Home » News » Memaknai Keterwakilan Perempuan 30%, Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender

Memaknai Keterwakilan Perempuan 30%, Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender

Ryen Meikendi

News

“Kita semua terkejut mengetahui adanya PKPU yang tidak sesuai dengan konstitusi maupun UU. Dan tentunya tidak sesuai dengan aspirasi dan harapan dari masyarakat luas, terutama kelompok-kelompok perempuan yang memang sangat concern mengenai pentingnya perempuan terwakili di parlemen,”

Akademisi/ Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti.

Bincangperempuan.com-  Menurut Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, ketentuan mengenai Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota mencerminkan kemunduran. Ini ditandai dengan ketentuan mengenai pasal di atas yang menghambat pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif. Bahkan berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada 2024.

Ketentuan yang dibuat oleh KPU ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Selain itu juga bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Senada disampaikan Akademisi/ Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti. Menurutnya, PKPU Nomor 10 Tahun 2023 khususnya Pasal 8 Ayat 2 yang setelah disimulasikan ternyata memang tidak menguntungkan bagi caleg-caleg perempuan. Ada beberapa dapil yang akan dirugikan.

“Ketentuan ini sesungguhnya bertentangan dengan apa yang dimaksudkan konstitusi. Ini juga bertentangan dengan regulasi UU Nomor 7 tahun 2017.  Selain itu, dengan adanya PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 Ayat 2 ini artinya tidak mendukung upaya meningkatkan keterwakilan perempuan 30% di partai politik,” katanya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura juga menilai adanya kemunduran atas demokrasi dan afirmasi. Hal ini dikarenakan dorongan untuk memperkuat peran politik perempuan dan secara perundang-undangan dilegitimasi oleh KPU. Artinya, UU Nomor 10 tahun 2023 memperkuat upaya untuk mendegradasi afirmasi tersebut.

Charles juga mengatakan bahwa adanya kegagalan pemahaman yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Dimana mereka membiarkan KPU mendegradasi makna keterwakilan perempuan 30% tersebut. 

“Bagi saya ini suatu hal yang mundur. Karena  memang dari segi kementerian pun ternyata tidak koordinasi terlebih dahulu. Jadi semacam ada keterpisahan kepentingan antara KEMENDAGRI yang mengamini kelemahan itu, tetapi ada KPPA yang tetap ingin mendorongnya,” ungkap Charles.

Sebagai negara yang sudah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agains Women (CEDAW) melalui  UU Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tindakan khusus sementara atau afirmatif action di berbagai bidang kehidupan perempuan, demi mempercepat terrwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dijamin dalam Pasal 4 CEDAW tentang tindakan khusus sementara. Bahkan juga ada rekomendasi umum komite CEDAW yang secara khusus mengatur soal keterwakilan perempuan di politik yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Kehidupan Publik dan Politik Perempuan, serta rekomendasi UU Komite CEDAW Nomor 25 Pasal 4 Ayat 1 yaitu Tentang Tindakan Khusus Sementara.

Di Indonesia, salah satu upaya untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan adalah dengan menerapkan kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di kepengurusan partai politik dan juga di pencalonan legislatif di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Tetapi dengan adanya peraturan KPU Pasal 8 ayat 2 tentunya sulit sekali mencapai 30%.

Sampai saat ini khususnya di DPR, anggota legislatif perempuan belum mencapai 30%. Dengan adanya Pasal 8 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 justru akan semakin mundur jumlah anggota legislatif perempuan, baik di tingkat nasional, DPR maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Selain itu, Peraturan Komite KPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 Ayat 2 ini jelas telah melanggar CEDAW.

Upaya untuk Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender

Menurut Valina saat ini Indonesia mengalami persoalan yang multidimensi yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh pihak laki-laki, tetapi perempuan juga harus ikut berpartisipasi.

“Perempuan diharapkan hadir untuk turut terlibat memberikan pikiran-pikiran, masukan-masukan di dalam perumusan kebijakan publik agar UU atau regulasinya benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perempuan, anak-anak dan masyarakat secara luas,” lanjutnya.

Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI)/Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait, Lena Maryana, mendorong Mahkamah Agung (MA) dan para hakim bisa mengerti perjuangan yang dilakukan untuk meng-introducer kebijakan afirmasi ini bukan kebijakan yang main-main.

“Ada landasan-landasan yuridis dan ada landasan historis, sosial dan landasan sosiologis bahwa hampir setengahnya adalah perempuan, tetapi aspirasi perempuan tidak diakomodir dalam kebijakan-kebijakan negara,” katanya.

