Bincangperempuan.com– Belakangan ini, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme semakin sering muncul ke permukaan. Pada November 2024 lalu, seorang perempuan bercadar membawa pisau masuk ke sebuah gereja di Lakarsantri, Surabaya. Insiden ini mengejutkan jemaat yang baru saja menyelesaikan ibadah misa. Perempuan tersebut datang sendiri dengan mengendarai motor dan langsung memasuki gereja. Meskipun pihak gereja berusaha mengarahkan perempuan tersebut keluar, ia menolak dan memberontak hingga pisaunya terjatuh.
Sebelumnya, pada tahun 2021, kasus serupa terjadi. Perempuan berinisial ZA mencoba menyusup ke Mabes Polri sambil membawa senjata api. ZA yang mengenakan kerudung biru dan rok panjang hitam sempat melepaskan tembakan ke arah Gedung Mabes Polri sebelum akhirnya ditembak mati oleh aparat. Dalam pemeriksaan, ditemukan bahwa ZA terpapar ideologi ISIS, seperti terlihat dari unggahan media sosialnya yang baru dibuat beberapa jam sebelum aksinya.
Kedua kasus ini memperlihatkan bahwa perempuan bukan hanya rentan menjadi target ekstremisme, tetapi juga dieksploitasi sebagai pelaku aksi teror. Mengapa belakangan ini perempuan bisa menjadi pelaku aksi teror?
Manipulasi Ideologi dan Janji Spiritual
Menurut Dete Aliah, peneliti terorisme dari SeRVE Indonesia, banyak kelompok teroris memanfaatkan narasi agama untuk memanipulasi perempuan. Melalui doktrin-doktrin yang membingkai aksi jihad sebagai tugas mulia, mereka menciptakan jebakan emosional yang sulit dilepaskan. Janji-janji spiritual seperti imbalan surga atau status yang lebih tinggi dalam komunitas sering kali menjadi alat untuk merekrut perempuan.
Tidak sedikit dari mereka yang direkrut melalui jalur hubungan personal, seperti suami, keluarga, atau teman. Kepercayaan yang kuat terhadap orang terdekat membuat perempuan lebih mudah terpengaruh untuk menjalankan aksi radikal, bahkan jika itu bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka sebelumnya. Hal ini menunjukkan bagaimana manipulasi ideologi mampu menciptakan loyalitas buta yang mengubah perempuan menjadi pelaku terorisme.
Selain karena adanya brainwashed, keterlibatan perempuan dalam lingkup ekstremisme juga dipengaruhi oleh adanya motivasi untuk balas dendam, kekecewaan karena mengalami KDRT, putus cinta, atau belum menikah, dan kepercayaan akan kesetian pada suami dalam ajaran agama.
Menurut Dete Aliah, hadirnya perempuan dalam lingkaran ekstremisme bukanlah tanda meningkatnya eksistensi atau pengaruh perempuan dalam dunia radikal, melainkan hasil eksploitasi yang sistematis oleh kelompok-kelompok ekstremis. Kelompok ini memanfaatkan perempuan sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka, baik sebagai pelaku aksi teror, pengumpul dana, atau bahkan perekrut anggota baru.
Baca juga: Tanggap Gender dalam Bencana, Konflik Sosial, dan Radikalisasi
Budaya Patriarki sebagai Akar Masalah
Keterlibatan perempuan dalam terorisme juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya patriarki. Perempuan biasanya diajarkan untuk patuh pada otoritas laki-laki, baik itu ayah, suami, maupun saudara laki-laki. Ketika laki-laki dalam lingkungan mereka terpapar ekstremisme, perempuan mau tak mau terseret ke dalam lingkaran tersebut. Ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk patuh tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara dan melawan.
Menurut laporan BBC Indonesia, perempuan yang hidup dalam budaya patriarki cenderung tidak memiliki ruang untuk mempertanyakan keputusan atau ideologi yang dipaksakan pada mereka. Ketergantungan secara ekonomi, emosi, atau bahkan rasa cinta sering kali dijadikan alat untuk menekan mereka agar mengikuti doktrin radikal. Kondisi ini membuat perempuan rentan menjadi sasaran perekrutan kelompok ekstremis.
Radikalisme dan Ideologi Terorisme
Terorisme tidak dapat dipisahkan dari akar ideologinya, yaitu radikalisme. Ideologi ini sering kali berakar dari tafsir agama yang sempit dan cenderung diskriminatif. Dalam tafsir ini, perempuan ditempatkan sebagai alat pendukung, baik untuk melahirkan generasi baru yang menganut ideologi serupa maupun untuk menjadi “martir” yang mengorbankan dirinya demi tujuan kelompok.
