Home » News » Peyek Daun Kopi, Inisiatif Ekonomi Di Tengah Perubahan Iklim  

Peyek Daun Kopi, Inisiatif Ekonomi Di Tengah Perubahan Iklim  

Betty Herlina

News

Peyek Daun Kopi, Penguatan Ekonomi Di Tengah Perubahan Iklim  

Bincangperempuan.com- Daun kopi bisa diolah menjadi peyek, loh! Siapa sangka, bagi masyarakat umum, mendengar penyek daun kopi tentunya pasti terasa asing. Peyek biasanya dibuat dengan bahan utama tepung yang dipadukan dengan topping kacang tanah (Arachis hypogaea), ikan teri (Engraulidae) ataupun laron alias rayap bersayap (Alates). 

Namun, berbeda dengan masyarakat Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Mereka menggunakan daun kopi muda sebagai bahan utama pembuatan peyek. Rasanya tentu tak kalah gurih dan renyah. 

Adalah kelompok Perempuan Alam Lestari (PAL) yang diketahui Supartina Paksi, mereka mengambil inisiatif mengolah daun kopi muda menjadi bahan baku utama pembuatan peyek.

Bagi mereka, peyek daun kopi saat ini menjadi salah satu alternatif sumber pendapatan, diturunnya produksi kopi akibat perubahan iklim, sehingga mendesak para petani kopi untuk semakin kreatif.  

“Biasanya tunas-tunas kopi ini daun mudanya dijadikan lalapan,” kata Supartina sembari menunjukan ukuran daun yang pas. 

Supartina, memetik daun kopi yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan peyek daun kopi. (foto: Betty Herlina/Bincang Perempuan)

Tangannya cekatan memilih daun-daun kopi muda dan memasukan ke wadah yang sudah berisi beberapa lembar daun kopi. Sesekali, ia menundukan badannya sambil menyiangi batang kopi. Membersihkan batang utama dari tunas-tunas baru yang akan menghambat pertumbuhan kopi. 

Berbeda dengan ukuran daun kopi yang biasa digunakan untuk membuat minuman seperti di wilayah Pagar Alam, ataupun Ethiopia dan Vietnam, yakni daun kopi yang paling muda. Daun kopi yang dipilih untuk bahan baku peyek seukuran 3-4 jari tangan orang dewasa. 

Selain daunnya diambil untuk bahan peyek, tunas kopi yang dibuang ini biasanya dimanfaatkan sebagai mulsa dan diolah menjadi pupuk organik, untuk memperkaya kesuburan tanah secara alami. 

“Kalau terlalu daun kopinya terlalu muda, rasanya tidak enak, pahit. Tepungnya juga tidak lengket,” imbuhnya. 

Baca juga: Lemea, Alternatif Pendapatan Perempuan Selama Pandemi

Jajanan khas Desa Batu Ampar 

Supartina memperlihatkan peyek daun kopi yang sudah dikemas dan siap dipasarkan. (Foto: Betty Herlina/Bincang Perempuan)

Desa Batu Ampar secara administrasi masuk wilayah Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Desa ini berada persis di kaki Bukit Hitam yang masuk area Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba, berada pada ketinggian mulai dari 700 MDP.  

Penduduk setempat menyebutnya Bukit Hitam, lantaran awan hitam tak pernah surut menggelayut persis di atas bukit, menjadi penanda rintik hujan akan segera datang. 

Desa Batu Ampar terdiri dari 258 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 693 jiwa. Berkebun kopi sudah menjadi tradisi turun temurun di desa tersebut. Hampir 90% masyarakat menggantungkan hidup dari kopi dengan luas lahan lebih dari 791 hektar. 

Inisiatif memulai produksi peyek daun kopi sudah dilakukan Supartina dan kelompok PAL sejak tahun 2019 lalu. Pandemi Covid-19 dan hasil panen kopi yang sudah beberapa tahun terakhir terus berkurang membuat perempuan-perempuan setempat harus memutar otak bagaimana membuat asap dapur tetap ngebul

“Mulanya kita coba-coba, ternyata banyak juga yang berminat makanya kita lanjutkan untuk produksi,” kata Supartina. 

Kelompok Perempuan Alam Lestari (PAL) beranggotakan 27 orang perempuan petani kopi. Setiap minggu mereka  meluangkan waktu 2 hingga 3 hari untuk memproduksi peyek daun kopi, biasanya menjelang akhir pekan. 

Untuk sekali produksi, kelompok ibu-ibu ini bisa menghabiskan waktu 3 hingga 4 jam, dan bisa menghasilkan 4-5 kg peyek daun kopi.  

Harga peyek daun kopi, per kilogramnya dibandrol Rp70 ribu. Biasanya, peyek daun kopi dikemas dengan ukuran 1 ons dengan harga Rp7 ribu per onsnya. Harga tersebut jauh lebih mahal dari harga kopi di pasaran yang biasanya hanya Rp20 ribu per kg. 

Dengan harga jual tersebut, nominal keuntungan yang diperoleh bisa dua kali lipat. Jika modal untuk satu kali produksi Rp500 ribu, maka keuntungannya yang diperoleh juga Rp 500 ribu.

“Untuk pemasarannya biasanya dikemas dengan ukuran 1 ons dan langsung didistribusikan ke Rumah Produksi Desa Batu Ampar,” terangnya.

Baca juga: Bukan Hal Biasa, Mereka Telah Membangun Kedaulatan Pangan

Ikon kuliner 

Saat ini, lanjut Supartina, peyek daun kopi bisa dibeli secara online di Toko Batu Ampar. Peyek daun kopi bahkan menjadi ikon kuliner desa Batu Ampar, karena dikenal sebagai jajanan yang ramah tanpa bahan pengawet. Bahkan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bengkulu di tahun 2020 sempat menunjuk Desa Batu Ampar sebagai perwakilan Provinsi Bengkulu dalam Lomba Desa Pangan Aman Nasional pada akhir tahun 2020.  

Hasilnya, lewat peyek daun kopi, Desa Batu Ampar berhasil masuk dalam 7 besar dan  juara tiga Lomba Desa Pangan Aman dalam peringatan Hari Keamanan Pangan Sedunia (World Food Safety Day). 

Tulisan ini merupakan bagian dari Mother Earth Project yang diproduksi dengan dukungan dari Meedan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Inisiatif Perempuan

Artikel Lainnya

Stigma melahirkan sesar

Luka Tak Kasat Mata: Stigma Negatif Melahirkan Caesar

Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini

Sempat Menjadi Sorotan, Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini?

Komi Kendy, Ketua AMSI Wilayah Perempuan Pertama di Indonesia

Leave a Comment