Dalam hal ini Koalisi Masyarakat Sipil juga menuntut supaya PKPU benar-benar mencerminkan apa yang dikehendaki konstitusi maupun di dalam UU yang mengatur Pemilihan Umum yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017.

Valina mengatakan, salah satu yang penting untuk masuk ke kebijakan afirmasi adalah pasal 28 H ayat 2. Dikatakan pada ayat tersebut bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Guna mencapai persamaan dan keadilan.

Artinya, hal ini menjadi payung yang sifatnya konstitusional untuk memberikan perlindungan terhadap semua kelompok-kelompok masyarakat yang masih terpinggirkan dan termajinalkan. Serta tidak mendapatkan akses dan kesempatan serta manfaat yang sama dari proses-proses pembangunan yang berlangsung di Indonesia.

Menurut Charles yang menjadi masalah adalah proses di MA tidak terbuka, seperti yang ada di Mahkamah Konstitusi (MK) kita bisa berdebat secara terbuka kepada KEMENDAGRI, DPR atau  juga dengan KPU sebagai pihak yang mengeluarkan peraturan.

Senada dengan Valina yang juga berpendapat bahwa adanya pembajakan elit penyelenggara yang membajak proses-proses demokrasi subtantif ini dikarenakan prosesnya yang tertutup dan tidak transparan.

“Kita tidak mengetahui mengenai lobi-lobi yang berlangsung setelah itu, lalu tiba-tiba keluarlah Pasal 8 Ayat 2 ini yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diusulkan dan disetujui masyarakat pada waktu uji publik. Artinya, terkait dengan persolan integriti. Jadi betapa pentingnya integriti dan kemandirian dari penyelenggara pemilu,” ujar Valina.

Aspek formil dari PKPU ini perlu dipertanyakan, dimana kita tahu proses pembentukan PKPU membuat berbagai pihak menjadi terkejut.

“Saya pikir ini bisa dibuka lagi korespondensi kita, catatan-catatan kita pada proses pembentukan PKPU Nomor 10 tahun  2023 mengenai masukan yang kita sampaikan. Atau ada proses yang tidak memunculkan itu, yang kita sampaikan kemarin adalah penyeludupan pasal oleh PKPU. Dari akses keterbukaan sampai sekarang perlu diuji,” tegas Charles.

Valina menambahkan dalam melaksanakan tahapan-tahapan pemilu, pada Pasal 22 E UU 1945 hasil Perubahan Ketiga Bab 7 B jelas mengatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh semua komisi pemilu yang bersifat tetap dan mandiri. Mandiri di sini yaitu independen, netral dan imparsial. Serta harus memperlakukan semua  peserta pemilu, pemilih, dan pihak lainnya tanpa adanya unsur diskriminasi.

“Kalau penyelenggaraan pemilunya benar-benar menjaga integritinya dan memperhatikan prinsip-prinsip, kode etik pemilu yang mengedepankan, maka persoalan independensi netralitas akan berdiri di atas dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu. Maka penting untuk menjalani pemilu yang jujur dan demokratis,” katanya.

“Dikarenakan KPU yang mandiri, maka artinya mereka mesti berani mengatakan Pasal 8 Ayat 2 ini memang harus direvisi.  Jadi suara aspirasi publik dalam konteks demokrasi subtantif yang partisipatif, suara aspirasi publik itu harus didengar dan menjadi bagian serta masukan di dalam proses regulasi,” Valina menambahkan.

Selain itu, kata Charles, Judicial Review dalam peraturan perundang-undangan  di bawah undang-undang yang diajukan ke MA perlu di-higlight bersama adalah posisi para pemohon yang mengajukan permohonan itu.

“Pada posisi pemohon diharapkan dapat berhati-hati jangan sampai kehilangan legal standing bahwa pemohon bukanlah orang yang dirugikan. Kadang kala hakim suka iseng. Dalam arti lain, sebenarnya permohonan bisa didalilkan cukup dengan membuktikan peraturan yang bertentangan dengan peraturan pemilu, konstitusi atau yang lainnya. Akan tetapi, ketidakmampuan dalam menghadirkan pemohon yang dirugikan atas PKPU atau pemohon adalah orang-orang di luar pihak yang berkepentingan, maka akan menjadi celah bagi Hakim MA untuk tidak memberikan putusan, atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” papar Charles.

