Home » News » Ketika Kuasa Pasangan Mengancam Nyawa

Ketika Kuasa Pasangan Mengancam Nyawa

Aqila Shafiqa

News

Ketika Kuasa Pasangan Mengancam Nyawa

Bincangperempuan.comFemicide atau pembunuhan terhadap perempuan karena alasan gender kerap terjadi dalam dinamika rumah tangga yang penuh ketimpangan kuasa. Kasus tragis pembunuhan seorang perempuan muda berinisial RF (19 tahun) yang terjadi di Tanjung Balai Karimun oleh suaminya sendiri, Iwan (IS), mengungkap pola kekerasan domestik yang didorong oleh hasrat mengontrol dan mendominasi.

Banyak pelaku femicide memanfaatkan posisi mereka untuk membatasi kebebasan pasangan dan ketika dominasi tersebut mulai terganggu, tindakan ekstrem seperti pembunuhan pun terjadi. Kasus ini menyoroti bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan rumah tangga dapat memicu kekerasan berbasis gender yang berujung fatal. 

 Sikat Gigi Menjadi Alat Pembunuhan

Iwan mengungkapkan rasa sakit hati dan cemburu karena menduga RF telah berselingkuh. Ia mengaku pernah melihat RF bersama seorang laki-laki lain di hotel dan mencurigai adanya hubungan gelap yang sudah berlangsung selama sebulan terakhir. Selain itu, Iwan merasa kecewa karena RF tidak memenuhi perannya sebagai istri, seperti memasak, mencuci pakaian, serta menolak untuk berhubungan intim.

Sebelum insiden terjadi, Iwan dan RF terlibat dalam beberapa pertengkaran di mana Iwan merasa tertekan karena mertuanya sering campur tangan dan meminta RF untuk meninggalkannya. Pada malam kejadian, setelah kembali dari jalan-jalan bersama anak mereka, Iwan melihat sikat gigi yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya sebagai alat untuk melakukan menikam RF dan ia merasa tak mampu mengendalikan emosinya saat cekcok dengan RF terjadi. 

Baca juga: Negara Gagal Mengakhiri Femisida

Intimate Partner Violence’ Sebagai Pemicu Femicide

‘Intimate Partner Violence’ sering menjadi latar belakang kasus femicide seperti yang terjadi pada RF. Rasa sakit hati dan cemburu berlebihan membuat Iwan terobsesi untuk menguasai RF dan mencurigai setiap gerak-geriknya. Ketidakpercayaan yang dipicu oleh dugaan perselingkuhan ini pun berkembang menjadi upaya mengontrol pasangan tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Tindakan semacam ini kerap menjadi indikasi ‘Intimate Partner Violence’ di mana pelaku berusaha memegang kendali penuh atas perilaku korban. 

Selain kekerasan fisik yang berujung tragis, Iwan juga melakukan kekerasan emosional terhadap RF karena merasa kecewa dengan peran RF sebagai istri .Ketidakpuasan RF terhadap hasil pekerjaan domestik yang dilakukan istrinya seperti seperti memasak dan mencuci pakaian, omelan-omelan tersebut terus dilontarkan hingga seringkali membuat RF merasa tertekan secara psikologis. Tak hanya itu, penolakan RF terhadap ajakan berhubungan intim juga bisa menjadi tanda adanya tekanan seksual dalam hubungan mereka yang semakin memperlihatkan ketidakseimbangan peran dan kontrol dalam pernikahan tersebut. 

Ketidakmampuan Iwan mengendalikan emosinya saat cekcok dengan RF menjadi pemicu utama kekerasan ekstrem yang terjadi. Hal ini menandakan adanya krisis emosional yang sering kali dialami oleh pelaku ‘Intimate Partner Violence’ di mana mereka merasa menggunakan kekerasan fisik adalah cara untuk menyelesaikan konflik atau merebut kembali kendali atas situasi yang menurut mereka sudah tidak seimbang. 

Pertengkaran yang terus berulang dengan campur tangan keluarga seperti yang mertua yang meminta RF meninggalkan Iwan semakin memperkeruh hubungan mereka. Tekanan eksternal ini memperburuk situasi ‘Intimate Partner Violence’ yang membuat Iwan merasa terpojok dan semakin tak terkendali. Pada malam kejadian, setelah pulang jalan-jalan bersama anak mereka, Iwan tersulut emosinya ketika melihat sikat gigi yang kemudian dipilih sebagai alat untuk melukai RF. Ini mencerminkan betapa krisis emosional yang dipendam selama ini dengan disertai kekerasan emosional yang sudah terjadi sebelumnya yang akhirnya meledak menjadi kekerasan fisik yang fatal. 

Kasus ini memperlihatkan bahwa ‘Intimate Partner Violence’ bukan hanya sebatas tindakan fisik seperti memukul, tetapi juga mencakup tekanan emosional yang tidak terkendali, kecemburuan berlebihan, serta kontrol psikologis yang menekan. Ironisna, bentuk-bentuk kekerasan ini sering kali tidak disadari oleh korban maupun orang-orang disekitarnya hingga akhirnya berujung pada tragedi. 

