Home » News » Menunggu atau Mengejar? Mitos Perempuan dalam Hubungan

Menunggu atau Mengejar? Mitos Perempuan dalam Hubungan

Ais Fahira

News

Menunggu atau Mengejar Mitos Perempuan dalam Hubungan

Bincangperempuan.com- B’Pers, pernahkah kamu merasa takut untuk mengirim pesan lebih dulu karena takut dicap agresif atau terlalu dominan? “Kita nggak seharusnya ngejar,” “Ih kok kamu deketin duluan?”—Kalimat-kalimat seperti ini masih sering menghantui perempuan. Seolah-olah, dalam hubungan heteroseksual, perempuan harus selalu menunggu dan tidak boleh mengambil langkah pertama. Bahkan, hal sesederhana mengikuti akun media sosial laki-laki lebih dulu pun masih dianggap tabu. Tapi, benarkah kodrat perempuan adalah menunggu, bukan mengejar?

Stigma Perempuan yang Dominan dalam Hubungan

Norma sosial yang berkembang dalam banyak budaya masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang pasif dalam hubungan romantis. Sejak kecil, perempuan diajarkan bahwa mereka harus “dipilih” dan bukan “memilih.” Sementara itu, laki-laki justru didorong untuk berani mendekati dan mengambil inisiatif dalam hubungan. Sikap ini tidak hanya tercermin dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga dalam film, lagu, hingga buku yang sering menampilkan perempuan sebagai sosok yang menunggu cinta datang padanya.

Narasi ini semakin diperkuat oleh pop culture. Dalam dongeng klasik seperti Cinderella dan Sleeping Beauty, perempuan digambarkan sebagai sosok yang hanya bisa menunggu datangnya sang pangeran untuk menyelamatkan mereka. Tokoh utama perempuan dalam cerita-cerita ini tidak diberikan kuasa atas nasib mereka sendiri. Mereka hanya bisa pasrah dan berharap bahwa ada laki-laki yang datang membawa kehidupan lebih baik. Hal ini seolah mendisiplinkan perempuan sejak dini untuk bersikap pasif dalam hubungan.

Tidak hanya dalam dongeng, dalam budaya populer yang lebih modern pun, representasi perempuan yang pasif masih terus berlanjut. Film seperti Yuni (2021) menggambarkan bagaimana perempuan tidak diberi ruang untuk menolak pernikahan yang tidak mereka inginkan. Yuni, tokoh utama, dihadapkan pada realitas sosial yang menekan pilihan-pilihannya, di mana menolak lamaran dianggap sebagai hal yang tidak wajar dan melawan norma. Representasi ini menunjukkan bahwa perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus menerima keadaan, bukan yang bisa menentukan arah hidup dan hubungan mereka sendiri.

Konsep ini seolah-olah mengakar kuat dalam budaya patriarki. Perempuan yang menunjukkan ketertarikan lebih dulu kerap dicap agresif atau bahkan ‘murahan.’ Padahal, dalam realitasnya, banyak perempuan yang memiliki keinginan untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung. Sayangnya, stigma sosial membuat mereka ragu dan takut akan penilaian orang lain.

Baca juga: #KaburAjaDulu: Tagar yang Ramai di Media Sosial, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Pembenaran Biologis: Fakta atau Mitos?

Banyak orang beranggapan bahwa perempuan seharusnya menunggu karena itulah “kodratnya.” Analoginya sering kali dibandingkan dengan proses reproduksi biologis, di mana sperma aktif berenang menuju sel telur yang diam menunggu untuk dibuahi. Tapi apakah benar seperti itu?

Sebuah penelitian dari Stockholm University justru menunjukkan hal yang berbeda. Penelitian yang dipimpin oleh John Fitzpatrick ini menemukan bahwa sel telur ternyata tidak pasif begitu saja. Mereka mengeluarkan zat kimia bernama chemo-attractants yang menarik sperma tertentu ke arahnya. Bahkan, sel telur dapat memilih sperma mana yang lebih diinginkan untuk membuahi dirinya. Artinya, secara biologis pun, perempuan tidak sepenuhnya pasif dalam memilih pasangan.

