Home » Data » Ketika Fasilitas Kampus Minimalis, Coffee Shop Laris Manis

Ketika Fasilitas Kampus Minimalis, Coffee Shop Laris Manis

Bincang Perempuan

Data

Ketika fasilitas kampus minimalis, coffee shop laris manis

Tembalang, daerah yang memiliki 5 universitas dan dikenal sebagai pusat pendidikan di Semarang, Jawa Tengah, dikepung 122 coffee shop yang kerap dijadikan tempat nongkrong bagi mahasiswa. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam karena memilih kedai kopi sebagai tempat mengerjakan tugas, diskusi atau sekadar bercengkrama daripada fasilitas kampus. 

I GUSTI NYOMAN AYU SEPTIARI, FISIP UNDIP

“Di kampusku benar-benar kurang coworking space-nya,” ungkap Adella Katerimaningsih Tamtomo, mahasiswi Politeknik Negeri Semarang (Polines), saat dijumpai redaksi LPM Opini.

Siang itu Adella mendatangi satu tempat makan di daerah Tembalang. Jari jemarinya sigap  membuka laptop, usai memesan makanan dan segelas teh dingin. Sesekali kepalanya mengangguk, pertanda menikmati alunan musik yang terdengar. 

Ia harus mencari tempat lain untuk mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong. Di kampusnya hanya ada satu tempat yang nyaman, perpustakaan. 

“Kalau di sini (coffee shop,red), WiFi-nya adatidak perlu rebutan, semua bisa menggunakan. Pengunjung juga nyaman, karena tidak ada aturan tidak boleh berisik. Nyaman sih, ada suasana baru,” tutur Adella. 

Apa yang dirasakan Adella, juga dialami Riska Marieta, mahasiswi asal Universitas Diponegoro (Undip). Ia memilih coffee shop atau cafe sebagai tempat coworking, alasannya sama dengan Adella, fasilitas di kampus minim untuk menunjang aktivitas mereka. 

“Pertama, karena kondusif. Kedua, kalau aku coworking di kampus, itu ‘kan kita nggak bisa diskusi karena terlalu ramai dan orangnya terbatas, kalau diskusi di coffee shop, orangnya ‘kan bisa banyak dan kalau volumenya (suara,red) tinggi pun nggak masalah,” tutur Riska.

Perpustakaan, menurut Riska, lebih tepat digunakan sebagai tempat kerja mandiri. Sementara aktivitas mahasiswa di kampus lebih banyak berdiskusi dengan teman sekelas ataupun rapat organisasi. 

“Kalau untuk kerja sendiri mungkin kondusif karena ada yang jaga, jadi bisa kontrol kondisi ruangan. Tapi kalau buat diskusi, nggak bisa yang terlalu intens, karena pasti volumenya diatur sama yang jaga,” ungkap Riska.

Hasil penelusuran terbuka, dari lima universitas yang ada di Tembalang, hanya empat universitas yang memiliki perpustakaan. Yakni Universitas Diponegoro (Undip), Politeknik Negeri Semarang (Polines), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Universitas Pandanaran (Unpand). Sementara Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cendekia Karya Utama Cendekiaku, sama sekali tidak memiliki perpustakaan.

Undip memiliki 13 perpustakaan, tersebar di 12 fakultas dan 1 perpustakaan utama milik universitas. Unimus memiliki 4 perpustakaan, serta Polines dan Unpand masing-masing memiliki 1 perpustakaan. 

Polines, tempat Adella kuliah, ditaksir perpustakaannya hanya bisa menampung 146 mahasiswa. Selain itu, jam buka perpustakaan Polines hanya di hari kerja saja atau weekdays, dari pukul 07.00 WIB – 14.30 WIB. 

“Jumlahnya memang banyak, tapi tetap saja di perpustakaan itu rebutan kursi jadi hal yang biasa. Siapa cepat dia yang dapat,” kata Adella. 

