“Saya satu-satunya jurnalis perempuan di media saya, sampai saat ini,” ungkap Lisa Rosari, seorang jurnalis perempuan di Bengkulu.
Ia melakoni profesinya sebagai buruh di sebuah perusahaan media lokal sudah lebih dari 10 tahun. Ketertarikannya pada dunia jurnalistik membuatnya bertahan di pekerjaan ini. Meskipun upah yang diterimanya setiap bulan tak genap dari Rp 3 juta. Itupun sudah termasuk uang makan dan tunjangan lainnya.
Lulusan Jurnalistik Universitas Bengkulu (Unib) ini mengantongi sertifikat kompetensi wartawan madya dari Dewan Pers sejak tahun 2013 lalu. Ia melihat ada kesempatan untuk posisinya akan naik di kantor, jadi redaktur misalnya. Sayangnya kesempatan itu hanya mimpi. Hingga saat ini Lisa masih berkutat di lapangan, bertemu narasumber dan mencari berita.
Tidak ada tawaran dari pihak kantornya untuk menaikkan posisi yang bersangkutan. Padahal, tidak sedikit rekan seangkatannya yang bekerja di media lain sudah berada di posisi editor atau redaktur saat ini. Bahkan, rekan sejawatnya di media yang sama, lebih junior namun jurnalis laki-laki, sudah mendapatkan posisi redaktur.
“Jadi jurnalis membuat saya bisa belajar banyak hal. Sayangnya hambatannya masih minim kesempatan perempuan untuk naik status di redaksi. Mau punya tingkat kompetensi apapun, juga tidak ada hubungannya dengan posisi di media,” imbuh Lisa yang tercatat sebagai pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bengkulu.
Setelah beberapa tahun menjadi jurnalis, Lisa mengaku mulai protes dengan bentuk pemberitaan terhadap perempuan yang muncul di media. Ia mengaku gerah, ketika ada berita yang menempatkan bentuk tubuh perempuan sebagai obyek, termasuk menyematkan status seperti janda dan lainnya.
Namun tak banyak yang bisa Lisa lakukan, kecuali protes. Kebijakan redaksi tidak ditangannya. Ia hanya seorang wartawan.
“Awalnya saya tidak protes, karena saya tidak tahu, dan tidak ada pula yang memberitahu. Namun lama-lama saya belajar, organisasi profesi saya banyak memberikan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas. Dari situ saya belajar. Beberapa narasumber perempuan juga memberikan masukan serupa. Saya tidak suka kalau perempuan dieksploitasi dalam berita,” katanya.
Tak jauh berbeda dengan Kusuma Ningrum. Ia merupakan salah satu reporter perempuan di televisi lokal berjaring. Hampir 10 tahun menjadi reporter, Ningrum tak pernah protes dengan besaran upah yang diterimanya, bebas tugas yang bertambah ataupun promosi jabatan nyaris tak ada. Kurun waktu tersebut, ia juga tidak bergabung dengan organisasi profesi manapun.
“Dari dulu ya posisi saya tetap ini. Mau ikut pendidikan atau pelatihan apapun tidak berpengaruh pada jenjang karir. Saya tidak mengikuti uji kompetensi yang disyaratkan Dewan Pers, dan saya baik baik saja,” katanya.
Begitulah potret yang dialami jurnalis perempuan di Bengkulu. Kota kecil di Pulau Sumatera dengan jumlah penduduk 2 juta jiwa. Survey sample terhadap 29 jurnalis perempuan di Bengkulu kurun November 2021, hanya 5 jurnalis perempuan yang memiliki kompetensi utama. Dari jumlah tersebut tidak ada satupun jurnalis perempuan yang menduduki posisi pemimpin redaksi. Bila masih berada di newsroom, maka karirnya mentok sebagai koordinator liputan. Adapula yang sudah dipindahkan ke divisi lain yang jauh dari peran pemberitaan, seperti bagian marketing dan manajerial kantor.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang jurnalis perempuan, namun menjadi gambaran umum bagi perjalanan karir jurnalis perempuan di Indonesia. Industri media masih menjadi ruang yang didominasi maskulitas.
Representasi Perempuan di Media
Di Indonesia, Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani mengatakan representasi perempuan di media masih didominasi unsur seksualitas atau objektifikasi seksual. Memberikan nuansa seks pada semua liputan yang berhubungan dengan perempuan ataupun tokoh perempuan lazim dijumpai. Berbeda dengan konten pemberitaan untuk laki-laki.