Lebih jauh lagi, riset lain menunjukkan bahwa laki-laki sebenarnya lebih tertarik pada perempuan yang asertif daripada yang sepenuhnya pasif. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Brandeis University, ditemukan bahwa laki-laki cenderung lebih menyukai perempuan yang berani mengungkapkan ketertarikan mereka. Sikap asertif ini dianggap sebagai tanda kepercayaan diri, kejujuran emosional, dan daya tarik yang lebih besar dibandingkan dengan sifat pasif yang sering dianggap sebagai bentuk kepatuhan gender.

Mengapa Stigma Ini Masih Bertahan?

Meski sudah ada penelitian yang membantahnya, mengapa masih banyak yang percaya bahwa perempuan harus pasif dalam hubungan?

  1. Norma Sosial yang Mengakar
    Sejak kecil, kita dibesarkan dengan narasi bahwa laki-laki adalah pihak yang harus mengejar dan perempuan hanya menunggu. Cerita dongeng seperti Cinderella dan Snow White memperkuat anggapan ini, di mana perempuan digambarkan sebagai sosok yang menunggu diselamatkan oleh pangeran.
  2. Standar Ganda dalam Percintaan
    Saat seorang laki-laki agresif dalam mendekati perempuan, ia dianggap wajar. Tapi, ketika perempuan melakukan hal yang sama, ia bisa mendapat label negatif. Standar ganda ini terus dipertahankan oleh masyarakat, baik secara sadar maupun tidak.
  3. Ketakutan akan Penolakan
    Karena stigma yang sudah melekat, perempuan yang mengambil inisiatif sering menghadapi penolakan atau bahkan diremehkan. Hal ini membuat banyak perempuan memilih untuk menahan diri dan mengikuti norma yang ada.
  4. Pengaruh Media dan Pop Culture
    Film, musik, dan literatur sering menggambarkan perempuan yang “terlalu berani” sebagai sosok yang sulit mendapatkan pasangan. Sebaliknya, perempuan yang lembut, pemalu, dan pasif justru lebih sering dianggap sebagai ideal.

Baca juga: Celah Hukum Masih Memungkinkan Perkawinan Anak

Saatnya Mendobrak Stereotip

Jika seorang perempuan tertarik pada seseorang dan ingin mendekatinya lebih dulu, itu adalah haknya. Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa perempuan harus selalu menunggu.

Mengambil langkah pertama dalam hubungan bukanlah tanda kelemahan atau “murahan,” melainkan bentuk keberanian dan kejujuran terhadap perasaan sendiri. Dunia sudah mulai berubah, dan konsep hubungan yang sehat seharusnya tidak lagi didasarkan pada norma usang yang membatasi ekspresi perempuan. Mengambil langkah pertama dalam hubungan bukanlah tanda kelemahan atau “murahan,” melainkan bentuk keberanian dan kejujuran terhadap perasaan sendiri. Dunia sudah mulai berubah, dan konsep hubungan yang sehat seharusnya tidak lagi didasarkan pada norma usang yang membatasi ekspresi perempuan.

Jadi, apakah perempuan harus lebih pasif dalam hubungan? Jawabannya jelas “tidak”. Perempuan berhak untuk memilih, mengejar, dan mengambil keputusan atas kehidupannya sendiri. Karena dalam cinta, yang paling penting bukan siapa yang mengejar atau siapa yang dikejar, melainkan bagaimana keduanya bisa membangun hubungan yang sehat dan setara.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Monika Maritjie Kailey Perempuan Adat Penjaga AruHan Kang, Perempuan Asia Pertama Peraih Nobel Sastra

Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru

Kawal KUHP baru

Kawal Implementasi KUHP Baru, Apa Dampaknya Bagi Perempuan?

Interseksionalitas yang Berpengaruh Terhadap Perempuan

Leave a Comment