Sama halnya dengan perpustakaan di lingkungan Undip. Meskipun memiliki jumlah perpustakaan terbanyak dan tersebar di sejumlah fakultas, namun daya tampung perpustakaan tersebut terbatas. 

Estimasi perhitungan kapasitas dengan mengukur luas area perpustakaan melalui Google Maps, didapati perpustakaan FISIP Undip memiliki luasan 738.76 meter persegi. Jika setiap 1 meter dapat menampung 4 orang, maka dengan luasan tersebut perpustakaan milik FISIP diasumsikan dapat menampung 184 mahasiswa. 

Hal yang sama juga dilakukan untuk menghitung daya tampung perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dengan luasan 1.301 meter persegi, diasumsikan perpustakaan tersebut bisa menampung 325 mahasiswa. Termasuk perpustakaan utama milik Undip dengan luasan 1255,8 meter persegi diperkirakan dapat menampung 313 mahasiswa. 

Terkait jam operasional, berbeda dengan Polines, perpustakaan di lingkungan Undip bukanya lebih siang dan namun jam tutupnya lebih cepat, yakni pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

Apa yang dikeluhkan Adella dan Riska, rupanya menjadi angin segar bagi para pengusaha yang berminat membuat kedai kopi atau coffee shop. Tembalang tidak hanya memiliki menjadi pusat pendidikan dengan banyaknya universitas yang berdiri, namun juga dikelilingi coffee shop. Bila dilihat dengan menggunakan Google Maps, ada 122 coffee shop tersebar di sekitar Tembalang. Undip, Polines, dan Unpand menjadi universitas yang paling banyak dikelilingi coffee shop

Pengeluaran Bulanan Jadi Membengkak 

Beragam keunggulan yang ditawarkan pengelola coffee shop memiliki konsekuensi bagi mahasiswa. Mereka harus membeli makanan atau minuman terlebih dahulu agar dapat menikmati fasilitas yang ada. Seperti disampaikan Akbar Gibrani Aliffianto, mahasiswa Undip yang aktif di beberapa organisasi kampus. Ia mengaku pengeluarannya bertambah, lantaran sering mengikuti rapat dan diskusi di coffee shop. 

“Iya, jujur, karena apalagi di coffee shop yang kita nggak tau harganya, jadi tiba-tiba oh mahal ya ternyata. Tapi gara-gara nggak enak, kita harus beli. Jadi, lumayan menambah alokasi pengeluaran tak terduga dibandingkan budget harian ‘kan ada, karena ke coffee shop jadi budget hariannya naik,” terang Akbar. 

Setiap kali mendatangi coffee shop, Akbar biasanya menghabiskan waktu 2-4 jam. 

“Cukup beli segelas kopi, sebandinglah harganya dengan fasilitas yang dimanfaatkan. Jadinya nongkrongnya lama, bisa sampai 4 jam,” katanya. 

Biasanya, dalam sebulan pengeluaran Akbar untuk makan dan membeli kebutuhan pribadinya Rp1.220.000. Namun sejak ia dan teman-temannya rutin menggunakan coffee shop sebagai coworking, ia harus mengalokasikan pengeluaran tambahan hingga Rp280 ribu. Seminggu Akbar bisa mendatangi coffee shop minimal 2 kali. Rata-rata uang yang dihabiskan untuk sekali datang Rp20 ribu hingga Rp50 ribu. 

Bagi Akbar,  mengalokasikan dana tambahan untuk ke coffee shop berarti ia harus meminta uang lebih pada orang tuanya. Pasalnya, jumlah yang dialokasikan untuk ke coffee shop setara dengan jumlah 28 piring nasi. Artinya bisa untuk makan sehari-hari Akbar selama 9-10 hari. 

“Kalau semisal di kampus ada tempat semacam coffee shop yang bisa dijadiin coworking space, bakal ga ke coffee shop. Soalnya ‘kan udah gratis. Nah untuk makanan bisa dibawa dari kantin kan,  pasti lebih murah,” kata Akbar. 

