Home » News » Krisis Iklim Meningkatkan Risiko Kekerasan Berbasis Gender

Krisis Iklim Meningkatkan Risiko Kekerasan Berbasis Gender

Cindy Hiong

Lingkungan, News

Bincangperempuan.com– “Sulitnya mendapatkan sumber makanan dan air, serta polusi, sangat memengaruhi kehidupan dan kesehatan perempuan. Kita membutuhkan pendekatan lintas sektor untuk menangani isu ini,” kata Siti Mazumah, Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), mengawali diskusi publik bertajuk “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan” Senin (16/12/2024).

Siti mengatakan krisis iklim juga meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender, memperparah kerentanan sosial-ekonomi dan perempuan sering menjadi korban berulang akibat situasi tersebut. Ia menekankan pentingnya pendekatan keadilan gender dalam kebijakan iklim. 

“Sebagai contoh, di wilayah terdampak bencana, seperti Lombok setelah gempa bumi 2018, jumlah laporan kekerasan dalam rumah tangga meningkat hampir dua kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan sosial-ekonomi akibat krisis iklim dapat memperburuk kerentanan perempuan terhadap kekerasan,” katanya.

Menurut laporan UN Women, sekitar 80% dari mereka yang terdampak oleh perubahan iklim di seluruh dunia adalah perempuan. Di Indonesia, angka ini tercermin dalam kehidupan perempuan pedesaan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk penghidupan mereka. Kelangkaan sumber daya akibat krisis iklim, seperti air bersih dan hasil panen yang menurun, memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras, memperpanjang waktu kerja mereka di luar rumah, dan meningkatkan risiko kesehatan mereka.

Baca juga: Bagaimana Pendekatan Kesetaraan Gender Menjadi Solusi Terbaik Mengatasi Krisis Iklim

Dampak Krisis Iklim terhadap Kehidupan Perempuan

Studi oleh UNICEF (2022) menunjukkan dampak dari perubahan iklim membuat perempuan di pedesaan Indonesia menghabiskan rata-rata 2-4 jam per hari hanya untuk mencari air bersih, terutama di wilayah-wilayah yang terkena kekeringan seperti Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Hal ini tidak hanya meningkatkan beban kerja mereka tetapi juga mengurangi waktu mereka untuk pendidikan atau pengembangan keterampilan.

Kondisi lain, perubahan pola cuaca ekstrem mengakibatkan gagal panen di berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya, di Kalimantan Tengah, lebih dari 30% petani perempuan melaporkan kehilangan hasil panen pada 2023 akibat banjir. Kehilangan ini berdampak langsung pada ketahanan pangan rumah tangga, di mana perempuan sering kali menjadi penanggung jawab utama dalam memastikan ketersediaan makanan.

Di Jawa Tengah, perempuan petani padi menghadapi tantangan akibat perubahan pola hujan yang mengakibatkan gagal panen. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2023, produksi padi di beberapa wilayah seperti Klaten dan Demak menurun hingga 25%. Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga harus bekerja lebih keras untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Sementara dilihat dari bidang kesehatan, perubahan iklim memperparah polusi udara dan perubahan ekosistem akibat deforestasi serta kebakaran hutan memperburuk kondisi kesehatan perempuan.

Data dari WALHI pada 2023, sekitar 70% pasien ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) di daerah terdampak kebakaran hutan adalah perempuan dan anak-anak.   Selain itu perempuan hamil di daerah terdampak kebakaran hutan memiliki risiko lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau komplikasi kehamilan lainnya. 

Baca juga: Perempuan Alam Lestari : Menghidupkan Kearifan Lokal dan Melawan Perubahan Iklim

Peran Perempuan dalam Mitigasi dan Adaptasi 

Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, mengatakan krisis iklim merupakan persoalan struktural yang disebabkan oleh kebijakan yang mengakomodasi industri ekstraktif. “Dampak terbesar dari daya rusak industri ini dirasakan perempuan, padahal mereka adalah penjaga utama iklim di banyak tempat,” katanya. 

Perempuan di berbagai wilayah Indonesia telah membuktikan peran penting mereka dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Di Sumatera Barat, kelompok perempuan adat aktif menjaga hutan adat dari pembalakan liar, sementara di Jawa Barat, komunitas perempuan petani organik memimpin gerakan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. 

Sementara itu, Lead of Civic Space Yayasan Penabulu, Sugiarto Arif Santoso, juga menekankan bahwa memburuknya krisis iklim meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.

“Diperlukan kebijakan inklusif dan berkelanjutan yang memberi ruang bagi perempuan untuk berkontribusi aktif dalam masa depan hijau dan berkeadilan,” ujarnya. 

Untuk diketahui Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Yayasan Penabulu melalui program CO-EVOLVE 2 yang didukung oleh Uni Eropa, mengadakan diskusi publik bertajuk “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan”.

Diskusi ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), sektor swasta, dan masyarakat luas untuk mengintegrasikan keadilan gender dalam transisi hijau. Program CO-EVOLVE 2 bertujuan memperkuat kapasitas OMS dalam mempromosikan keadilan sosial dan iklim di 38 provinsi di Indonesia hingga 2027, dengan melibatkan lebih dari 500 OMS dan berbagai pemangku kepentingan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Rasminah dan Usia Perkawinan Anak

Jasa Rasminah Abadi Melampaui Zaman

Layanan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan dan Kekerasan Seksual Lainnya

Layanan Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan dan Kekerasan Seksual Lainnya

Agar Bantuan Tak Disunat Calo

Leave a Comment