Bincangperempuan.com- Gerakan #MeToo atau dikenal dengan Me Too movement merupakan gerakan global yang digagas Tarana Burke, pada tahun 2006. Tarana Burke merupakan aktivis perempuan kulit hitam kelahiran Bronx, New York. Tarana menggagas #MeToo sebagai bentuk dukungan penegakan keadilan bagi perempuan kulit hitam yang menjadi korban pelecehan seksual. Tarana sendiri saat masih berusia 7 tahun sempat menjadi korban pelecehan seksual.
Gerakan #MeToo kembali populer di Amerika Serikat pasca kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein. Media The New York Times dan The New Yorker memuat laporan pengakuan pelecehan yang dialami sejumlah perempuan oleh produser film Miramax tersebut. Gerakan #MeToo, digunakan masyarakat Amerika Serikat untuk menggambarkan dan menghentikan aksi pemerkosaan, bias gender dan pelecehan seksual yang terus berkembang.
#MeToo memberikan keadilan bagi perempuan dari berbagai ras untuk berani menyuarakan penindasan yang dialaminya. Sehingga para penyitas dapat memperoleh dukungan dan ruang yang aman untuk melanjutkan kehidupannya. Gerakan ini kemudian semakin menyebar luas melalui postingan di media sosial. Postingan yang disebarkan oleh pengikut dari gerakan ini berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual di ruang publik seperti sekolah, tempat kerja, transportasi umum, dan lainnya.
Baca juga: Girlhood, Upaya Mendapatkan Hak Perempuan Seutuhnya
Upaya #MeToo mengatasi kekerasan seksual di lingkungan kerja
Umumnya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di lingkungan kerja memilih untuk bungkam karena ancaman dan relasi kuasa yang harus dihadapinya. Kondisi ini didukung dengan sebagian besar institusi dan struktur kekuasaan di berbagai negara mengabaikan laporan kasus pelecehan seksual untuk menjaga nama baik mereka. Bahkan tidak jarang ada yang memfasilitasi untuk berdamai.
Hasil survey yang dikeluarkan oleh The Shift Work Shop selaku perusahaan konsultan SDM pada tahun 2022 menemukan bahwa 53% dari 1.700 responden pernah mengalami pelecehan seksual dalam 12 bulan terakhir. Kondisi ini didorong karena minimnya edukasi tentang pelecehan seksual yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya. Selain itu, beberapa pihak menganggap bahwa pelecehan seksual bukanlah masalah institusi melainkan masalah individu yang dapat hilang dengan sendirinya.
Meskipun demikian, kehadiran gerakan #MeToo telah memberikan perubahan dalam kebijakan di lingkungan kerja yang mulai mengedepankan perlindungan bagi perempuan dimasa kini. Gerakan ini telah mengedukasi banyak generasi muda yang mulai produktif untuk menyadari pentingnya mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kerja.
Fatima Goss Graves, Kepala Pusat Hukum Perempuan Nasional di Amerika Serikat bersama sekelompok pakar pelecehan seksual telah menyusun rekomendasi kebijakan untuk Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja dalam mengatasi kekerasan seksual pada tahun 2016. Sayangnya, rekomendasi ini dihentikan karena isu politik yang mencuat dikala itu. Kepopuleran dari gerakan #MeToo telah menciptakan harapan dan komitmen baru untuk mengatasi kekerasan seksual di seluruh dunia.
Salah satu keberhasilan dari gerakan #MeToo dalam mengatasi kekerasan seksual di lingkungan kerja adalah perubahan kebijakan dan hukum yang melindungi pekerja dari kekerasan seksual di Amerika Serikat dan Inggris. Tak hanya itu, setidaknya 22 negara bagian di Amerika Serikat telah mengeluarkan undang-undang untuk menciptakan ruang yang aman dari pelecehan seksual. Salah satu kebijakan yang menjanjikan adalah larangan untuk melakukan perjanjian rahasia untuk memberikan uang tutup mulut kepada korban dengan tujuan untuk melindungi pelaku dari jeratan hukum.
Baca juga: Dari Penggerak Muda ke Pengurus KUPS: Kisah Melanjutkan Perjuangan
Kolaborasi penyitas menangkap pelaku
Gerakan #MeToo menjadi angin segar bagi para penyitas kekerasan seksual untuk hidup kembali. Solidaritas para penyitas kekerasan seksual dalam menangkap pelaku dinilai sangat berarti dalam mengurangi kasus yang sama. Solidaritas yang dimiliki telah berhasil memecahkan keheningan terhadap kekerasan seksual selama ini.
Para korban kekerasan seksual yang dibungkam oleh orang-orang yang berkuasa telah mendapatkan kebebasan untuk melaporkan para pelaku. Setidaknya, kredibilitas dari gerakan #MeToo telah berhasil mengumpulkan jutaan laporan individu terkait pelecehan seksual yang selama ini disembunyikan.
Mayoritas masyarakat yang merespon tentang kekerasan seksual telah diberikan wewenang untuk bergabung dalam gerakan sosial ini. Biasanya, pengikut dari gerakan ini akan memfasilitasi para penyitas kekerasan seksual agar mau membagikan kondisi dan ancaman yang diberikan oleh pelaku kepada mereka.
Meskipun demikian, gerakan #MeToo di beberapa tempat belum menghasilkan banyak perubahan terutama dibidang hukum. Masih banyak lembaga yang gagal dalam memberikan perlindungan bagi para penyitas kekerasan seksual sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Dalam beberapa kasus, gerakan #MeToo memang berhasil menangkap para pelaku tetapi tidak dapat mengatasi beberapa kampanye yang menentang gerakan sehingga menyebabkan kerugian korban karena suasana diperkeruh. Meskipun demikian, perempuan yang tergabung dalam gerakan #MeToo terus memperjuangkan hak korban pelecehan seksual di pengadilan untuk mendapatkan keadilan dan memberikan hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual.
Hingga saat ini, gerakan #MeToo terus menuntut transparansi pemerintah dalam menciptakan kebijakan dan hukum yang kuat untuk mengatasi kekerasan seksual. Kolaborasi yang dilakukan oleh mereka mengedepankan perlindungan terhadap korban dalam berbicara dan mencegah para pelaku mendapat dukungan tersembunyi. Kolaborasi dalam menangkap pelaku pelecehan seksual telah memberikan keamanan bagi para penyitas kekerasan seksual.(**)
Sumber:
- Jaclyn Diaz, 2022. “Where the #MeToo movement stands, 5 years after Weinstein allegations came to light”, dalam npr
- Jodi Kantor and Megan Twohey, 2022. “How to Measure the Impact of #MeToo?”, dalam The New York Times
- Leah Asmelash, 2022. “In 5 years of #MeToo, here’s what’s changed – and what hasn’t”, dalam CNN
- Leigh Gilmore, 2022. “Five years on, #MeToo shows that survivors are more powerful together”, dalam wbur