Bincangperempuan.com– Provinsi Bengkulu terletak di sebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayahnya mencapai lebih kurang 20.130,21 kilometer persegi. Wilayah ini memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat hingga ke perbatasan Provinsi Lampung. Jaraknya lebih kurang 567 kilometer (Km).
Provinsi ini memiliki 10 kabupaten/kota. Di mana Kabupaten Bengkulu Utara merupakan daerah terluas memiliki porsi sebesar 22,26 persen dari total seluruh wilayah. Sementara wilayah terkecil di Kota Bengkulu hanya sebesar 0,75 persen dari total luas Provinsi Bengkulu.
Luas wilayah dan kondisi lahan di daerah ini didukung komoditas tanaman. Wilayah ini banyak dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan. Baik dikelola perusahaan pemerintah dalam bentuk PT Perkebunan Nusantara (PTPN), maupun perkebunan milik dan dikelola masyarakat.
Komoditi yang dihasilkan itu salah satunya kopi. Data tahun 2022 dari Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, Provinsi Bengkulu. Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan dengan produksi 56,03 ton.
Tahun 2019, luas areal tanaman perkebunan kopi di Bengkulu, mencapai 86.376.83 Hektare (Ha). Rinciannya di Kabupaten Bengkulu Selatan seluas 2739.70 Ha, Rejang Lebong seluas 24.070.00 Ha, Bengkulu Utara seluas 5738.65 Ha.
Lalu di Kabupaten Kaur seluas 9178.00 Ha, Seluma seluas 7971.00 Ha, Mukomuko seluas 103.00 Ha, Lebong seluas 7122.92 Ha, Kepahiang seluas 24738.50 Ha, Kabupaten Bengkulu Tengah seluas 4711.00 Ha, dan Kota Bengkulu terdapat 4.06 Ha.
Dari sepuluh kabupaten/kota di Bengkulu tersebut, Kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang dan Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki areal tanaman kopi cukup luas. Ditiga daerah itu petani mulai merasakan dampak perubahan iklim.
Tanaman kopi petani di daerah tersebut mati, batang kopi menjadi rapuh, daun kopi menguning, tanah kering, biji buah kopi berkurang hingga munculnya hama penyakit dan hama baru di bagian batang kopi berupa jamur dan ulat.
Penurunan hasil buah kopi petani itu mulai dirasakan pada musim panen tahun 2020 hingga 2023. Dampak pemanasan global ini dirasakan kelompok perempuan. Seperti Kelompok Perempuan Alam Lestari (KPAL), Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, beranggotakan 20 orang.
Secara keseluruhan petani berasal dari Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang. Dengan luas areal perkebunan kopi anggota kelompok tidak kurang dari 24 Ha.
Pemanasan global dirasakan masyarakat di desa ini. Ketua KPAL Supartina Paksi (47), misalnya. Di areal kebun kopi seluas 0,5 Ha miliknya hasil buah biji kopi dari tahun 2021 – 2023 merosot dratis.
Di tahun 2021, hasil buah kopi Supartina, sebanyak 400 Kg menurun menjadi 290 Kg di tahun 2022, dan kembali merosot di tahun 2023 menjadi 120 Kg. Pada musim panen, Supartina mempekerjakan pekerja informal 2-3 orang untuk panen dengan upah Rp60 ribu per hari. Namun pada tahun 2022 – 2023, pekerja informal tidak dipekerjakan. Lantaran hasil buah kopi berkurang dratis. Mereka memilih memanen sendiri.
”Penurunan hasil buah kopi itu disebabkan cuaca tidak menentu sehingga buah kopi tidak menjadi buah serta adanya serang hama jamur ulat di bagian batang kopi menjadi mengelupas dan mati. Kondisi hama itu menular ke pohon kopi lain,” kata Kelompok Perempuan Alam Lestari (KPAL), Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Supartina, beberapa waktu lalu.
