Bincangperempuan.com- Perselingkuhan menjadi salah satu pemicu tingginya angka perceraian di Indonesia. Namun, ada hal yang benar-benar menjadi catatan merah dalam isu perselingkuhan ini. Yups, ketika masyarakat hanya berfokus untuk menyalahkan pihak perempuan atas perselingkuhan yang terjadi. Masyarakat cenderung lebih sering mengatakan “wajar saja dia selingkuh, istrinya tidak cantik” daripada “suaminya adalah pria penggoda yang tidak tau diri”.
Salah satu bukti nyata dari kasus ini adalah perselingkuhan Brad Pitt dan Angelina Jolie. Wah, dunia justru menyalahkan istri dan kekasihnya daripada Brad Pitt itu sendiri. Masyarakat lebih bersimpati pada Brad yang mengatakan bahwa ia hanya menginginkan kebahagiaan saja. Sementara sang istri tidak dapat membuatnya bahagia selama ini.
Sebenarnya, kasus seperti ini sudah terjadi sejak lama. Perempuan dituntut untuk memastikan kebahagiaan dan kepuasan pasangannya. Dalam kasus perselingkuhan, pria dapat keluar dari skandal dalam keadaan bersih meskipun ia juga pelaku. Sementara perempuan, mereka harus menerima pandangan negatif dari masyarakat atas perselingkuhan yang terjadi. Padahal perselingkuhan dapat terjadi apabila sang pria memilih untuk menutup mata saat berkomitmen dengan seorang perempuan dan secara sadar menerima godaan yang ada di sekitarnya.
Haruskah perempuan yang disalahkan atas perselingkuhan?
Dalam hubungan, perempuan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kualitas suatu hubungan. Loh, kok gitu sih? Georgia Nickles, seorang terapis konsultan keluarga, pernikahan, dan seks mengatakan bahwa secara historis, sebagian besar perempuan bergantung pada pria. Adanya anggapan bahwa pria hanya harus mencari uang untuk menyediakan makan dan tempat tinggal, sementara perempuan harus menjaga hubungan, memberikan kasih sayang, mengurus rumah tangga dan anak, serta memenuhi kebutuhan seksual pasangannya.
Streotip inilah yang masih dipertahankan oleh masyarakat meskipun zaman sudah modern. Meskipun sudah banyak perempuan yang bekerja di luar rumah, mereka tetap dituntut untuk bertanggung jawab atas hal-hal yang dianggap menjadi tugasnya. Masyarakat akan menyalahkan perempuan jika mereka tidak dapat menjaga hubungannya.
Baca juga: Bukan Hal Biasa, Mereka Telah Membangun Kedaulatan Pangan
Selain itu, Christopher K. Belous, PhD, peneliti seksologi dan professor pasangan dan keluarga menilai jika perselingkuhan dapat disebabkan ketika kedua pihak menarik diri dan menjauh dari hubungan itu sendiri. Perempuan tidak harus bertanggung jawab untuk membuat suaminya bahagia. Baginya, setiap perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya merupakan kesalahan dari pihak yang berselingkuh.
Masyarakat harus menyadari bahwa pria berselingkuh atas dasar keinginannya sendiri. Istri atau pacarnya tidak pernah meminta atau mendorong mereka untuk berselingkuh. Sayangnya, masyarakat hanya ingin mengetahui kekurangan dari sang perempuan alih-alih mencari tahu apa yang berubah dari pria itu sendiri. Hillary Philips, konselor dan terpis seks mengatakan bahwa masyarakat seharusnya memperhatikan sang pria daripada fokus mencari kesalahan perempuan.
Hillary menambahkan bahwa perselingkuhan dapat terjadi jika kedua pasangan tidak dapat melihat dinamika hubungan dan bersikap jujur terhadap satu sama lain. Bisa saja, pria yang berselingkuh memiliki masalah psikologis seperti narsisme atau sosiopat yang memungkinkan mereka untuk berselingkuh. Penting untuk tidak menyalahkan perempuan atas semua kasus perselingkuhan yang terjadi.
Dampak bagi pasangan sah dan perempuan yang dijuluki ‘Pelakor’
Di Indonesia, perempuan yang menjadi selingkuhan pria beristri disebut pelakor atau pengambil laki orang. Julukan ini seolah menunjukkan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling aktif dalam hubungan terlarang tersebut. Padahal, perselingkuhan merupakan hubungan terlarang yang disepakati bersama secara sadar.
Meskipun demikian, perempuan yang dijuluki ‘pelakor’ pasti akan bereaksi marah. Reaksi ini muncul karena ia merasa tidak adil dan menganggap bahwa perselingkuhan merupakan kesalahan dua belah pihak. Julukan ini juga akan menganggu aktivitas sehari-harinya.
Baca juga: Sefrida Gora, Perempuan Penyelamat Hutan di Sulawesi Tengah
Julukan ‘pelakor’ yang disematkan pada perempuan akan memicu pikiran yang menyebabkan traumatis sehingga ia merasa kotor, jahat, dan depresi. Sebenarnya, setiap perempuan yang dianggap sebagai ‘pelakor’ mengalami dampak yang berbeda-beda. Kondisi ini dipengaruhi oleh kenangan kehidupan yang dimilikinya. Kondisi ini akan menganggu kehidupannya karena didorong oleh perasaan lelah dan kehilangan minat untuk mengerjakan sesuatu. Reaksi lainnya yang dirasakan perempuan yang dijuluki pelakor adalah menghindari kerumunan orang.
Lantas, bagaimana dengan pasangan dari pria tersebut? Perselingkuhan tidak hanya menghancurkan hubungan, melainkan telah menganggu kesehatan emosional perempuan. Sama halnya dengan perempuan yang menjadi selingkuhan pasangannya. Perempuan yang merupakan pasangan dari si pria yang berselingkuh harus menerima cacian dari masyarakat karena dianggap tidak dapat memberikan kebahagiaan. Belum lagi mereka harus siap dengan kemungkinan terburuk seperti perpisahan.
Mereka harus memikul beban emosional dan tidak diberikan jeda untuk menyelesaikan permasalahannya karena tekanan dari masyarakat yang terus menyalahkannya. Jika begini, perempuan hanya dapat memilih untuk menutup telinga atau bersabar dalam menghadapi padangan negatif masyarakat terhadapnya. Belum lagi, jika perempuan tersebut telah memiliki anak. Ia harus benar-benar memikirkan kehidupannya seperti karier, masa depan anak, dan hal lainnya setelah berpisah dengan pasangannya.(**)
Sumber:
- Birgitta Ajeng, 2021. “Kenapa Perempuan Sering Disalahkan dalam Kasus Perselingkuhan?”, dalam kumparawoman
- Heather Vecchioni, 2023. “Why Women Are Blamed When Men Cheat”, dalam HEALTHYWAY
- Justin J. Lehmiller, Ph.D., 2019. “When Women Get Blamed for Men’s Infidelity”, dalam Psychology Today