Honor Killing’ dalam Femicide

Honor Killing atau pembunuhan demi kehormatan adalah fenomena yang mencolok dalam kasus femicide, seperti yang terlihat dalam tindakan Iman terhadap RF. Iman didorong api cemburu dan kecurigaan bahwa istrinya telah menjalin hubungan dengan pria lain. Dalam pandangan pelaku, pembunuhan sering kali dianggap ‘solusi’ untuk memperbaiki apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan atau hak mereka atas pasangan perempuan. Tindakan semacam ini mencerminkan pola pikir yang berbahaya di mana kehidupan perempuan dipandang sebagai barang milik yang dapat dikendalikan atau dihukum jika dianggap tidak patuh. 

Kasus femicide di Indonesia tidak hanya melibatkan Iman dan RF. Contohnya, Achmad Syarifudin yang membunuh istrinya, FF (26 tahun), karena cemburu dan menduga istrinya berselingkuh. Peristiwa ini dipicu oleh cekcok mulut dan permintaan cerai dari korban yang berujung pada penusukan sebanyak 6 kali di bagian perut dan 1 kali di paha. Bahkan, data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam satu tahun terakhir ada 37 kasus femicide yang mengindikasikan betapa tingginya angka kekerasan berbasis gender yang mematikan di Indonesia. 

Baca juga: Femisida: Memahami Kekerasan Berbasis Gender dan Tindakan Pencegahannya

Akar Femicide melalui Norma Gender

Stereotip Peran Gender 

    Norma-norma sosial yang mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan secara tradisional sering kali memperkuat ketidaksetaraan. Perempuan diharapkan untuk patuh dan memenuhi kebutuhan keluarga, sementara laki-laki berperan sebagai penyedia dan pelindung. Ketika perempuan melanggar norma-norma ini, mereka dapat menghadapi konsekuensi yang serius termasuk kekerasan atau bahkan pembunuhan. 

    Budaya Kehormatan 

      Dalam beberapa budaya, tindakan kekerasan terhadap perempuan sering kali dianggap sebagai cara untuk menjaga kehormatan keluarga. Sistem patriarki menjunjung tinggi maskulinitas, di mana laki-laki dianggap kelapa keluarga yang harus dihormati dengan segala pikiran dan keputusan yang diambil.

      Nyatanya, segala pikiran manusia dapat keliru karena terkait dengan sudut pandang masing-masing. Bahayanya, dalam kasus ini, pelaku menormalisasi tindakan kekerasan untuk membenarkan kecurigaannya dan kekecewaanya terhadap istri dan mertuanya. Akibatnya, pembunuhan demi kehormatan (honor killing) merupakan contoh nyata bagaimana norma-norma gender dapat memicu femicide ketika seorang perempuan dianggap telah merusak reputasi keluarganya. 

      Stigma Sosial 

        Perempuan yang mengalami kekerasan sering merasa terisolasi karena stigma sosial yang melekat. Hal ini membuat mereka enggan mencari bantuan atau melaporkan tindakan kekerasan yang justru memperburuk situasi dan meningkatkan risiko femisida. 

        Ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam rumah tangga bersama dengan norma-norma gender yang merugikan berkontribusi secara signifikan terhadap terjadinya kekerasan yang dapat berujung pada femicide.

        Untuk mencegah femicide, perlu ada perubahan struktural dalam relasi gender serta penghapusan norma-norma sosial yang mendukung kekerasan berbasis gender. Edukasi dan advokasi mengenai kesetaraan gender menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan, sekaligus mengurangi risiko kekerasan di masa depan.

        Melindungi Perempuan dari Femisida

        Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat 

        Meningkatkan kesadaran tentang risiko femicide melalui kampanye dan program edukasi. Materi edukatif yang berfokus pada perlindungan diri dapat membantu perempuan memahami ancaman yang mungkin mereka hadapi dan meningkatkan kewaspadaan.

        Pemberdayaan Perempuan 

          Dengan memberikan akses pada pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan ekonomi, perempuan dapat diberdayakan untuk mengambil kendali atas hidup mereka, yang dapat mengurangi risiko terjadinya femicide.

          Penegakan Hukum yang Kuat 

            Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum untuk melawan fenomena femicide sangat penting. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia adalah langkah positif dalam upaya ini.

            Analisis Kekerasan Berbasis Gender 

              Melakukan analisis mendalam mengenai kekerasan berbasis gender untuk memahami pola dan motivasi di balik femicide. Komnas Perempuan telah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa femicide sering kali berkaitan dengan kekerasan seksual, ketidakamanan maskulinitas, dan kecemburuan.

              Rekomendasi Kebijakan 

                Menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat perlindungan hukum bagi korban femicide. Komnas Perempuan telah menerbitkan laporan yang membahas kompleksitas femicide serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk penanganannya di Indonesia. Dengan menerapkan strategi-strategi ini, kita dapat berharap untuk mengurangi insiden femicide dan meningkatkan perlindungan serta kesejahteraan perempuan secara keseluruhan.

                Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

                Artikel Lainnya

                Jalan Panjang Menuju Jurnalisme Bebas Bias Gender di Indonesia

                Representasi Perempuan di Media Masih Mencerminkan Masyarakat yang Patriarki

                UN Women WPS

                UN Women Sambut Peluncuran Action Plan WPS di Filipina

                Leave a Comment