Revitalisasi Kearifan Lokal
Masyarakat dan Pemerintah Desa Batu Ampar, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, telah memulai gerakan merevitalisasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, berupa pengelolaan kebun kopi. Tujuannya membangun kebun kopi tangguh iklim dan pangan. Gerakan itu dimulai sejak tahun 2019, digawangi kaum perempuan di desa tersebut.
Mereka menanam beragam pohon kehutanan penyedia jasa ekosistem dan pangan. Mulai dari durian, nangka, alpukat, aren, bambu, jengkol dan petai serta tanaman pangan, seperti unji dan talas di areal kebun kopi.
Bagi masyarakat Desa Batu Ampar, khususnya perempuan, kebun kopi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Gerakan merevitalisasi kearifan lokal dalam pengelolaan kebun kopi tersebut, kata Kepala Desa Batu Ampar, Harwan Iskandar, telah menimbulkan berbagai dampak positif.
Seperti berkontribusi dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, melestarikan tradisi ganti hari dan menyemang kopi. Lalu mendorong perempuan merintis usaha pangan olahan dari beragam pangan dari kebun kopi.
Seperti kopi semang, peyek daun kopi, bolu kopi, bolu gula aren, gula aren cair, gula semut, manisan kolang-kaling, stik rebung, keripik rebung, stik unji dan lainnya.
”Desa Batu Ampar sebagai ruang belajar bagi berbagai pihak terkait. Pengelolaan kebun kopi berbasis kearifan lokal menjadikan desa kami sebagai salah satu desa wisata terbaik di Indonesia,” kata Harwan, Sabtu (30/11/2024).
Baca juga: Peyek Daun Kopi, Inisiatif Ekonomi Di Tengah Perubahan Iklim
Tidak Bergantung Pada Lahan
Mitigasi pemanasan global di desa berpenduduk 754 jiwa ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat melalui edukasi. Perubahan iklim menjadi salah satu prioritas di daerah yang didiami 342 kepala keluarga (KK) tersebut.
Upaya dari pemerintah desa itu melalui aksi nyata yakni mengubah pola tanam menjadi campuran atau polikultur. Usaha pertanian yang membudidayakan berbagai jenis tanaman pertanian pada lahan di kebun kopi atau agroforestri.
Daerah yang memiliki perkebunan kopi di areal penggunaan lain (APL) seluas 275 Ha ini juga memberikan edukasi untuk anak sejak dini dan tak terlepas dari keterlibatan perempuan dalam mitigasi perubahan iklim.
Untuk itu pengembangan ekonomi berbasis lingkungan dengan olahan Rebung Bambu, Aren, Kopi Semang, Kecombrang pun diterapkan. Tujuannya membangun ketergantungan hidup kepada kelestarian alam dengan harapan Bambu, Aren, Kecombrang dapat tetap lestari.
”Membangun ketahanan pangan yang sesuai dengan kebijakan kopi tangguh iklim. Budidaya Talas di kebun kopi, pengembangan desa wisata. Ini salah satu bagian dari strategi mitigasi. Harapannya peningkatan ekonomi tidak hanya bergantung pada lahan,” kata Herwan.
Secara perlahan lanjutnya, produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dikembangkan masyarakat berbasis potensi lokal sudah mulai dikenal dan diminati masyarakat dari berbagai daerah di pulau Sumatera dan Jawa.
”Artinya peluang ekonominya cukup menjanjikan. Ini salah satu untuk mendongkrak perekonomian masyarakat Desa Batu Ampar dari sektor UMKM,” jelas Harwan.
Mitigasi Emisi GRK
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu menyebut sumber emisi gas rumah kaca berasal dari sektor kehutanan, pertanian, industri penggunaan produk (IPPU), energi, transportasi, dan sektor limbah (limbah domestik dan limbah industri).