Selain itu, seksisme dan stereotype juga masih mendominasi. Diskriminasi yang dilakukan berdasarkan gender atau jenis kelamin seseorang. Sedangkan seksisme bisa dilakukan oleh dan kepada siapa saja, terutama pada perempuan. Stereotype berupa generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya.
“Seksisme dalam percakapan misalnya “Perempuan lebih perasa, laki-laki lebih rasional. Atau “Jangan suka pulang malam, nanti dicap perempuan nakal.” Seksisme menjadikan perempuan sebagai properti, sebagai gender yang lebih lemah. Yang paling berharga dari perempuan adalah penampilan. Ini juga diperkuat dengan peningkatan konservatisme di Indonesia karena pengajaran agama yang semakin kaku dan keras,” pungkas Devi.
Patriaki dan Kepemimpinan Perempuan di Media
Di Indonesia, inisiatif perempuan membangun media dimulai sejak tahun 1912, dengan lahirnya Soenting Melayu, surat kabar yang digagas Rohana Kudus. Soenting Melayu mengangkat tema tentang pentingnya mendudukan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sejajar, termasuk persoalan politik dan kriminal. Koran tersebut tersebar hingga ke Jakarta dan Semarang. Soenting Melayu menjadi pematik lahirnya jurnalis perempuan lainnya, seperti Wadak Siti Soendari yang menjadi redaktur di surat kabar Wanita Swara.
Peneliti senior bidang gender dan pembangunan, Titiek Kartika Hendrastiti mengatakan inisiatif yang dilakukan Rohana Kudus dan jurnalis perempuan lain pada masanya adalah bentuk perlawanan yang dilakukan melalui media dalam memerangi patriaki serta kolonial kolonial berlapis penindasan bangsa barat dan perempuan pribumi.
“Mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan bentuk-bentuk patriaki di jamannya,” kata Titiek.
Budaya patriaki yang mengakar, lanjut Titiek, membuat ruang gerak jurnalis perempuan sangat terbatas. Ini didukung pula dengan beban ganda akibat tuntutan domestik, relasi gender dan kultur sosial di masyarakat menjadi penghambat jurnalis perempuan untuk mendapatkan ruang tumbuh dan berkembang di industri media. Akibatnya, jurnalis perempuan amat sangat jarang bisa berada pada top level akibat stagnannya peran yang diberikan.
“Perlu adanya kesadaran kritis, merebut atau menduduki posisi yang pantas diberikan atas prestasi yang sudah dilakukan. Bila menganalisis posisi perempuan, bagaimana menempatkan seorang perempuan itu bukan hanya pendidikan yang menentukan posisi namun dia juga harus berjuang untuk menempatkan dirinya setara,” terang Titiek.
Perempuan memimpin media, dapat dihitung dengan jari. Di Indonesia hanya beberapa media yang memberikan ruang pada perempuan untuk menjadi pemimpin. Misalnya Harian Kompas, setelah berusia 53 tahun redaksinya pernah dipimpin Ninuk Pambudy, atau Hermein Y Kleden yang pernah memimpin redaksi Tempo English. Kemudian ada Liputan6 yang saat ini pimpin Irna Gustiawati dan KBR 68H dikomandoi Citra Dyah Prastuti. Serta redaksi IDN Times dipimpin oleh Uni Lubis dan Kompas TV oleh Rosiana Silalahi.
Tak hanya di Indonesia, media internasional seperti Reuters membutuhkan waktu 170 tahun untuk memiliki pemimpin redaksi perempuan pertama yakni Alessandra Galloni. Tak jauh berbeda dengan National Geographic setelah berusia 131 tahun akhirnya Susan Goldberg menjadi perempuan pertama yang memimpin ruang redaksi.
Tak jarang, dikatakan Titiek perempuan harus melakukan lompatan besar seperti dengan membangun media sendiri agar dapat menghadirkan inklusifitas di newsroom. Ini seperti yang dilakukan Luviana di Konde.co, Najwa Shibab dengan platform Narasi serta Devi Asmarani dan Hera Diana yang menghadirkan Magdalene.
“Mereka berjuang untuk menipiskan nilai patriaki yang sangat mengakar. Saat ini teknologi memungkinkan perjuangan jurnalis yang progresif, termasuk di daerah. Identitas, perempuan memang berbeda dengan tokoh laki-laki dibidang lain. Perempuan harus menancapkan identitasnya lebih berat dari teman sejawatnya,” beber Titiek.
