Bincangperempuan.com- Nama Marie Antoinette belakangan ini ramai diperbincangkan, BPer’s. Publik kembali mengulik kehidupan Marie Antoinette dan membandingkannya dengan kehidupan salah satu menantu Presiden Joko Widodo, yaitu Erina Sofia Gudono, istri Kaesang Pangarep.
Perbandingan ini muncul setelah beberapa postingan Erina di media sosial menarik perhatian publik. Dalam postingan tersebut, Erina terkesan memamerkan gaya hidup mewah, seperti saat menikmati roti seharga Rp400 ribu.
Namun, kali ini kita tidak akan membahas Erina, BPer’s. Sebaliknya, mari kita bahas siapa sebenarnya Marie Antoinette. Ratu terakhir Prancis sebelum revolusi ini adalah salah satu sosok sejarah yang paling sering menjadi target kritik dan kontroversi. Ia digambarkan sebagai simbol kemewahan, hedonisme, dan ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat.
Padahal, di balik kritik-kritik tersebut, terdapat bias gender yang sangat kental. Marie Antoinette tidak hanya dihakimi karena tindakannya sebagai seorang ratu, tetapi juga karena ia adalah seorang perempuan yang hidup di bawah pengawasan ketat masyarakat patriarkal.
Bagaimana bias gender mempengaruhi kritik terhadap Marie Antoinette?
Baca juga: Memberdayakan Petani Perempuan Menghadapi Perubahan Iklim
Marie Antoinette dan standar ganda gender
Sebagai seorang perempuan yang menduduki posisi kekuasaan, Marie Antoinette dihadapkan pada standar ganda yang kuat. Di satu sisi, ia diharapkan untuk menjadi istri yang patuh, ibu yang penuh kasih, dan ratu yang bijaksana. Namun, di sisi lain, setiap tindakan yang ia lakukan diawasi dan dikritik dengan ketat. Kehidupannya yang mewah di istana Versailles sering kali menjadi sasaran kritik, bukan hanya karena ketidakadilan sosial yang dilambangkannya, tetapi juga karena ia adalah seorang perempuan yang dianggap “tidak pantas” menikmati kekayaan dan kemewahan.
Profesor Joan B. Landes dari Pennsylvania State University mengamati bahwa “kritik terhadap Marie Antoinette sering kali tidak adil, karena dia diharapkan untuk memenuhi peran yang bertentangan: sebagai simbol kemurnian dan kebajikan perempuan, tetapi juga sebagai representasi kekuasaan monarki yang penuh dosa” (Landes, 2001). Kritik semacam ini mencerminkan bias gender yang mendalam, di mana seorang perempuan dihakimi lebih keras daripada laki-laki dalam posisi yang sama.
Selama Revolusi Prancis, Marie Antoinette menjadi target utama propaganda revolusioner. Ia digambarkan sebagai “Madame Déficit,” simbol dari keborosan dan ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat. Namun, kritik terhadapnya sering kali berfokus pada aspek-aspek yang sangat gendered, seperti gaya hidupnya yang mewah, pakaian yang ia kenakan, dan rumor tentang kehidupan pribadinya. Aspek-aspek ini digunakan untuk merusak reputasinya, bukan hanya sebagai ratu, tetapi juga sebagai seorang perempuan.
Sejarawan Lynn Hunt mencatat bahwa “Marie Antoinette dihadapkan pada penghakiman publik yang sangat gendered. Ia digambarkan sebagai perempuan yang tidak terkendali, seorang ibu yang buruk, dan istri yang tidak setia – semua stereotip yang digunakan untuk memperlemah posisinya dan mendiskreditkan kekuasaannya” (Hunt, 1992). Representasi ini tidak hanya mencerminkan kebencian terhadap monarki, tetapi juga kebencian terhadap perempuan yang menentang norma-norma gender tradisional.
Gaya hidup hedonis: antara fakta dan mitos
Salah satu aspek paling kontroversial dari kehidupan Marie Antoinette adalah gaya hidupnya yang dianggap terlalu hedonis. Ia sering digambarkan sebagai sosok yang menghabiskan uang negara untuk pesta-pesta mewah, perhiasan mahal, dan pakaian yang mewah. Namun, banyak dari tuduhan ini berlebihan atau bahkan tidak berdasar. Marie Antoinette memang menikmati kemewahan, tetapi ia juga terjebak dalam sistem istana yang sangat hierarkis, di mana penampilan dan kekayaan adalah simbol kekuasaan dan status.
Dalam bukunya Marie Antoinette: The Journey, Antonia Fraser berpendapat bahwa “gaya hidup mewah Marie Antoinette sering kali dilebih-lebihkan oleh musuh-musuh politiknya. Meskipun dia memang menikmati kemewahan, dia juga terjebak dalam budaya istana Versailles yang menuntut penampilan yang sempurna dan kekayaan yang mencolok sebagai tanda kekuasaan” (Fraser, 2001). Gaya hidupnya bukan hanya cerminan dari sifat pribadi, tetapi juga dari tuntutan dan ekspektasi yang ditempatkan padanya sebagai ratu.
Baca juga: Perjuangan Menuju Kesetaraan di Bengkulu
Bias gender dalam penggambaran media
Penggambaran Marie Antoinette dalam media, baik pada masanya maupun dalam budaya populer modern, sering kali mencerminkan bias gender yang mendalam. Karikatur-karikatur revolusioner menggambarkannya sebagai sosok yang rakus, licik, dan tidak bermoral – semua stereotip negatif yang sering dilekatkan pada perempuan yang melanggar norma-norma gender. Bahkan dalam representasi modern, seperti film dan serial televisi, Marie Antoinette sering digambarkan sebagai sosok yang rumit dan kontroversial, dengan fokus pada kehidupan pribadinya daripada pada peran politiknya.
Marie Antoinette sering kali menjadi korban dari narasi yang dibentuk oleh laki-laki, di mana ia digambarkan sebagai perempuan yang hedonis dan tidak terkendali. Namun, narasi ini tidak memperhitungkan konteks sosial dan politik di mana dia hidup, serta tekanan yang ia hadapi sebagai ratu. Penggambaran ini memperkuat stereotip gender yang merugikan dan mengabaikan kompleksitas kehidupan dan keputusan yang dihadapi oleh Marie Antoinette.
Di balik semua kritik dan kontroversi, Marie Antoinette dapat dilihat sebagai korban dari sistem patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan. Sebagai ratu, dia diharapkan untuk memainkan peran tertentu, tetapi dia juga dihakimi dengan standar yang tidak adil ketika dia menyimpang dari peran tersebut. Kritik terhadap gaya hidupnya yang mewah sering kali lebih mencerminkan bias gender daripada analisis yang obyektif terhadap tindakannya.
Marie Antoinette juga menjadi simbol dari bagaimana perempuan dihakimi lebih keras dalam peran publik. Marie Antoinette adalah contoh klasik dari bagaimana perempuan dihakimi tidak hanya berdasarkan tindakan mereka, tetapi juga berdasarkan persepsi tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku menurut standar gender yang berlaku. Sebagai perempuan yang hidup di bawah pengawasan ketat masyarakat patriarkal, Marie Antoinette tidak pernah benar-benar memiliki kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.