Sehingga DLHK Bengkulu berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui dua langkah. Seperti sektor kehutanan dan penggunaan lahan Forestry and Other Land Use (FoLU). Caranya melalui kegiatan peningkatan cadangan karbon (PCK). Lalu program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, program rehabilitasi hutan dan lahan, pencegahan penurunan cadangan karbon (PPCK), program perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.
”Kegiatannya penghijauan lingkungan, pengembangan perbenihan tanaman hutan, penanaman pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), persemaian permanen dan pengadaan bibit/benih tanaman kehutanan,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi, Sabtu (30/11/2024).
Upaya lainnya disektor pengelolaan limbah, melalui pengelolaan persampahan, limbah cair industri dan domestik. Pengelolaan limbah domestik ini dilakukan dengan cara pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), tempat pengelolaan sampah reuse-reduce-recycle (TPS3R) dan operasionalisasi bank sampah yang dikelola atau dibina pemerintah.
”Kegiatan untuk limbah cair industri dan limbah cair domestik pengelolaan secara aerob, baik itu untuk instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kolam pengendapan untuk industri dan IPAL komunal untuk limbah cair domestik,” jelas Yanmar.
Baca juga: Policy Brief: Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim di Provinsi Bengkulu
Dampak dan Efek Perubahan Iklim di Indonesia
Perubahan iklim adalah perubahan pada salah satu parameter iklim. Temperature pada periode waktu jangka panjang minimal 10-30 tahun, misalnya. Salah satu indikasi dari perubahan iklim adanya perubahan pada musim dan cuaca. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer membangun model prediksi musim Decision Support System (DSS) Kamajaya, yakni aplikasi Sistem Kajian Awal Musim Jangka Madya berbasis model atmosfer.
Pada Januari 2023 European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) menyatakan, pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21°C. Dalam 30 tahun pemanasan global ini dapat berlanjut hingga mencapai 1,5°C pada Maret 2023.
Peneliti Pusris Iklim dan Atmosfer, Erma Yulihastin menjelaskan, perubahan Iklim di Indonesia memiliki dampak dan efek yang berbeda disetiap wilayah di Indonesia. Berdasarkan data hasil kajian tim peneliti BRIN, sekaligus untuk pengembangan model dalam Kamajaya, telah terjadi perubahan klimatologis di Indonesia selama 19 tahun, terhitung sejak 2001-2019.
Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia. Seperti wilayah 1 di Sumatera Selatan dan Kalimantan, sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi selama 49 hari.
Sementara di Lampung dan bagian barat Pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang 12 hari. Saat ini hasil kajian tersebut dalam proses review di The Journal Remote Sensing Applications: Society and Environment (RSASE).
”Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk wilayah selatan Indonesia,” kata Erma, seperti dikutip dari laman resmi BRIN.
Selama musim hujan, kata Erma, akan terjadi peningkatan hujan yang lebih ekstrem dan selama musim kemarau. Di mana hujan ekstrem semakin sering terjadi di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Fokus pengamatan kami di selatan Indonesia, karena selatan Indonesia merupakan tempat sentra pangan di Indonesia serta memiliki penduduk terbanyak,” jelas Erma.
Dari hasil penelitian tim di BRIN menunjukkan, perubahan temperatur signifikan di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan (tahun 2021-2050 terhadap 1991-2020). Temperatur minimum mengalami penurunan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim, serta bagian tengah Jawa Barat.
Temperatur maksimum mengalami peningatan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim. Hari-hari tidak hujan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan diproyeksikan meningkat, sehingga lebih kering dan mengalami peningkatan kering yang signifikan, sama halnya di Sumatera Selatan hingga Lampung.
Perubahan iklim ini menyebabkan, terjadinya Badai Vorteks dan Siklon Tropis, di selatan Nusa Tenggara Timur. Dampaknya meningkatkan hujan dan menimbulkan banjir di Madura dan wilayah Jawa Timur lainnya.
