Home » News » Bayang-bayang Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan dan Anak di Tanah Syariat

Bayang-bayang Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan dan Anak di Tanah Syariat

Nurul Hasanah

News

Bincangperempuan.com- Perempuan dan anak di tanah syariat yang berada di ujung barat Indonesia masih dihantui oleh bayang-bayang kekerasan seksual. Berdasarkan Data BPS (2021), Aceh menduduki Provinsi keempat tertinggi di Indonesia dalam hal kasus pemerkosaan dengan jumlah laporan sebanyak 70 kasus.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh juga mencatat angka yang mengkhawatirkan. Selama Januari-Februari pada tahun 2023, sudah tercatat sebanyak 207 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah pemerkosaan sebanyak 8 kasus dan seksual 6 kasus. Begitu pula kekerasan terhadap anak, jumlah yang tercatat selama dua bulan pada tahun ini sebanyak 201 kasus dengan jumlah pelecehan seksual 44 kasus, sodomi 3 kasus, eksploitasi seksual 1 kasus, dan pemerkosaan 35 kasus.

Berkaca dari data yang didapatkan DP3A ini, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kasus kekerasan seksual di tanah syariat ini. Dalam penanganan oleh DP3A selama ini, banyak pelaku kasus pemerkosaan justru merupakan orang terdekat di dalam keluarga seperti ada ayah tiri dengan anak tiri bahkan ayah kandung dengan anak kandung, abang tiri dengan adek tiri, paman dengan keponakan atau kakek dengan cucu atau di lingkungan sekolah seperti guru dengan murid, dan ustadz dengan santri.

Plt Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana, menyebutkan hal itu disebabkan karena adanya unsur relasi kekuasaan yang sangat kental sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa karena terlalu takut.

Lebih lanjut, ia juga menyampaikan pendapatnya mengenai alasan jumlah kasus kekerasan seksualnya justru masih tinggi di tanah syariat ini. Menurut dia, pemicu tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak itu tidak tunggal atau banyak faktor lainnya yang mendorong tindakan tersebut. Salah satunya adalah soal ketidakmampuan pelaku mengendalikan dorongan nafsu atau libidonya.

Faktor lainnya adalah perkembangan psikososial, tingkat pendidikan dan budaya dalam memandang seks serta pemahamannya di masyarakat, pengaruh pornografi, pengaruh pergaulan, penyalahgunaan narkoba, konsumsi minuman keras yang berlebihan sehingga akal sehatnya hilang, pola asuh dalam keluarga terkait pendidikan seks, religiusitas (degradasi akhlak/iman, hilangnya nilai moralitas), relasi kuasa terhadap korban, dan sebagainya. 

“Terkhusus bagi kasus pemerkosaan secara sodomi, ada istilah pemicu yang dianggap sebagai pengulangan sejarah seksual pelakunya. Dimaksudkan ‘pelaku adalah korban’, bahwa pelaku saat ini (bisa jadi) pernah menjadi korban sebelumnya,” ungkapnya. 

Sementara itu, Psikolog Klinik-Forensik, Siti Rahmah, menyatakan bahwa tingginya kasus kekerasan seksual belum menunjukkan korelasi dengan adanya penerapan syariat Islam. Data-data itu malah menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar terkait dengan kekerasan seksual sehingga pelaporan juga semakin meningkat.

“Meskipun demikian, kita sebagai masyarakat bersama-sama dengan pemerintah penting untuk mampu meningkatkan kesadaran dalam hal melindungi diri dengan memberikan edukasi terkait perlindungan diri dan apa saja yang boleh disentuh dan tidak, serta siapa saja yang boleh menyentuhnya,” ujar Siti Rahmah.

Di sisi lain, Flower Aceh yakni lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk peningkatan kapasitas perempuan dan juga sering menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menyampaikan bahwa penanganan kekerasan seksual di Aceh masih banyak diliputi permasalahan dan kendala. Salah satunya hukum yang digunakan masih berupa Qanun Jinayat.

“Padahal, di tingkat nasional terdapat kebijakan yang lebih progresif,” kata Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati.

Di Aceh, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak ditangani menggunakan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun Jinayat adalah suatu hukum pidana islam yang diberlakukan bagi setiap masyarakat Aceh baik yang beragama islam ataupun non-Islam yang disusun berdasarkan landasan nilai dan norma syariat islam.

Qanun Jinayat ini mengatur tentang Jarimah yaitu tindakan yang dilarang dalam syariat islam yang meliputi: Khamar (Minuman keras), Maiisir (judi), Khalwat (mesum), Ikhtilath (berciuman dan bermesraan), Zina (melakukan setubuh tanpa adanya ikatan pernikahan), pelecehan seksual, pemerkosaan, liwath (gay), Musahaqah (lesbian), Qadzaf (menuduh orang melakukan zina).

Kekhususan dari Qanun Jinayat ini adalah pemberian sanksi hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam dengan tujuan memberi pelajaran dan efek jera kepada pelanggar dan memberi pembelajaran kepada masyarakat lain dengan harapan masyarakat lainnya tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dalam Islam.

Namun, menurut Risma, penerapan Qanun Jinayat justru tidak memberi efek jera kepada pelaku kekerasan seksual karena dalam beberapa kasus yang diselesaikan dengan Qanun Jinayat justru dibebaskan, sementara korban dirugikan dengan trauma mendalam.

