Bincangperempuan.com- Pada saat kasus ini viral di media sosial, tentu membuat siapapun marah dan sedih karena, lagi-lagi kasus pemerkosaan dan pembunuhan dialami oleh seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Palembang. Lebih miris lagi, pelakunya terdiri dari 4 orang, yang masih berusia di bawah umur 17 tahun. Ya Tuhan…
Polisi membongkar fakta kasus empat pelaku anak di Palembang, Sumatera Selatan yang membunuh dan memperkosa siswi SMP penjual balon berinisial AA (13 tahun). Jasad korban ditemukan di tempat pemakaman umum (TPU) Talang Kerikil pada Minggu (1/9/2024). Menurut pernyataan ibu korban, Winarti (39), pada hari itu sekitar pukul 12.00 WIB, korban pergi keluar rumah tanpa pamit ke dirinya.
Setelah itu, sekitar pukul 16.30 Wib keponakan Winarti memberi kabar bahwa AA ditemukan di TPU Talang Kerikil dalam kondisi meninggal dunia. Kabar itu membuat Winarti syok. Dirinya segera pergi ke TPU untuk melihat jasad putrinya. Winarti mengaku, putrinya itu sering membantu keluarga dengan menjual balon. Dirinya tak menyangka para pelaku yang masih berusia di bawah umur 17 tahun, tega melakukan perbuatan tersebut. Korban diketahui merupakan anak kedua dari empat saudara. Winarti berharap, polisi dapat segera menangkap pelaku. Sebab anaknya telah dibunuh secara keji. “Saya cuma bekerja sebagai pembantu, kami ini orang susah,” jelasnya.
Polisi yang menerima laporan kasus itu segera melakukan penyelidikan. Berdasar hasil otopsi dari dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara M Hasan Palemang, Indra Nasution, korban tewas karena dibunuh. Petugas menemukan bekas luka akibat pukulan benda tumpul di bagian leher. Selain itu, Ayu diduga tewas karena kehabisan oksigen sehingga membuatnya sulit bernapas. “Dari hidung mengeluarkan darah karena diduga kehabisan oksigen, kemudian ada luka dalam di leher karena diduga terkena benda tumpul.
Kasat Reskrim Polrestabes Palembang, AKBP Yunar Hotma Sirait menjelaskan, dari penyelidikan bukti-bukti di TKP dan hasil otopsi, polisi menangkap
3 pelaku yang semuanya masih berusia remaja. Mereka adalah IS (16), MZ (13), MS (12) dan AS (12). Para tersangka ditangkap pada Selasa (3/4/2024). “Sekarang kami masih dalam tahap penyelidikan.
Kapolrestabes Palembang Kombes Pol Harryo Sugihartono menjelaskan, peristiwa tragis itu berawal IS bersama tiga rekannya bertemu dengan korban di acara hiburan tradisional Kuda Lumping di sekitar kawasan Pipa Reja. Setelah itu, IS mengajak korban AA jalan-jalan ke TPU Talang Kerikil. Korban yang tak curiga kemudian menuruti ajakan dari pelaku.
“IS kemudian mengajak ketiga rekannya menuju ke lokasi awal korban tewas,” kata Harryo saat melakukan gelar perkara, Rabu (4/6/2024).
Berdasarkan pengakuan pelaku, jasad korban sempat dibopong ke lokasi lain yang berjarak sekitar 30 menit dengan berjalan kaki. Di sana, korban yang sudah dalam kondisi meninggal kembali diperkosa oleh ketiga pelaku. Pelaku mengira korban pingsan, sehingga meninggalkan korban begitu saja. Setelah dilakukan gelar perkara, Pelaku mengakui bahwa perbuatan tega itu adalah bentuk dari niatan pelaku yang ingin mengeksplorasi nafsu syahwatnya setelah menonton film porno.
Baca juga: #MarriageIsScary: Perempuan Mengungkap Kecemasan di Balik Pernikahan
Perempuan Dipandang Objek Seksual
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan ini menjadi berita yang mengguncang banyak pihak. Kejahatan ini sekali lagi mengingatkan kita betapa rentannya anak perempuan terhadap kekerasan seksual dan bagaimana sistem sosial yang patriarkal turut berperan dalam menciptakan situasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan ini.
Kasus ini tidak hanya menyedihkan karena melibatkan anak-anak sebagai pelaku dan korban, tetapi juga karena mengungkapkan bagaimana perempuan muda sering kali menjadi sasaran eksploitasi seksual. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan seringkali dilihat sebagai objek seksual yang rentan terhadap kekerasan seksual. Ketidaksetaraan gender yang mengakar dalam sistem sosial dan budaya kita membuat perempuan, terutama yang muda, kerap menjadi korban dari kekuasaan maskulin yang menyimpang.
