Home » News » Kompetensi yang Terbentur Budaya ‘Just Be Nice’

Kompetensi yang Terbentur Budaya ‘Just Be Nice’

Ais Fahira

News

Dilema Perempuan Baik-baik: Kompetensi yang Terbentur Budaya Just Be Nice

Bincangperempuan.com- Sebagai perempuan, pernahkah B’Pers merasa diminta untuk selalu tersenyum, ramah, dan “menyenangkan” agar dihargai oleh orang lain? Mulai dari lingkungan sosial hingga dunia kerja, keramahan sering kali dianggap sebagai keharusan. Namun, apakah benar konstruksi “just be nice” ini membawa dampak positif, atau justru membatasi ruang gerak perempuan?

Sejak kecil, perempuan selalu diajarkan untuk bersikap baik. Ajaran untuk terus tersenyum, tidak bersuara keras dan untuk berlemah lembut mengajarkan kita bahwa kejujuran atau ketegasan sering dianggap kasar. Budaya ini menanamkan nilai bahwa perempuan harus selalu menyenangkan orang lain, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebutuhan diri sendiri.

Baca juga: Stigmatisasi dan Stereotip: Perempuan sebagai Penggosip

Budaya just be nice di Kehidupan Sehari-hari

Tapi sebelum ke pembahasan lebih lanjut. Sebaiknya perlu dibedakan bahwa apa yang dimaksud “terlihat baik” dan “menjadi baik”. Ini mengacu kepada istilah “nice” dan “kind” tampak serupa, tetapi sebenarnya berbeda. Nice berarti mematuhi aturan sosial agar orang lain merasa nyaman, sedangkan kind berakar dari empati dan ketulusan. Untuk memahami lebih jauh, budaya “just be nice” dalam kehidupan sehari-hari, terutama di konteks sosial Indonesia yang sarat dengan norma berbasis gender. Banyak tekanan dan ekspetasi standar perempuan baik yang diberikan kepada perempuan.

Di Indonesia, norma sosial berbasis gender sangat kental, sehingga ekspektasi ini menjadi lebih membebani. Berikut adalah contoh tekanan “just be nice” yang sering dihadapi perempuan:

  1. Dilarang Bersikap Tegas atau Kasar
    Perempuan kerap diberi label “tidak sopan” jika berbicara dengan nada keras atau menggunakan bahasa tegas. Hal ini membuat banyak perempuan menahan kemarahan atau ketegasan demi menjaga kesan “manis.”
  2. Tuntutan Penampilan yang “Sopan”
    Mulai dari cara berpakaian hingga duduk, perempuan diawasi ketat agar memenuhi standar perempuan baik-baik di mata masyarakat. Jika melanggar, mereka dianggap “tidak tahu adat.”
  3. Harus Selalu Tersenyum
    Senyum dianggap sebagai kewajiban untuk menunjukkan keramahan. Perempuan yang tidak tersenyum sering dilabeli sombong, meskipun senyum seharusnya hak, bukan kewajiban.
  4. Kompetensi versus Keramahan
    Di dunia kerja, perempuan menghadapi tekanan untuk tetap ramah meskipun menghadapi situasi yang sulit. Ketegasan sering dianggap emosional, sehingga perempuan lebih sering memilih jalan aman meskipun itu merugikan mereka.

Tekanan-tekanan ini tidak hanya hadir dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga meresap hingga ke dunia profesional. Dalam konteks dunia kerja, budaya just be nice menciptakan tantangan yang membatasi perempuan untuk menunjukkan kompetensi mereka sepenuhnya.

Baca juga: “Wicked”, Representasi, Kritik Sosial, dan Dekonstruksi Stereotip

Dunia Kerja: Kompetensi yang Dikesampingkan

Harvard Business Review melakukan wawancara pada sejumlah pemimpin perempuan. Mereka mengungkapkan adanya beban ganda yang harus mereka tanggung. Di satu sisi, mereka diharapkan mengikuti norma tradisional, sementara di sisi lain harus tetap tegas. Paradoks seperti “tegas tapi harus peduli” atau “memperjuangkan diri sendiri versus melayani orang lain” menjadi bukti bahwa masalah ini berakar pada persepsi gender yang usang.