Serupa dengan Riska, rutin mengunjungi coffee shop membuat ia memasukkan biaya ke cafe dalam item pengeluaran bulananBiasanya pengeluaran bulanan Riska untuk membeli keperluan pribadi hanya Rp500 ribu. Namun karena menjadikan coffee shop sebagai tempat berdiskusi dan membuat tugas, Riska harus menyiapkan budget lebih hingga Rp480 ribu. 

“Kalau nggak ke coffee shop itu aku keluar uang kira-kira Rp10.000 buat makan di luar. Tapi kalau misalnya aku harus garap tugas dan lain-lain di coffee shop, tiga kali lipatnya dari itu (Rp30 ribu,red),” ungkap Riska.

Coffee Shop Berbayar, Kos-Kosan gratis 

Untuk melihat fenomena mahasiswa mengeluarkan uang untuk ‘belajar dan diskusi’ di coffee shop, LPM Opini menggelar survei untuk mengetahui perilaku mahasiswa pergi ke coffee shop. Survei dilakukan dengan metode purposive sampling dari tanggal 12 hingga 28 September 2022. Jumlah responden yang terlibat sebanyak 74 responden mahasiswa yang berasal dari lima universitas di Tembalang. 

Berdasarkan hasil survey,  tempat yang dipilih untuk mengerjakan tugas, nongkrong dan diskusi, diketahui ada 31.9% responden atau 57 orang mahasiswa yang memilih coffee shop sebagai salah satu tempat untuk coworking. Kemudian memilih rumah atau kos-kosan teman dan warung makan. Untuk pertanyaan ini responden boleh memilih lebih dari satu jawaban.

Mayoritas responden memilih coffee shop sebagai tempat coworking karena kenyamanan dan fasilitas WiFi gratis yang tersedia. Pada pertanyaan ini responden dapat memilih lebih dari satu alasan. Ini sesuai dengan pernyataan Adella, Riska dan Akbar. Bahwa suasana di coffee shop lebih kondusif dengan fasilitas yang memadai dibandingkan di kampus.

“Soalnya di sini (di kampus,red) walaupun ada WiFitapi ‘kan nggak menyeluruh ya, di belakang nggak ada, terus di kantin juga nggak sampai,” tutur Akbar.

Sementara itu, intensitas kunjungan responden ke coffee shop dalam satu minggu bervariasi. Mulai dari satu kali dalam seminggu hingga hampir setiap hari menyambangi coffee shop. Mayoritas responden menyatakan, intensitas pergi ke coffee shop dalam sepekan mencapai satu hingga tiga kali, atau empat hingga 12 kali dalam sebulan.

Keputusan mahasiswa untuk berdiskusi atau mengerjakan tugas di coffee shop ini juga terlihat pada pilihan waktunya. Hanya 12 responden saja yang ke coffee shop antara pukul 11.00 WIB hingga 15.00 WIB. Sisanya, mulai merapat ke coffee shop mulai pukul 16.00 WIB hingga tengah malam.

“Lebih sering di malam hari, karena rapat dan lain sebagainya habis jam perkuliahan. Jadinya antara sore ke malam ‘kan,” ujar Akbar. 

Sementara itu, rata-rata uang yang dihabiskan responden saat mendatangi coffee shop, didominasi 57 responden yang mengaku menghabiskan uang kisaran Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

Terkait lama waktu duduk di coffee shop, 47 dari 74 responden mengaku beraktivitas lebih dari dua jam dalam satu kali kunjungan. Pengeluaran yang cukup banyak membuat mereka memanfaatkan fasilitas yang ada di sana dengan baik agar uang yang dikeluarkan tidak percuma.

“Karena ‘kan lumayan juga harganya, jadi manfaatin sekalian fasilitasnya,” ungkap Akbar.

Survei yang dilakukan ini, menjadi gambaran bahwa coffee shop sebagai tempat pilihan bagi mahasiswa untuk berkumpul dengan teman-temannya, tidak hanya sekadar nongkrong namun juga mengerjakan tugas.  