Selain itu, adanya penghangatan suhu permukaan laut di Laut Jawa di utara Jakarta. Disisi lain, suhu permukaan laut yang mendingin terbentuk di Laut China Selatan telah menciptakan tekanan tinggi. Pendinginan suhu laut itu disebut juga dengan istilah cold tongue.
Untuk mengantisipasi kebencanaan yang mungkin terjadi dari badai Badai Vorteks dan Siklon Tropis, diperlukan adanya model prediksi cuaca resolusi tinggi secara temporal dan spasial, dengan wilayah dominan yang luas, serta mengedukasi masyarakat secara komprehensif.
”Sangat perlu membangun Weather Ready Nation yang merupakan upaya memaksimalkan peringatan dini terhadap kejadian vortex ini guna memastikan jalur koordinasi dan komunikasi di daerah, dengan kesigapan maksimal dan meminimalisasi dampak perubahan iklim yang terjadi,” sampai Erma.
Produksi Kopi Rapuh
Produksi kopi masih rapuh, dan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengindikasikan bahwa perubahan iklim akan mengurangi hasil panen di seluruh dunia secara rata-rata dan mengurangi lahan yang cocok untuk kopi pada tahun 2050.
Berdasarkan jurnal biomedis dan ilmu hayati, United States National Library of Medicine (NLM), dari semua referensi yang menyelidiki dampak langsung perubahan iklim pada hasil atau produksi kopi 42 makalah, 35 menunjukkan dampak negatif. Empat studi melaporkan hasil yang beragam, dan tiga studi mengungkapkan dampak positif.
Analisis mengidentifikasi pengurangan keseluruhan dalam hasil kopi ditiga benua (Amerika, Afrika, dan Asia). Jurnal biomedis dan ilmu hayati itu juga menulis sebagian besar penurunan dan kerugian hasil dilaporkan terutama di Amerika, di mana kerugian global bisa mencapai 70%.
Di dalam jurnal biomedis dan ilmu hayati tersebut menulis, satu manuskrip yang dilakukan di provinsi Indonesia dan Vietnam (Asia Tenggara) guna mengukur kisaran suhu optimal robusta untuk produksi, dan menunjukkan bahwa robusta mungkin menimbulkan kerugian terhadap perubahan iklim.
Data menunjukkan penurunan potensi produksi Coffea canephora, yang menempatkan industri kopi bernilai miliaran dolar dan mata pencaharian jutaan petani dalam risiko.
Namun, referensi dengan temuan yang saling bertentangan telah mencakup pengimbang positif oleh efek pemupukan CO₂, yang menghasilkan sedikit peningkatan bersih dalam hasil rata-rata kopi Arabika Brasil. Disisi lain, penurunan produksi kopi di Meksiko (Veracruz bagian tengah) menyebabkan peningkatan nilai ekonominya tetapi penurunan indikator sosial ekonomi.
Negara Penghasil Kopi Terbesar
Menurut statistik global, produksi kopi dunia rata-rata melebihi 10 juta ton, dengan total luas panen lebih dari 11 juta hektar. Amerika menghasilkan lebih dari 55,5% produksi kopi dunia, diikuti oleh Asia dengan 31,9%. Negara penghasil kopi terbesar termasuk Brasil, Vietnam, Indonesia, dan Kolombia, meskipun lebih dari tujuh puluh negara lainnya juga merupakan produsen berharga.
Perubahan iklim mempengaruhi kesesuaian lahan untuk produksi kopi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Billen et al. (2022), dari 54 makalah yang ditinjau, 33 melaporkan penurunan signifikan dalam kesesuaian kawasan untuk budidaya kopi.
Negara-negara penghasil kopi utama seperti Brasil, Vietnam, Honduras, dan India diperkirakan akan menjadi kurang cocok untuk produksi kopi. Penurunan paling signifikan diperkirakan terjadi di Etiopia, Sudan, Kenya, Puerto Riko, Meksiko, dan Amerika Latin, dengan pengurangan lahan cocok yang mencapai hingga 90% pada tahun 2080.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan pada penyebaran hama dan penyakit kopi. Studi menunjukkan peningkatan distribusi dan tingkat reproduksi hama seperti penggerek buah kopi dan penggerek batang putih kopi, serta peningkatan infestasi nematoda kopi dan penambang daun di Brasil.
