Bincangperempuan.com- Keadaan politik di Afghanistan mengalami turbulensi sejak Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk menarik kekuatannya dari Afghanistan setelah dua dekade berperang melawan Taliban. Sebelumnya AS dan Taliban telah menyepakati Perjanjian Damai di Doha untuk mengakhiri perang pada tahun 2020. Namun, bersamaan dengan penarikan mundur pasukan AS, hal ini menjadi kesempatan politik bagi Taliban untuk kembali bangkit.
Tiga tahun berselang, kini Taliban telah menguasai setengah wilayah Afghanistan. Hal ini berimplikasi terhadap dinamika politik domestik yang mengundang respons komunitas internasional. Seperti disampaikan Arivia Tri Dara Yuliestiana, Dosen Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Indonesia kepada Bincang Perempuan, Jumat (05/05/2023).
“Sejumlah negara termasuk Indonesia sendiri tidak mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah karena dinilai tidak memenuhi parameter, yakni pembentukan pemerintahan yang melibatkan partisipasi langsung masyarakat, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM serta keamanan nasional,” terang Arivia.
“Sejak Taliban berkuasa, Taliban secara kontinu melakukan opresi terutama terhadap kelompok perempuan dan anak perempuan. Mereka kehilangan hak dasar untuk dapat mengakses pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Hal ini tidak terlepas dari tujuan Taliban untuk menjadikan hukum syariah sebagai landasan bernegara dan menjalankan pemerintahan,” lanjutnya.
Sementara itu, tawaran penyelesaian masalah yang bisa membantu nasib perempuan di Afghanistan, Arivia memaparkan bahwa pada bulan Mei lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres beserta dengan sejumlah perwakilan anggota PBB di Doha, Qatar mencoba merumuskan kesepakatan bersama dalam upaya mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan.
“Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB juga telah mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan represif Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan. Selain itu, komunitas internasional juga tengah mengupayakan jaminan keselamatan dan juga bantuan kemanusiaan,” jelasnya.
Naila Rizqi Zakiah, Manajer Advokasi Jakarta Feminis kepada Bincang Perempuan, turut memperjelas kondisi perempuan dalam konflik Taliban sebagai kategori misoginis dan femisida.
“Jika dilihat lebih jauh kasus pembunuhan terhadap perempuan yang berkaitan dengan perang, misalnya tahun 1965 dan 1998 di Indonesia sendiri, kita menyaksikan bagaimana perempuan diburu. Diberikan stigma, stereotip bahwa perempuan yang seperti ini layak dibunuh, layak diperkosa. Tahun 1998, perempuan-perempuan dengan etnis tertentu di Indonesia pada waktu itu ditarget untuk diperkosa dan dibunuh hanya karena dia perempuan. Di negara lain juga banyak, misalnya di Eropa juga ada pemburuan penyihir yang secara sengaja menyasar perempuan. Jadi apa yang terjadi di Timur Tengah atau di belahan negara manapun yang menargetkan perempuan dan didasarkan untuk mengambil kontrol terhadap perempuan adalah bentuk dari femisida,” katanya.
Femisida dan Perempuan sebagai Korban
Medio Maret 2020, Komnas Perempuan merilis siaran pers tentang femisida. Dimana femisida merupakan pembunuhan pada perempuan yang didorong oleh rasa benci, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan kepemilikan pada perempuan yang menyebabkan orang bisa berbuat sesuka hatinya pada perempuan. Kasus femisida yang terjadi di sepanjang tahun 2019 sesuai catatan Komnas Perempuan berjumlah 145 kasus.
Selain itu, Komnas Perempuan juga sudah meluncurkan CATAHU 2023 tentang Peningkatan Kekerasan terhadap Perempuan dalam ranah publik dan Negara sebagai penegas pentingnya kasus ini. Karakteristik femisida hampir sebagian kasus tidak hanya sekedar melakukan pembunuhan, tapi juga melakukan kekerasan seksual, atau kemudian mengaitkannya dengan moralitas masyarakat.
Naila menjelaskan detail pengertian femisida secara konseptual didefinisikan sebagai sebuah pembunuhan terhadap perempuan karena seseorang tersebut adalah perempuan, terlepas perempuan itu adalah anggota keluarga atau bukan, tapi pembunuhan dilakukan atas dasar bias gender, atas dasar ekspektasi terhadap perempuan, atas dasar misoginisme (kebencian terhadap perempuan atau kontrol terhadap perempuan).
Kontrol terhadap perempuan tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup keluarga saja, seperti halnya kekerasan seksual atau kekerasan gender, itu bisa terjadi di luar dari konteks keluarga dan konteks kedekatan. Kenapa perempuan layak dibunuh dan diburu, ada konsep moralitas dan aib dalam keluarga, itu yang membuat masyarakat (terutama kelompok misoginis) merasa punya entitlement untuk membunuh atau mengontrol perempuan dengan cara kekerasan.
“Kontrol tubuh terhadap perempuan, kalau kita mau tarik lebih jauh lagi sebenarnya perempuan masih banyak dianggap hak milik laki-laki. kalau dia anak perempuan belum menikah, milik ayahnya, kalau sudah menikah, milik suaminya. Sehingga, kalau perempuan tidak punya agensi, perempuan akan menjadi properti laki-laki. Padahal itu adalah pikiran kuno, tapi praktik itu masih ada karena cengkraman masyarakat patriarki yang kawin mengawin dengan hukum agama dan negara. Itu yang membuat masyarakat merasa perlu mengatur tubuh perempuan,” imbuhnya.
“Ketika tubuh perempuan sudah bisa dikontrol, dibiarkan terkontrol dan dinormalisasi untuk dikontrol, maka seluruh hidupnya juga akan mudah dikontrol, termasuk kapan dia akan mengakhiri hidupnya. Keputusan seperti itu akan mudah dirampas dari si perempuan. Apalagi jika masyarakat sudah menilai bahwa wajar dia dibunuh atau dia diperkosa karena dia seperti ini dan itu. Normalisasi dari tahap kontrol sederhana pada perempuan akan bereskalasi pada bentuk kekerasan serius seperti femisida,” lanjut Naila.
Kertas Kebijakan Rekomendasi Komnas Perempuan atas Pencegahan, Penanganan Femisida dan Pemulihan Keluarga Korban, putusan Mahkamah Agung terkait kasus yang mengarah pada femisida menjelaskan 83% korban meninggal dan 17% berpotensi meninggal. Secara Internasional, United Nations (UN) Women mengategorikan femisida sebagai pelanggaran HAM, khususnya karena pembunuhan disengaja yang diiringi dengan kekerasan lain terhadap perempuan dan anak perempuan karena gender mereka. Pembunuhan berarti merampas HAM orang lain.
Sementara, Jakarta Feminis tahun 2021 mencatat tentang Femisida, ditemukan 217 kasus pembunuhan perempuan yang berorientasi pada kekerasan berbasis gender. Kemiripan kasus yang dialami perempuan di Afganistan dan Indonesia dalam konteks kepemilikan, penaklukan, dan penguasaan dalam ranah publik dan domestik setidaknya bisa mendukung pentingnya perspektif kesetaraan gender lebih jauh.(**)