Norma sosial yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada laki-laki, serta kurangnya pendidikan tentang seksualitas yang sehat, bisa menjadi faktor yang memicu tindakan kekerasan seksual ini. Pelaku kejahatan tersebut, yang semuanya masih remaja, diduga terdorong oleh nafsu seksual setelah menonton film porno, yang ironisnya merupakan bentuk konsumsi media yang tidak terkontrol pada usia mereka. Ini menunjukkan bagaimana akses yang tidak sehat terhadap informasi seksual, tanpa pendidikan yang benar, dapat membentuk perilaku yang merugikan orang lain, terutama perempuan.
Sistem peradilan dan perlindungan anak perempuan
Persoalan lain yang timbul dalam kasus ini adalah terkait penanganan hukum terhadap para pelaku yang masih di bawah umur. Sistem hukum Indonesia mengatur pelaku yang berusia di bawah 18 tahun termasuk dalam kategori anak-anak dan akan diadili dengan cara yang berbeda dari pelaku dewasa. Meskipun ini dilakukan untuk melindungi hak anak, dalam kasus kekerasan seksual yang begitu brutal, banyak yang mempertanyakan apakah hukuman yang lebih ringan bagi pelaku yang masih remaja adalah solusi yang adil bagi korban.
Dalam kasus ini, ada empat anak laki-laki yang terlibat dalam pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP ini. Meskipun mereka masih remaja, tindakan mereka menunjukkan perencanaan dan niat yang jahat, terutama karena korban tidak hanya diperkosa sebelum dibunuh, tetapi juga setelah korban meninggal. Kejahatan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana hukum harus mengatasi pelaku kekerasan seksual di bawah umur, serta bagaimana mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang.
Pendidikan seksual yang komprehensif
Pendidikan seksual yang komprehensif sangat penting dalam mencegah kekerasan seksual, terutama bagi anak-anak dan remaja. Tanpa pengetahuan yang benar tentang seksualitas, banyak remaja yang mencari informasi melalui sumber yang tidak dapat dipercaya, seperti film porno atau konten internet yang tidak terkontrol. Ini dapat menyebabkan distorsi persepsi tentang seks dan hubungan antar-gender, yang pada gilirannya dapat memicu perilaku kekerasan.
Pendidikan seksual harus mencakup informasi tentang kesetaraan gender, penghargaan terhadap tubuh orang lain, serta batasan dalam interaksi seksual. Pendidikan ini juga harus dimulai dari keluarga dan diperkuat di sekolah. Anak-anak perlu diajarkan tentang pentingnya saling menghormati dan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun, baik fisik maupun seksual, tidak dapat diterima.
Kasus ini juga menunjukkan bagaimana pentingnya peran keluarga dan masyarakat dalam mencegah kekerasan seksual. Orang tua, guru, dan masyarakat luas memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan pendidikan moral dan etika yang kuat kepada anak-anak, serta mengawasi perilaku mereka. Anak-anak perlu mendapatkan perhatian dan bimbingan yang cukup, terutama dalam hal penggunaan internet dan media sosial, yang seringkali menjadi pintu masuk ke konten-konten yang tidak pantas bagi usia mereka.
Keluarga korban dalam kasus ini berasal dari kalangan yang kurang mampu, di mana korban sering membantu ibunya dengan menjual balon. Kondisi sosial-ekonomi yang sulit juga bisa menjadi faktor yang memperparah kerentanan perempuan muda terhadap kekerasan, baik itu di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Anak-anak perempuan yang berasal dari keluarga kurang mampu sering kali terpaksa bekerja di usia muda, yang membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Baca juga: Yuk Pahami, Apa Itu Eldest Daughter Syndrome?
Tanggung jawab sosial mencegah kekerasan terhadap perempuan
Pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan membutuhkan upaya kolektif dari seluruh lapisan masyarakat. Media, misalnya, memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi yang benar tentang gender dan seksualitas, serta menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Liputan yang sensasional tanpa mempertimbangkan perspektif gender seringkali justru memperparah stigma terhadap korban dan mengaburkan akar masalah kekerasan seksual itu sendiri.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa sistem hukum memberikan perlindungan yang memadai bagi korban, serta memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan, tanpa memandang usia mereka. Reformasi dalam sistem hukum yang lebih responsif terhadap kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual terhadap anak, adalah langkah yang sangat diperlukan.
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan siswi SMP di Palembang adalah cerminan dari masalah yang lebih besar terkait ketidaksetaraan gender dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Anak perempuan sering kali menjadi korban dalam masyarakat yang masih memprioritaskan kekuasaan laki-laki dan tidak memberikan pendidikan seksual yang memadai. Kita membutuhkan reformasi sistemik yang mencakup pendidikan seksual komprehensif, sistem hukum yang adil, serta peran aktif keluarga dan masyarakat dalam mencegah kekerasan.
Selain itu, penting bagi media dan pemerintah untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan dan anak, serta memastikan bahwa pelaku kekerasan, termasuk mereka yang masih di bawah umur, mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan.