Home » News » Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT?

Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT?

Ais Fahira

News

Mengapa Thailand Lebih Progresif daripada AS soal LGBT

Bincangperempuan.com- Dunia baru saja menyaksikan dua peristiwa yang berlawanan dalam memandang keberagaman gender dan orientasi seksual. Di Amerika Serikat, Donald Trump memberikan pernyataan kontroversial yang menegaskan, “Hanya ada dua gender.” Di sisi lain, Thailand baru saja mengimplementasikan legalisasi pernikahan sesama jenis.

Mengapa ini terjadi? Dan mengapa Thailand lebih ramah dan progresif dalam mendukung komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender)?

Pernyataan Trump: “Hanya Ada Dua Gender”

Pidato Trump baru-baru ini, menyatakan bahwa kebijakan resmi pemerintah AS hanya mengakui hanya dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan. Pernyataan ini bertentangan dengan pendekatan inklusif yang diterapkan pemerintahan Joe Biden, yang sebelumnya memprioritaskan keberagaman di seluruh sektor pemerintahan. Langkah Biden mencakup peraturan yang melindungi komunitas minoritas, termasuk mereka yang mengalami diskriminasi berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual.

Namun, Trump tampaknya berusaha menarik dukungan dari kelompok konservatif yang menolak konsep gender non-biner. Pernyataan ini tidak hanya memperkuat stigma, tetapi juga memicu kekhawatiran bahwa Amerika Serikat, yang selama ini dianggap simbol kebebasan, justru mundur dalam isu hak asasi manusia.

Baca juga: Kisah Keadilan Gender dari Wartawan Perempuan di Wilayah Asia-Pasifik

Thailand: Legalisasi Pernikahan Sesama Jenis

Di sisi lain, Thailand justru melangkah maju dengan menjadi negara Asia pertama yang mengesahkan pernikahan sesama jenis pada awal tahun ini. Keputusan ini menandai era baru dalam sejarah Asia, mengingat kawasan ini sering dianggap konservatif.

Kemajuan ini tidak muncul tanpa alasan. Thailand memiliki tradisi panjang dalam menghormati keberagaman gender, termasuk pengakuan terhadap kathoey (transgender) yang sudah lama menjadi bagian dari budaya. Dukungan terhadap komunitas LGBT di Thailand juga tidak lepas dari ajaran agama Buddha, yang tidak secara tegas melarang seksualitas yang beragam.

Merangkum dari BBC, Naruephon Duangwiset, akademisi dari Pusat Antropologi Sirindhorn, menjelaskan bahwa keyakinan budaya dan agama di Thailand menciptakan ruang yang lebih inklusif. Kepercayaan lokal tentang keberagaman gender dan minimnya pengaruh kolonialisme Barat juga memainkan peran penting.

Pengaruh Agama dan Kolonialisme

Naruephon menjelaskan bahwa beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Myanmar, Malaysia, dan Singapura, mengalami penurunan tingkat penerimaan terhadap komunitas LGBT akibat dampak kolonialisme. Inggris, misalnya, memperkenalkan hukum yang melarang perilaku sesama jenis dengan dasar ajaran agama Kristen.

Sebelum era kolonialisme, banyak wilayah di Asia Tenggara, termasuk Myanmar, memiliki tradisi yang lebih inklusif terhadap keberagaman gender. Transgender bahkan memegang peran penting dalam ritual keagamaan, bertindak sebagai medium roh. Namun, kolonialisme membawa hukum dan norma baru yang bersifat biner tentang gender, menghapus tradisi tersebut dan menggantinya dengan pandangan yang lebih restriktif—warisan ini terus membekas hingga kini.

Thailand, di sisi lain, memiliki perjalanan sejarah yang berbeda. Karena berhasil menjaga otonominya dari kolonialisme, tradisi lokal mereka tetap bertahan. Hal ini menjadikan Thailand terlihat lebih ramah terhadap komunitas LGBT dibandingkan negara-negara tetangganya. Sebuah studi dalam Jurnal Indonesia Social Science menunjukkan bahwa penerimaan terhadap komunitas LGBT di Thailand dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Buddha.

Pandangan ini juga dikuatkan oleh para pemimpin agama. Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post, seorang biksu bernama Waradhammo menekankan bahwa memperlakukan komunitas LGBT dengan buruk bertentangan dengan ajaran Buddha. “Orang-orang LGBT juga manusia, mereka juga penganut Buddha, dan sebagai seorang biksu, saya mendukung dan menerima semua penganut Buddha, serta berupaya mengurangi penderitaan mereka,” ujar biksu berusia 52 tahun tersebut.

Meski begitu, Waradhammo mengakui bahwa ada kesalahpahaman yang beredar di masyarakat terkait ajaran Buddha Theravada, yang banyak dipraktikkan di Thailand. Beberapa pihak keliru menganggap bahwa kaum LGBT+ sedang “membayar karma” atas perbuatan buruk mereka di kehidupan sebelumnya. “Sang Buddha tidak pernah mengatakan apa pun yang menentang kaum LGBT. Jadi, penafsiran kitab suci tersebut sangat keliru dan malah mengarah pada bias serta penolakan terhadap komunitas LGBT,” jelasnya.

Lebih lanjut, Waradhammo mengungkapkan bahwa meskipun isu LGBT dan gender sering dihindari dalam diskusi para biksu, topik ini seharusnya tidak diabaikan. “Kita seharusnya berbicara tentang isu-isu yang memengaruhi masyarakat, dan ajaran agama harus mencerminkan perubahan zaman,” tambahnya.

Baca juga: Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis 

Peran Budaya dalam Menerima Keberagaman

Thailand juga memiliki tradisi seni pertunjukan yang memberikan ruang ekspresi bagi komunitas LGBT. Pada masa pemerintahan Raja Rama VI dan VII, misalnya, area teater menjadi tempat yang aman bagi individu transgender untuk mengekspresikan identitas mereka.

Namun, pengaruh Barat sempat membatasi kebebasan ini pada tahun 1950-an. Pemerintah Thailand mulai mengadopsi norma gender Barat, termasuk aturan berpakaian yang membedakan laki-laki dan perempuan. Dalam pendidikan, teori psikologi Barat yang menyebut homoseksualitas sebagai kelainan mental juga memperkuat stigma terhadap komunitas LGBT.

Baru pada tahun 2015, Undang-Undang Kesetaraan Gender diberlakukan untuk menghapus bias yang ada. Meski langkah ini patut diapresiasi, Thailand masih menghadapi tantangan untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi komunitas LGBT, terutama dalam keluarga dan masyarakat.

Kontras: Kemajuan dan Kemunduran

Perbandingan antara Thailand dan Amerika Serikat menunjukkan bagaimana politik dan budaya memengaruhi penerimaan terhadap keberagaman gender. Thailand, meski berakar pada tradisi Asia yang konservatif, menunjukkan bahwa budaya lokal yang inklusif dapat menciptakan kemajuan dalam hak asasi manusia. Sebaliknya, Amerika Serikat, yang dikenal dengan gagasan kebebasan, justru menunjukkan kemunduran dengan pernyataan Trump yang memperkuat pandangan biner.

Thailand tidak sempurna, tetapi langkahnya mengesahkan pernikahan sesama jenis adalah kemenangan besar bagi komunitas LGBT. Sebaliknya, langkah Trump justru menghidupkan kembali wacana konservatif yang membatasi kebebasan individu.

Dunia saat ini berada di persimpangan jalan: apakah kita akan bergerak maju menuju inklusivitas atau kembali ke pandangan lama yang sempit? Berita di Thailand dan Amerika Serikat mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keberagaman gender masih panjang dan memerlukan kerja sama banyak pihak.

Thailand telah membuktikan bahwa inklusivitas bisa terwujud tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya lokal. Di sisi lain, Amerika Serikat, yang dipengaruhi oleh politik konservatif, perlu belajar bahwa kebebasan sejati hanya bisa tercapai jika kita saling menghargai keberagaman.

Melalui dua berita tersebut, mari renungkan apakah kita sudah siap untuk membuka pikiran dan hati terhadap perbedaan? Karena keberagaman gender bukan hanya soal hak hukum, tapi juga soal bagaimana kita saling menerima dan memahami. Di sinilah tantangan besar kita semua yaitu membangun dunia yang benar-benar inklusif, di mana setiap orang bisa menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihukum atau dihakimi.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Inovasi Sabun Batang Ramah Lingkungan dengan Eco Enzyme

Bertanam Pinang, Upaya Perempuan Adat Serawai Menyelamatkan Desa (1)

Bertanam Pinang, Cara Perempuan Serawai Menyelamatkan Desa

MENEPIS GEMPURAN PERUBAHAN IKLIM ALA PEKEBUN KOPI

Menepis Gempuran Perubahan Iklim Ala Pekebun Kopi 

Leave a Comment