Lebih jauh, perempuan sering dipaksa menyesuaikan tingkat ambisi mereka agar terlihat sesuai dengan standar sosial yang dianggap “ideal.” Budaya ini juga menciptakan kesenjangan di dunia kerja, di mana perempuan lebih sering dinilai berdasarkan penampilan dan keramahan dibandingkan kompetensi.

Hal ini terlihat dalam kasus nyata seperti di industri media, sebagaimana digambarkan dalam film Bombshell (2019). Dalam film tersebut, perempuan di Fox News menjadi korban pelecehan karena lingkungan kerja yang hanya memprioritaskan penampilan fisik. Ekspektasi agar perempuan “mudah diajak kerja sama” juga sering kali tidak jelas batasnya, sehingga membuka peluang bagi eksploitasi.

Bahkan ketika memiliki kompetensi yang sama dengan laki-laki, perempuan harus menghabiskan energi untuk memenuhi tuntutan sosial agar tetap ramah.

Kasus Nyata: Ketika Keramahan Membuat Perempuan Rentan

Selain itu tuntutan ini juga membuat posisi perempuan menjadi lebih rentan mendapat pelecehan. Alena Papayanis, dalam tulisannya di HuffPost, membagikan pengalamannya menghadapi dilema “just be nice.” Saat berada dalam situasi yang melanggar batas pribadinya, ia merasa terjebak antara bersikap tegas atau tetap sopan demi menghindari risiko lebih buruk.

Dirinya menceritakan salah satu insiden yang menimpanya. Di mana dirinya menerima pelecehan, tetapi alih-alih bersikap melawan, Papayanis memohon untuk diantarkan pulang. Beruntung dirinya diantarkan pulang dengan selamat setelah kejadian tersebut.

Papayanis juga menceritakan pengalamannya saat digoda oleh dua pria setelah lari sore. Meskipun merasa tidak nyaman, ia memilih untuk tetap merespons secara sopan:

“Saya sadar bahwa saya kalah jumlah, dan saya tidak mau mengambil risiko mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan. Jadi, saya menelan ketidaknyamanan saat itu, mungkin sambil tersenyum tipis,” tulisnya.

Pengalaman Papayanis menggambarkan bagaimana budaya ini tidak hanya membuat perempuan merasa tidak berdaya, tetapi juga memperbesar risiko menjadi korban pelecehan atau kekerasan. Ketakutan akan dianggap “tidak baik” membuat perempuan lebih sering diam atau bertindak pasif.

Mengapa “Just Be Nice” Jadi Masalah?

Berdasarkan paparan di atas, tuntutan untuk just be nice tidak hanya membatasi ruang perempuan, tetapi juga memperkuat stereotip gender. Ini mengirimkan pesan bahwa perempuan harus memprioritaskan penerimaan sosial di atas kemampuan profesional. Beban ini dapat menimbulkan dampak buruk seperti:

  • Melemahkan Kompetensi Profesional
    Perempuan merasa perlu menahan diri agar tidak dianggap “terlalu tegas” atau “tidak menyenangkan,” sehingga sulit tampil percaya diri.
  • Meningkatkan Beban Mental
    Tekanan untuk selalu tampil baik dapat menyebabkan kelelahan emosional dan stres, terutama ketika keramahan mereka dieksploitasi oleh lingkungan kerja.
  • Memperkuat Ketimpangan Gender
    Dengan fokus pada keramahan, perempuan kurang diberi ruang untuk tumbuh berdasarkan keterampilan atau kontribusinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita merefleksikan ulang konstruksi budaya yang menuntut perempuan agar terus bersikap baik. Alih-alih terjebak dalam ekspektasi sosial, mari kita mulai memberi ruang bagi perempuan untuk tampil sebagai dirinya sendiri, bahwa tak harus selalu ramah dan patuh. Bahwa perempuan baik seharusnya boleh kritis, tegas, atau berani. 

Jadi, jika B-pers pernah merasa diminta untuk “just be nice,” mungkin sudah waktunya untuk menolak ekspektasi ini dan mendahulukan keadilan di atas penerimaan sosial. Perempuan tidak hanya layak dihargai karena keramahan, tetapi juga karena kompetensi dan keberanian mereka.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan, Ayo Gunakan Hak Suaramu Hari Ini

Ibu Begal di Kampung Inggris: Berani Beda Untuk Bermakna

Perkawinan Anak dan Ketimpangan Akses Pendidikan

Leave a Comment