Terkait hal ini, Charles juga mendorong KPPA masuk sebagai pihak, terutama pihak terkait untuk menyatakan program ini penting. Termasuk juga Komnas Perempuan, dalam konteks untuk mendorong sebagai pihak terkait. Dimana dalam rangka meyakinkan para hakim bahwa apa yang sudah dilakukan selama ini sudah cukup berhasil untuk meningkatkan afirmasi itu. Meskipun masih di bawah angka 30%, tapi yang jelas sudah mulai menunjukan peningkatan.

“Kalau dalam konteks pemenuhan atas keterwakilan perempuan, jelas ini menjauh dari upaya itu. Sehingga kemudian saya pikir ini jelas-jelas bisa dijadikan argumentasi. Dan juga kita harus melihat bagaimana pemenuhan ini. Seperti data-data yang sudah disampaikan juga perlu kita utarakan ke MA  untuk dijadikan bahan,” terang Charles.

Apa kata pemerintah?

Untuk melaksanakan amanat Inpres Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender,  pemerintah sudah menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode berikutnya, termasuk juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, I Gusti Agung Putri Astrid Kartika atau yang biasa disapa Gungtri, mengatakan mengacu SDGs, pemerintah memiliki amanat untuk mengatasi ketimpangan gender. Dimana yang menjadi tolak ukur adalah yaitu Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender.

Dalam tiga tahun terakhir, lanjut Gungtri, terjadi peningkatan yang sangat minimal dari pemberdayaan gender. Pada tahun 2019 yaitu 91.07, 2020 sebanyak 91.06, dan pada 2021 sebanyak 91.27. 

“Kalau sudah mencapai angka 100 berarti sudah setara, pun sebaliknya. Jika belum mencapai 100 artinya masih timpang. Peningkatan menuju 100 dalam 10 tahun ini pergerakannya tidak pernah lebih dari 1 digit, atau bisa lebih rendah dari itu dan sangat lambat sekali,” katanya.

Gungtri mengatakan angka partisipasi perempuan sebetulnya naik dari 2019, ketika pertama kali memperoleh kursi untuk perempuan sampai 21.89 % karena proses Pergantian Antar Waktu (PAW). Terdapat 30.88% dicapai oleh DPRD Kabupaten Kota pada 2018, tetapi tidak dicapai oleh DPR RI maupun DPD RI.Pada Perempuan Kepala Daerah dari 514 kabupaten kota hanya mencapai 2.5% sedangkan dari 34 provinsi hanya 2.9% perempuan menjadi Kepala Daerah.

Kehadiran yang signifikan dari lembaga eksekutif menteri, bupati, wali kota, bahkan kepala desa perempuan masih 4% dari 74.961 kepala desa. Demikian juga di lembaga yudikatif dan kalangan penegak hukum serta di dunia besar. Ini artinya, negara punya tanggung jawab yang besar untuk meningkatkan peran dan keterlibatan perempuan  di dalam pengambilan keputusan. Baik di bidang politik, sosial dan ekonomi.

“Peningkatan keterwakilan perempuan secara kuantitas bukanlah sekadar angka presentase. Di balik angka ini sesungguhnya tumbuh suasana kebatinan politik yang memberi penghormatan sekaligus kepercayaan pada perempuan,” ujar Gungtri.

Terkait PKPU Pasal 8 Ayat 2, menteri telah secara khusus bersurat dan berkomunikasi dengan KEMENDAGRI, KPU, Bawaslu dan DKPP agar memberikan perhatian dan turut serta menjaga postur pembangunan yang sudah baik ini. Serta menteri membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang memiliki pengaruh dalam penyikapan anggota komisi 2 DPR RI.

“Apapun sikap DPR sesungguhnya KPU dan lembaga terkait pemilu dapat memutuskan dan mengambil langkah independen. Bawaslu dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengawasan, mulai dari pembuatan kebijakan hingga pelaksanaanya. Dan menteri secara khusus mengapresiasi upaya-upaya masyarakat sipil yang saat ini melakukan judicial review ke MA. Tentunya hal ini patut didukung. Semoga membuahkan hasil,” demikian harap Gungtri.(Ryen Meikendi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Dini Mudrika, Inisiasi Bengkulu Begerak, Kumpulkan Donasi untuk Bantu Sesama

Keperawanan Mitos yang Menghantui Perempuan

Selaput Dara, Mitos Keperawanan yang Menghantui Perempuan

Keterlibatan Perempuan Gen Z dalam Perekonomian Nasional

1 Comments

  1. sangat di sayangkan sekali dengan berlakunya Pasal 8 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ini akan semakin lebih sedikit jumlah anggota legislatif perempuan..

    Reply

Leave a Comment