Home » News » MCR PKBI: Tekankan Pentingnya Akhiri Kekerasan Berbasis Gender Online

MCR PKBI: Tekankan Pentingnya Akhiri Kekerasan Berbasis Gender Online

Ais Fahira

News

MCR PKBI Tekankan Pentingnya Akhiri Kekerasan Berbasis Gender Online

Bincangperempuan.com- Mitra Citra Remaja (MCR) Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menggelar rangkaian kegiatan bertajuk #AksiBaik: Bersama Akhiri Kekerasan. Rangkaian acara ini merupakan hasil kolaborasi dengan Campaign #ForChange—platform aksi sosial dan disponsori oleh VIVO, Danpac.

Acara yang berlangsung dari 16 hingga 18 April 2025 ini menghadirkan berbagai bentuk kampanye edukatif seperti talkshow online, serta layanan konseling gratis, serta pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara offline di Bandung, Jawa Barat. 

Salah satu sesi yang penting adalah talkshow mengenai pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dilaksanakan pada 17 April 2025. 

Dalam sesi tersebut, Denisa—seorang pekerja sosial yang juga terlibat dalam penyusunan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024—mengungkapkan fakta mengejutkan yaitu jumlah kasus KBGO yang dilaporkan sepanjang 2024 mencapai 1.791 kasus. Angka ini meningkat drastis sebesar 40,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Denisa, peningkatan ini disebabkan oleh dua hal, pertama semakin bertambahnya kesadaran korban untuk melapor, serta semakin banyak kasus kekerasan yang terjadi di ruang digital.

“Ancaman siber itu sekarang terjadi bukan hanya di ruang publik, tapi juga dalam relasi personal. Kebanyakan kasus melibatkan ancaman penyebaran video atau foto bermuatan seksual, yang digunakan pelaku untuk mempermalukan atau memeras korban,” tambahnya.

Baca juga: Perempuan Di Garis Depan Krisis Agraria

KBGO dan Ketika Ketikan Jadi Luka

Denisa menjelaskan bahwa KBGO bukan sekadar persoalan di layar. Tindakan seperti merekam, mengambil gambar, atau melakukan tangkapan layar bermuatan seksual tanpa persetujuan, menyebarkan konten seksual tanpa keinginan penerima, serta melakukan penguntitan menggunakan sistem elektronik, semuanya masuk dalam kategori KBGO. Dan yang membedakan KBGO dengan kekerasan digital biasa adalah adanya unsur penekanan terhadap gender tertentu dan adanya relasi kuasa.

Beberapa bentuknya yang paling disepelekan adalah komentar. Misalnya seperti komentar bernada seksual dan mengomentari tubuh seseorang dengan konotasi merendahkan atau melecehkan.

“Seleb atau konten kreator adalah orang yang paling sering kena. Kalau kita membuka kolom komentar, pasti ada saja komentar seperti ‘tobrut’ atau bodyshaming, walau sebatas ketikan dan tinggal klik, ini sering sepele tapi sebenarnya sudah termasuk KBGO,” ujar Denisa. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa apa yang dianggap sepele bisa berdampak terhadap korban. 

“Korban akan merasa tidak nyaman berinteraksi di ruang digital. Bahkan bisa menimbulkan trauma,” katanya.

Selain itu, beberapa kasus yang ia dampingi juga disertai ancaman dari pelaku. 

“Banyak korban yang awalnya membagikan konten seksual secara konsensual (dengan persetujuan), namun akhirnya menjadi korban ancaman karena pelaku menyalahgunakan kepercayaan itu,” terangnya.

Menurutnya, ancaman untuk menyebarluaskan konten sering disertai dengan pemerasan, dan dampaknya bukan hanya malu, tapi juga tekanan psikologis yang berat. 

“Bayangkan jika kita terus-menerus dihantui oleh rasa takut konten itu akan terus tersebar. Mau pergi kemana pun juga pasti rasanya tidak aman. Kita kehilangan kendali atas tubuh kita sendiri,” tambahnya.

Baca juga: Female Breadwinners, Ketika  Perempuan Jadi Pencari Nafkah Utama 

Bagaimana Mencegah Terjadinya KBGO?

Oleh karena itu, Denisa membagikan sejumlah langkah pencegahan yang bisa dilakukan, terutama untuk generasi muda yang sangat aktif di media sosial.