Perubahan Sosial yang Mengubah Perilaku 

Dosen Sosiologi dari Universitas Diponegoro, Sri Budi Lestari mengatakan pergi ke coffee shop saat ini sudah menjadi trend di banyak kalangan, khususnya mahasiswa. Perubahan perilaku gaya hidup mahasiswa akibat adanya perubahan sosial.  

“Kalau kita lihat dulu, kopi itu kan minuman orang tua dan disajikan dalam kondisi panas. Tapi sekarang perubahan yang saya amati, di coffee shop itu justru lebih banyak anak mudanya daripada orang tuanya dan sekarang kopi malah disajikan dingin. Perubahannya itu yang saya kira signifikan itu, ya itu, perubahan dalam taste, juga berubah pada mereka yang menikmati,” terangnya.

Sri mengatakan, mahasiswa yang sering mendatangi coffee shop tidak serta merta dikatakan memiliki gaya hidup konsumtif atau hedonis. Menurutnya, konsumtif atau tidak, dapat dilihat dari tujuan mahasiswa tersebut. 

“Bisa konsumtif jika tujuan hanya untuk senang-senang, tapi kalau tujuannya untuk belajar atau diskusi, karena mereka ingin suatu tempat yang beda, tidak formal, dan lebih kondusif, itu sah-sah saja. Yang saya lihat, mereka itu hanya butuh tempat yang nyaman. Jadi, perilaku mereka bisa dikatakan konsumtif tergantung tujuannya,” ungkap Sri.

Berbeda dengan penuturan dosen Sosiologi dari Universitas Diponegoro, Hedi Pudjo Santosa. Menurutnya, pergi ke coffee shop menjadi hiburan tersendiri bagi mahasiswa setelah sibuk dengan dunia perkuliahan.

“Saya melihat bahwa mahasiswa yang ngopi, melepas penat, artinya dia bisa melepas penat dan mengerjakan tugas,” ujar Hedi.

Menurut Hedi, pergi ke coffee shop tidak berarti memiliki gaya hidup konsumtif. 

“Justru itu terobosan yang bagus karena nuansanya jadi beda. Menyelesaikan tugas sambil ngopi di situ,” tutur Hedi.

Belum Optimal Memanfaatkan Fasilitas di Kampus 

Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan,  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip), Teguh Yuwono, menolak jika di Undip minim coworking space. Menurutnya, saat ini Undip sudah memberikan fasilitas kampus yang cukup memadai. Sebaliknya mahasiswa saja yang tidak memanfaatkan fasilitas tersebut dengan optimal. 

“Fasilitas yang diberikan FISIP sudah cukup baik, perpustakaan dilengkapi AC dengan banyak stop kontak dan mahasiswa diperbolehkan melakukan kegiatan seperti kerja kelompok ataupun membaca buku selama berjam-jam,” katanya. 

Fasilitas di kampus, lanjut Teguh seperti perpustakaan dapat diakses mahasiswa dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. 

“Lewat dari jam itu, tidak mungkin. Tidak memungkinkan untuk stay selama 24 jam non stop tanpa diawasi. Apalagi suasana malam hari agak mencekam saya tidak yakin akan banyak mahasiswa datang di atas jam 9 ke kampus,” pungkas Teguh. 

Sementara itu, Politeknik Negeri Semarang (Polines), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus)  hingga berita ini diturunkan menolak untuk dikonfirmasi. (**) 

*) Karya ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Mahasiswa” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews. Dibuat melalui tahapan mengumpulkan data base dan dituangkan dalam kerangka masterfile. Berikut link database dan masterfile tersebut. Serta sudah tayang lebih dahulu di LMP Opini Online.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Resep Data : Memetakan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Bengkulu

Perjuangan Menuju Kesetaraan di Bengkulu

Perempuan di parlemen 2024

Proyeksi Keterwakilan Perempuan di DPR Hasil Pemilu 2024 

Leave a Comment