosaan menjadi ciri terakhir yang banyak melumpuhkan korban. Hal ini didukung oleh normalisasi budaya pemerkosaan untuk melindungi pelaku kekerasan seksual.

Baca juga: Jomblo, “Kutukan” atau Keuntungan? Ini Penjelasannya

Bagaimana menghentikan budaya pemerkosaan?

Budaya pemerkosaan yang telah lama mengakar di masyarakat dapat membahayakan korban dan sekitarnya. Kamu akan menemukan situasi dimana angka kekerasan seksual yang meningkat dengan rendahnya laporan yang masuk. Kerugian yang diterima oleh korban adalah sulitnya mendapat keadilan dan munculnya trauma yang parah. Lantas, bagaimana menghentikan budaya pemerkosaan?

Dilansir dari UN Women, budaya pemerkosaan dapat dihentikan dengan menerapkan beberapa upaya berikut.

  • Bersuara menentang akar permasalahan. Budaya pemerkosaan akan terus berkembang ketika orang disekitar menerima nilai maskulinitas yang memandang bahwa kekerasan dan dominasi adalah bentuk “kekuatan” dan “laki-laki”, dimana perempuan tidak dihargai. Untuk mengatasi hal ini, kamu dapat melawasan gagasan bahwa laki-laki harus memperoleh kekuasaan melalui kekerasan dan mempertanyakan gagasan seks sebagai sebuah hak.
  • Definisikan ulang nilai maskulinitas. Saat ini, nilai maskulinitas yang berkembang di masyarakat telah melanggar hak perempuan. Untuk itu, kamu dapat mendefinisikan ulang melalui refleksi diri atau diskusi bersama untuk mengkaji dan mendefinisikan kembali maskulinitas dengan prinsip feminis.
  • Berhenti menyalahkan korban. Kebanyakan masyarakat menganut pemahaman yang menyalahkan korban kekerasan seksual. Kamu pasti sering mendengar atau membaca komentar di media sosial yang berbunti “Dia berpakaian ketat, wajar saja diperkosa!” atau “Itu mah pasti keinginan dia!”. Kamu dapat mencegah hal ini dengan memilih kata yang tidak menyalahkan korban, mengojektifikasi perempuan, atau tuduhan yang menganggap bahwa korbanlah yang menginginkannya.
  • Berhenti menoleransi pelaku. Kebanyakan kasus yang terjadi adalah sikap masyarakat yang justru menoleransi pelaku kekerasan seksual. Kamu dapat memulainya dengan mengubah pandangan ini dan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang memihak korban.
  • Berinvestasi pada perempuan. Kamu dapat mulai berinvestasi pada perempuan melalui donasi ke organisasi yang memberdayakan perempuan dan memperkuat suaranya. Langkah ini dilakukan untuk mengakhiri budaya pemerkosaan dan menjamin persamaan hak bagi perempuan dan anak perempuan.
  • Akhiri imunitas. Untuk mengakhiri budaya pemerkosaan, kamu harus menuntut pelaku untuk bertanggung jawab. Mengadili kasus-kasus kekerasan seksual dapat menjadi upaya untuk memperjuangkan hak korban kekerasan seksual.
  • Mendidik anak-anak tentang bahaya budaya pemerkosaan. Mendidik anak tentang budaya pemerkosaan dapat dimulai dengan menentang streotip gender dan idealisme kekerasan. Kamu dapat mengajarkan anakmu untuk mengetahui ruang aman untuk dirinya dan dapat mengekspresikan dirinya tanpa ancaman kekerasan seksual. Selain itu, kamu dapat mendidik anakmu untuk tegas dan menentukan pilihan yang tepat untuk mencegah budaya pemerkosaan sejak kecil.

Sumber:

  • Amanda Taub, 2014. “Rape culture isn’t a myth. It’s real, and it’s dangerous.”, dalam Vox
  • UN Women Team, 2019. “16 ways you can stand against rape culture”, dalam UN Women

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, kekerasan seksual, rape culture

Artikel Lainnya

Mela Lapor” Aplikasi Pelaporan Kasus KBGO

Jomblo, “Kutukan” atau Keuntungan? Ini Penjelasannya

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Leave a Comment