Penyakit seperti karat kopi menjadi lebih parah di wilayah seperti Kolombia, Amerika Tengah, dan Nikaragua. Selain itu, perubahan lingkungan yang ekstrem berdampak buruk pada fisiologi tanaman kopi.
Penelitian menunjukkan, kondisi seperti dingin, suhu udara tinggi, dan kekeringan menyebabkan penurunan fotosintesis, laju transpirasi, dan laju asimilasi karbon bersih pada tanaman kopi. Hal ini berakibat pada penurunan hasil panen, perubahan kualitas, dan peningkatan kerentanan terhadap hama dan penyakit.
Perubahan iklim juga memengaruhi mutu biji kopi. Variabilitas iklim mengakibatkan penurunan kualitas biji kopi, seperti yang dilaporkan di Nikaragua. Pada tahun 2050, kemampuan untuk menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi diperkirakan akan menurun, mengakibatkan dampak pada rasa dan aroma kopi.
Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi produksi, tetapi juga kondisi sosial ekonomi petani. Peristiwa cuaca ekstrem menyebabkan penurunan pendapatan petani, peningkatan biaya produksi, dan peningkatan kerawanan pangan. Ini memaksa petani untuk bermigrasi ke wilayah lain, mengorbankan tutupan hutan, dan mengubah penggunaan lahan.
Meskipun ada beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan, seperti mengembangkan varietas kopi yang lebih tahan iklim atau memindahkan zona budidaya ke dataran tinggi, tantangan ini tetap sangat besar.
Indonesia Produsen Kopi Kelima di Dunia
Produksi kopi Indonesia menurun pada 2023 setelah sempat naik dalam lima tahun terakhir. Penurunan produksi kopi Indonesia ini justru dibarengi dengan meningkatnya konsumsi kopi di Indonesia.
Kopi merupakan komoditas pertanian yang berkontribusi besar dalam penerimaan devisa negara, mencapai US$1,15 miliar dengan volume ekspor sebesar 437,56 ribu ton pada tahun 2022.
Dalam kurun waktu 2021-2022, neraca volume perdagangan kopi di tahun 2022 mencapai US$1,09 miliar dengan provinsi sentra produksi kopi yakni Sumatra Selatan, Lampung, Sumatra Utara, Aceh, Bengkulu, dan Jawa Timur.
Menurut Kementerian Pertanian, produksi kopi nasional mencapai puncaknya pada 2022 dengan 794.762 ton. Jumlahnya diestimasi menurun menjadi 789.609 ton pada 2023. Penurunan produksi ini berdampak signifikan pada pasar kopi global, mendorong kenaikan harga kopi di berbagai wilayah.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) USDA mengatakan, bahwa Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kelima di dunia dengan total kontribusi sekitar 5%. Negara lain dengan peringkat di atas Indonesia yakni Brasil, Vietnam, Kolombia, dan Ethiopia.
Kondisi cuaca yang tidak menentu seperti hujan terlalu lebat atau musim kering yang berkepanjangan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penurunan produksi kopi Indonesia. Serangan hama dan penyakit serta kurangnya peremajaan tanaman kopi yang sudah tua juga berkontribusi terhadapan penurunan produksi kopi Indonesia.
Penurunan produksi kopi turut berimplikasi pada volume ekspor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor kopi turun menjadi 276.335,2 ton pada 2023 dari 433.881,1 ton di tahun sebelumnya. Nilai ekspornya juga turun menjadi US$916,5 juta atau sekitar Rp14 triliun.
Tulisan ini merupakan bagian dari Mother Earth Project yang diproduksi dengan dukungan dari Meedan