  1. Pisahkan akun pribadi dan publik.
    Dengan begitu, konten yang lebih privat hanya bisa diakses oleh lingkaran dekat. “Ini juga memudahkan kita memfilter siapa saja yang bisa melihat kehidupan pribadi kita,” katanya.
  2. Cek dan atur ulang pengaturan privasi.
    Banyak platform memiliki fitur privasi yang bisa melindungi informasi pribadi. Sering-seringlah memeriksa siapa saja yang bisa melihat unggahan kita, siapa yang bisa mengirim pesan, dan sebagainya.
  3. Gunakan password kuat dan aktifkan verifikasi dua langkah.
    “Gunakan variasi password yang berbeda untuk setiap akun. Jangan pakai yang mudah ditebak seperti tanggal lahir,” tambah Denisa.
  4. Hindari berbagi lokasi secara real-time.
    Membagikan lokasi setelah pergi dari suatu tempat jauh lebih aman dibanding melakukannya secara langsung.
  5. Waspadai aplikasi pihak ketiga, tautan mencurigakan, dan ajakan dari orang asing.
    Denisa mengingatkan, jangan sembarangan mengikuti kuis atau undangan yang datang dari akun tidak dikenal.
  6. Lakukan “data detox.
    Mengunjungi situs seperti https://datadetox.myshadow.org bisa membantu kita membersihkan jejak digital dan mengevaluasi keamanan data pribadi.

Lalu, Kalau Sudah Terjadi?

Apa yang bisa dilakukan ketika kita sendiri atau orang terdekat menjadi korban KBGO?

Langkah pertama, menurut Denisa, adalah dokumentasi. “Screenshot semua bukti, mulai chat, email, foto, dan kronologi kejadian harus terdokumentasi dengan rapi,” jelasnya. Langkah berikutnya adalah memantau situasi dan mengevaluasi apakah pelaku sudah berhenti atau justru semakin intens.

Jika membutuhkan bantuan, korban bisa menghubungi berbagai layanan seperti:

  • SafeNET
  • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik atau YLBHI
  • Layanan terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA): SAPA 129 atau WhatsApp ke 08111129129
  • Untuk dukungan psikologis: Yayasan Pulih, HIMPSI, Hati Plong, Sehat Jiwa, Perempuan Berkisah
  • Untuk bantuan teknologi: ICT Watch, Aduan Konten Kominfo, Purple Coach, Hapus dari Google, TakeItDown

“Kalau bingung, mulailah dengan curhat ke teman terdekat yang bisa dipercaya. Jangan sampai menanggung sendiri,” katanya lembut.

Peran Saksi dan Pendamping Melalui Langkah 5D

Menurut Denisa, peran saksi dan pendamping juga sangat krusial. Ia menyebutkan pendekatan 5D:

  1. Dialihkan – Arahkan korban ke tempat aman, yang jauh dari pelaku.
  2. Dilaporkan – Hubungi lembaga atau layanan pendampingan.
  3. Didokumentasikan – Pastikan korban menyimpan semua bukti yang relevan.
  4. Ditegur – Apabila memungkinkan, tegur pelaku (dengan mempertimbangkan keamanan).
  5. Ditenangkan – Dukung korban secara emosional, beri ruang untuk pulih.

Menurutnya, langkah utama sebagai saksi dan pendamping adalah memberi dukungan kepada korban. “Katakan kepada mereka kalau kita ada untuk mereka, dengarkan dan katakan bahwa mereka tidak bersalah dan berhak menuntut keadilan,” ujarnya.

Tak Segalanya Harus Diviralkan

Namun Denisa juga mengingatkan agar pendamping tidak gegabah untuk segera memviralkan kasus. Karena menurutnya, berpikir bahwa ‘memviralkan di media sosial’ adalah solusi cepat, justru bisa membahayakan korban dan saksi jika tidak disertai perlindungan hukum.

“Ini malah bisa jadi bumerang, kita bisa dilaporkan balik menggunakan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik)  oleh pelaku, apalagi jika pelaku ini memiliki relasi kuasa yang cukup besar,” tegasnya.

Ia menegaskan, strategi viral baru bisa dilakukan jika sudah ada kekuatan hukum yang menopang, seperti dukungan dari koalisi lembaga atau bantuan hukum yang kuat. 

“Kalau belum siap secara mental dan hukum, lebih baik fokus pada pemulihan korban dan langkah legal terlebih dulu,” katanya.

Catatan Penting untuk Semua Pengguna Internet

Melalui sesi ini, MCR PKBI mengajak publik lebih waspada terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender di dunia digital. Ruang digital seharusnya menjadi tempat yang aman untuk berekspresi dan terhubung, bukan justru memperbesar celah kekerasan.

Sesi ini bukan hanya mengedukasi, tetapi juga menyoroti bahwa korban tak sendirian, bahwa ada sistem dan komunitas yang siap mendampingi. Bahwa suara korban pantas didengar dan dilindungi, baik di dunia nyata maupun digital.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Wujudkan Indonesia Bebas KDRT

Car Free Day: Olahraga Bersama Wujudkan Indonesia Tanpa KDRT

Perkawinan Anak di Indonesia Peringkat ke-4 Dunia

Perkawinan Anak di Indonesia Peringkat ke-4 Dunia

Sinkronisasi Regulasi untuk Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Leave a Comment