Home » Isu » Kekerasan Gender » Negara Gagal Mengakhiri Femisida

Negara Gagal Mengakhiri Femisida

Bincangperempuan.com-  Kasus vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur atas dugaan pembunuhan Dini Sera Afriyanti oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 24 Juli 2024 memicu protes dan kritik keras dari masyarakat.  Keputusan ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang sistem peradilan di Indonesia, tetapi juga menyoroti masalah yang lebih besar: bagaimana negara seolah-olah memelihara praktik femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan karena alasan gender, di tengah masyarakat.

Dini Sera Afriyanti, seorang perempuan muda yang dalam sebuah insiden yang menunjukkan unsur kekerasan berbasis gender. Sebelum tewas, Dini sempat ditampar dan dipukul oleh Ronald Tannur dengan menggunakan botol alkohol. Tak hanya itu, pertengkaran yang berlanjut di parkiran tersebut, membuat Ronald melindas tubuh Dini dengan mobil milikinya. Meskipun sempat dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis, namun Dini yang mengalami penganiayaan itu Dini dinyatakan meninggal dunia.

Ronald Tannur, yang merupakan putra anak anggota DPR RI dari Partai PKB, Edward Tannur. Belakangan atas vonis bebas tersebut, PKB memberhentikan Edward Tannur dari fraksi di DPR sekaligus dari partai.

Pembebasan ini mencerminkan kegagalan sistem peradilan dalam memberikan keadilan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan independensi hukum di Indonesia.

Dikutip dari Tempo.co, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menduga adanya kecurangan dibalik keputusan tersebut. “Diduga ada hanky panky apa yang diputuskan oleh hakim. Diduga ada hanky panky,” kata Sahroni, Senin (29/07/2024).

Baca juga: Ethic Awareness dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual 

Komnas Perempuan mendukung upaya hukum kasasi

Sementara itu,Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada Terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya, menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan serta meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. 

Komnas Perempuan mengapresiasi upaya Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengontruksi kasus ini dengan menambahkan restitusi dalam tuntutan sebagai bagian dari upaya pemulihan terhadap anak korban yang kehilangan Ibu sebagai penopang kehidupannya. Karena itu, Komnas Perempuan mendukung Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) untuk memberikan perhatiaan dan pengawasan terhadap kasus ini sebagai upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban dan keluarga korban.

Peristiwa penganiayaan yang menyebabkan kematian ini terjadi pada Selasa, 3 Oktober 2023, dan pemberitaan kasus ini menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban yaitu pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit.

Upaya menolong tidak menghilangkan fakta

Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya.

Komisioner Tiasri Wiandani menyampaikan kekecewaan Komnas Perempuan atas vonis bebas tersebut, mengingat rangkaian perlakuan terdakwa, CCTV yang beredar, dan hasil visum et repertum yang menunjukkan adanya luka pada hati akibat benda tumpul dan bekas lindasan pada ban mobil Terdakwa. 

“Upaya terdakwa untuk menolong korban bukan berarti menghilangkan fakta bahwa terdakwa tidak melakukan penganiayaan, bahkan seharusnya dapat dilihat upaya pertolongan yang dilakukan terdakwa terlambat atau lalai yang menyebabkan korban tewas,” ujarnya mengingatkan sejumlah fakta yang menyebabkan korban mengalami penderitaan fisik dan berakhir dengan kematiaan. 

Baca juga: Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Kasus femisida oleh pasangan tertinggi

Komnas Perempuan sejak 2017 telah melakukan pantauan pemberitaan kematian perempuan. Pada 2023 terpantau 159 kasus dengan indikator femisida. Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim (intimate partner femicide/IPF) yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi. Pada 2023 femisida intim mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan, termasuk dalam relasi pacaran seperti yang terjadi pada korban dan terdakwa. Dikenali bahwa femisida intim dalam relasi perkawinan atau pacaran menjadi puncak dan eskalasi dari berbagai kekerasan dan ketidakadilan berbasis gender yang dialaminya.

Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan bahwa sistem hukum di Indonesia belum mengatur femisida sebagai tindak pidana sendiri, namun dapat dijangkau dengan pasal-pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian dan kelalaian yang menyebabkan kematiaan.

Sementara untuk pemeriksaan kasus, Hakim telah diberikan panduan untuk menggali berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dialami korban dan dampaknya melalui Perma 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. 

“Kami mengapresiasi penyidik dan jaksa penuntut umum yang telah mengontruksikan kasus ini dengan dakwaan yang berlapis mulai dari pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian, penganiayaan dan kelalaian yang menyebabkan kematiaan dan tidak hanya dengan menuntut pidana, namun menambahkan untuk membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta yang menunjukkan perspektif dan keberpihakan kepada keluarga korban khususnya anak korban yang kehilangan Ibu yang selama ini membiayainya. Kami mengharapkan pola penggabungan tuntutan pidana dan pembayaran ganti kerugian ini dapat diadopsi oleh jaksa penuntut umum lainnya,” kata Siti Aminah Tardi

Sementara, Komisioner Theresia Iswarini yang mendasarkan pada hasil pengembangan pengetahuan yang dilakukan di berbagai negara tampak bahwa kebijakan yang diberikan untuk pemulihan keluarga korban femisida merupakan tahapan penting dalam proses penanganan kasus pembunuhan perempuan. Kebijakan tersebut berupa pemberian pendampingan psikologis, peer support serta bantuan finansial kepada keluarga korban.

“Kita memerlukan kebijakan pemulihan pada keluarga korban femisida karena dapat menjadi kunci untuk keluarga korban femisida yang terkena dampak secara psikis agar dapat memulihkan dirinya.  Juga restitusi dan bantuan finansial dari pemerintah juga berguna sekurangnya untuk mencegah kemiskinan absolut yang mungkin muncul akibat hilangnya perempuan dalam suatu keluarga, ujarnya mempertegas pentingnya pemulihan keluarga korban.

Komnas Perempuan merekomendasikan agar Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial untuk memberikan perhatiaan dan pengawasan terhadap pemeriksaan kasus ini untuk hak atas keadilan dan pemulihan keluarga korban terpenuhi. Juga media massa dan masyarakat sipil untuk memantau upaya hukum pada tingkat kasasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Ketua AJI Bengkulu: Perempuan Masih Menjadi Sasaran KBGO

Perempuan Pulau Pari Mengeluh Sulitnya Menjaga Laut dan Pesisir

Perempuan Pulau Pari Mengeluh Sulitnya Menjaga Laut dan Pesisir

Dorong Pengesahan RUU TPKS yang Berpihak pada Korban

Leave a Comment