Pandangan ini diperparah oleh dominasi laki-laki dalam penafsiran agama, yang menutup ruang perempuan untuk menyuarakan perspektif mereka. Akibatnya, perempuan menjadi korban ganda: mereka tidak hanya dimanipulasi untuk menjadi pelaku teror, tetapi juga kehilangan hak untuk merdeka dalam menentukan jalan hidup mereka.
Baca juga: Islamofobia dan Larangan Berjilbab
Perempuan Pelaku sekaligus Korban
Meskipun perempuan terlihat sebagai pelaku dalam beberapa kasus terorisme, hal ini tidak lantas menjadikan mereka sepenuhnya terbebas dari status sebagai korban. Perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme kerap menjadi korban manipulasi ideologi yang mengatasnamakan agama, relasi patriarkal yang menempatkan mereka sebagai subordinat, serta sistem sosial yang tidak memberikan mereka pilihan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Selain itu, perempuan yang menjadi istri dari pelaku teror juga mengalami dampak yang tidak kalah berat. Kehidupan mereka sering kali dihantui oleh ketidakpastian, mulai dari kehilangan nafkah, harus menghidupi anak-anak sendirian, hingga menghadapi stigma sosial yang tajam. Mereka kerap dianggap sebagai bagian dari jaringan terorisme, meskipun pada kenyataannya banyak dari mereka tidak tahu-menahu atau bahkan dipaksa untuk mendukung aktivitas suami mereka. Dalam situasi seperti ini, perempuan tidak hanya menjadi korban ekstremisme, tetapi juga menjadi korban dari masyarakat yang tidak memberi ruang untuk memahami posisi mereka secara lebih adil.
Lebih parah lagi, ketika perempuan akhirnya menjadi pelaku, mereka tetap menjadi sasaran penghakiman yang lebih keras dibandingkan laki-laki. Stigma yang melekat membuat mereka sering kali tidak dianggap layak mendapatkan kesempatan kedua. Padahal, dalam banyak kasus, keterlibatan mereka hanyalah refleksi dari tekanan sosial, emosional, atau bahkan ancaman fisik yang tidak dapat mereka lawan. Hal ini menciptakan dilema besar, di mana perempuan yang seharusnya mendapatkan bantuan untuk deradikalisasi justru terisolasi lebih jauh dari masyarakat.
Langkah Pencegahan dan Pemulihan
Untuk memutus siklus keterlibatan perempuan dalam terorisme, langkah pencegahan yang komprehensif perlu dilakukan. Salah satu caranya adalah melalui pemberdayaan perempuan, baik secara pendidikan maupun ekonomi. Dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk mandiri, mereka dapat terhindar dari ketergantungan yang sering kali dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis.
Selain itu, program deradikalisasi juga harus mempertimbangkan kebutuhan perempuan secara khusus. Pelibatan mantan pelaku perempuan sebagai mentor dapat membantu mereka yang masih terjebak untuk keluar dari lingkaran radikalisme. Di sisi lain, masyarakat juga perlu dididik untuk memahami kompleksitas peran perempuan dalam ekstremisme, sehingga penghakiman sosial dapat diminimalkan.
Pada akhirnya, keterlibatan perempuan dalam terorisme bukan hanya soal pilihan pribadi, tapi juga akibat dari manipulasi ideologi dan sistem sosial yang patriarkal. Mereka bukan hanya pelaku, tapi juga korban yang dieksploitasi. Untuk itu, pencegahan harus melibatkan banyak aspek, seperti perubahan budaya, pendidikan yang lebih inklusif, dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, pendidikan agama yang mengedepankan moderasi beragama sangat penting untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremis. Dengan pendekatan ini, perempuan bisa bebas dari jeratan ekstremisme dan berperan sebagai agen perubahan yang mendukung perdamaian di masyarakat.
Referensi:
- Aliah, D. (2021, 22 Oktober). Posisi perempuan dalam lingkaran ekstremisme. SeRVE Indonesia. https://ppim.uinjkt.ac.id/2021/10/22/posisi-perempuan-dalam-lingkaran-ekstremisme/
- BBC Indonesia. (2018, 7 Mei). Perempuan dan terorisme: Mengapa mereka bisa terjerumus? BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44106870
- BBC Indonesia. (2021, 2 April). Mabes Polri: Terduga pelaku penembakan beridentitas perempuan. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56579674.amp
- Jawapos. (2021, 17 November). Pengakuan mengejutkan perempuan berkerudung yang bawa senjata tajam ke dalam gereja. Jawapos. https://www.jawapos.com/surabaya-raya/015340730/pengakuan-mengejutkan-perempuan-berkerudung-yang-bawa-senjata-tajam-ke-dalam-gereja?page=2