Riset yang dilakukan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) tahun 2021 lalu menunjukan ada enam hambatan kepemimpinan perempuan di media, yakni: 1. Hambatan sosial budaya, 2. Hambatan kondisi struktur organisasi, 3. Hambatan yang berkaitan dengan proses internal organisasi, 4. Hambatan personal yang berkaitan dengan latar belakang individu, 5. Hambatan personal yang berkaitan dengan soft skill yang dimiliki individu, dan 6. Hambatan personal yang berkaitan dengan rencana karir individu. Pola-pola hambatan pada kepemimpinan perempuan menempatkan hambatan di level organisasi sebagai hambatan utama, diikuti dengan hambatan individu, dan sosial budaya. Oleh karena itu, intervensi utama dalam mengurangi hambatan terhadap kepemimpinan perempuan mesti dilakukan pertama kali di level organisasional.
Pentingnya Perempuan Memimpin Media
Pers yang bebas dan kesetaraan hak untuk perempuan adalah pilar penting untuk membentuk masyarakat yang terbuka dan inklusif. Pers diharapkan mampu mendorong kualitas demokrasi dengan memberikan perhatian dan ruang bagi warga yang selama ini kurang didengar suara dan kepentingannya, seperti kaum perempuan, kelompok minoritas, warga disabilitas dan lainnya. Ini disampaikan Direktur Eksekutif PPMN, Eni Mulia.
Riset PPMN dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Jakarta tahun 2020 menunjukkan angka rata-rata hanya ada 3 jurnalis perempuan di antara 10 jurnalis yang bekerja di media nasional Indonesia. Minimnya jurnalis perempuan di newsroom, akan berdampak pada isu-isu gender yang menjadi ranah pemberitaan menjadi bias. Laki-laki yang sama sekali tidak ramah gender akan menulis isu-isu perempuan dengan persektif yang dimilikinya. Bahkan perempuan yang minim pengetahuan juga ikut menulis isu perempuan menjadi tidak ramah gender.
“Perbandingan komposisi jumlah warga dan pembaca laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Jika media ingin melayani audiens atau publik dengan baik dia harus menggunakan perspektif pemberitaan yang lengkap dari jurnalis perempuan maupun laki-laki. Jika keterlibatan jurnalis perempuan minim di redaksi maka pemberitaan media menjadi tidak seimbang dalam perspektif gender dan tidak mampu melayani publik pembaca secara adil,” beber Eni.
Pusat Data dan Analisis Tempo bersama Tempo Institute dalam rentang Agustus-September 2018 pernah merilis, jumlah narasumber perempuan dalam pemberitaan di media masih jauh dari ideal. Yakni hanya 11 persen atau 2.525 narasumber perempuan, bila dibandingkan dengan narasumber laki-laki sebanyak 89 persen atau 20.375 narasumber. Ini menunjukan newsroom belum sepenuhnya sensitif terhadap gender. Serta masih ada anggapan bahwa perempuan yang memiliki kapasitas masih sedikit.
Jika media ingin mampu melayani publik dengan baik, kata Eni, idealnya harus mendapatkan posisi yang baik dimata publik hingga akhirnya akan mendorong keberlanjutannya, maka redaksi harus memililiki kesadaran gender yang baik.
“Saya rasa masih jauh dari menilai kualitas pembicara/narasumber perempuan. Media bahkan tidak mengenal para ahli/narasumber perempuan karena terbiasa tidak berpikir bahwa ada suara kaum perempuan yang perlu didengar dan diperhatikan. Jadi ini masalah ketidaksetaraan gender yang sudah kronis yang ada di dalam masyararakat kita dan bahkan masih banyak tidak sadar akan adanya penyakit ini,” lanjut Eni.
Eni mengatakan ada banyak faktor yang membuat minimnya kiprah perempuan di dunia jurnalistik. Perempuan mendapatkan lebih banyak tantangan sebagai jurnalis dibanding laki-laki. Setidaknya pertama pekerjaan di media sangat maskulin tidak ramah gender dan kedua adanya beban peran ganda pada perempuan. Karena itulah perlu upaya penguatan dan perlindungan pada profesi jurnalis perempuan hingga mendorong lebih banyak perempuan memiliki kesempatan untuk memimpin media.
“Untuk membuat perubahan yang lebih signifikan dan permanen dalam hal mendorong konten media yang berkesadaran gender perlu jurnalis perempuan yang memiliki posisi pengelola dan pemimpin dalam ruang redaksi. Untuk itulah pemimpin media perempuan yang memahami persoalan gender khas masyarakat Indonesia perlu diteruskan secara jumlah maupun kualitasnya,” pungkas Eni Mulia. (betty herlina)
*) tulisan ini merupakan bagian dari fellowship Advancing News Diversity in Asia (ANDA), AAJA-Asia dan tayang pertama kali di anda-aaja.com