Pembebasan vonis terdakwa kekerasan seksual itu pun sempat geger pada 30 Maret 2021, Mahkamah Syar’iyah Aceh menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa MA pemerkosa anak kandung. Kemudian, pada 25 Mei 2022, Mahkamah Syar’iyah Blang Pidie juga membebaskan terdakwa pelaku pemerkosaan yang dilakukan anak laki-laki berusia 14 tahun dengan korban perempuan berusia 7 tahun. Alasannya, hakim menilai alat bukti tidak cukup sehingga terdakwa dibebaskan.

Penerapan Qanun Jinayah dalam menangani perkara kekerasan seksual saat ini memang ditolak oleh aktivis dan lembaga perempuan di Aceh. Qanun Jinayat dinilai masih memiliki banyak kelemahan terutama dari segi keadilan bagi korban dan efektifitas hukuman bagi para pelaku.

Dalam Qanun Jinayat disebutkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual paling banyak 45 kali cambuk, denda paling banyak 450 gram atau penjara paling lama 45 bulan sedangkan untuk kekerasan seksual terhadap anak hukumannya 90 kali cambuk atau 90 bulan kurungan atau denda 900 gram emas murni.

Kemudian, hukuman untuk pelaku pemerkosaan dalam Qanun Jinayat paling sedikit cambuk 125 kali, paling banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, paling lama 175 bulan.

Aturan tersebut sangat berbeda jauh dengan hukuman yang ditetapkan dalam KUHP, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak. Ancaman maksimal hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa mencapai 20 tahun atau hukuman seumur hidup dengan denda mencapai 15 miliar. Selain itu, hak restitusi, kewajiban pemulihan korban, baik secara psikologis maupun secara sosial dan beberapa hal penting lainnya sama sekali tidak diatur di dalamnya.

“Terkait restitusi dan pemulihan korban diatur sangat detail dalam undang-undang TPKS sedangkan Qanun Jinayat masih perlu diperkuat kembali, apalagi kalau Aparat Penegak Hukum (APH) tidak terlalu memahami terkait qanun tersebut maka akan merugikan korban seperti ada beberapa kasus yang dibebaskan atau hanya dicambuk saja,” imbuhnya.

Salah Kaprah Qanun Jinayat

Qanun Jinayat yang berasaskan hukum Islam dan diharapkan dapat memberikan pelajaran kepada pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatan amoralitas justru tidak sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebab, aturan dalam Qanun memiliki ruang pembelaan kepada pelaku pemerkosaan dengan menempatkan korban sebagai orang yang dikhawatirkan sebagai penuduh.

“Ada pasal berbunyi ‘Seseorang yang dituduh melakukan pemerkosaan dapat membela diri’. Padahal, pasal itu tidak perlu karena kalau orang dituduh pasti melakukan pembelaan diri,” ujar Dosen Hukum Pidana Islam sekaligus peneliti di Pusat Riset Gender (PRG) Universitas Syiah Kuala, Khairil Akbar.

Hal itu dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 yang menyebutkan, “Setiap orang yang dituduh telah melakukan pemerkosaan berhak mengajukan pembelaan diri bahwa dia tidak melakukan Pemerkosaan”. Sementara ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal alat bukti adalah sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, maka orang yang dituduh dapat membela diri dengan melakukan sumpah pembelaan sebanyak 5 (lima) kali”. Kemudian ayat (3) menyebutkan, “Sumpah yang pertama sampai keempat menyatakan bahwa dia tidak melakukan pemerkosaan dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah dusta”. Selanjutnya ayat (4) menyebutkan, “Sumpah yang kelima menyatakan bahwa dia rela menerima laknat Allah, apabila dia berdusta dengan sumpahnya”.

Dosen Hukum Pidana yang juga mengampu mata kuliah Hukum Pidana Islam itu menjelaskan adanya kekhawatiran bahwa korban pemerkosaan melakukan tuduhan dengan tujuan mencemarkan nama baik orang lain/pelaku itu tidak tepat sasaran. Dakwaan itu harusnya ditujukan kepada orang yang melakukan Qadzaf (menuduh orang lain berzina).

“Namun, dalam perkara pemerkosaan kan tidak demikian. Karena ketika ingin melaporkan, korban pasti memerlukan pertimbangan yang panjang. Tapi, ini malah dipasang penghalang berupa ancaman 80 kali cambuk jika laporannya tidak terbukti,” jelasnya.

Kemudian, diberikan lagi perlindungan oleh Qanun bahwa pelaku yang dituduh memperkosa itu dapat membela diri. “Memang ada semacam pembelaan terhadap pelaku itu sehingga dari itu saja normanya kurang berpihak pada korban pemerkosaan atau kekerasan seksual secara umum,” katanya.

Khairil juga tidak setuju terhadap anggapan bahwa hukuman dalam Qanun Jinayat lebih berat dibandingkan KUHP. Terangnya, jikalau dikonversikan cambuk dikonversi ke penjara, memang Qanun terlihat lebih berat dibandingkan KUHP.

Namun, konversi semacam itu tidak dapat diterima semua orang. Sebagian orang ada yang malah memilih dicambuk ratusan kali dibandingkan 10 bulan penjara, apalagi 100 bulan penjara.

“Apalagi, cambuk itu bisa jadi tidak keras-keras amat dan juga ada pemeriksaan oleh tim medis untuk menentukan apakah bisa dilanjutkan atau tidak hukumannya,” katanya.

Dirinya berpendapat hukuman cambuk di Aceh juga dilakukan dengan sangat manusiawi sehingga tidak memberikan efek jera. Ini juga sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa ketika nonmuslim diberikan pilihan antara KUHP dan Qanun mereka akan memilih Qanun karena hukumannya cambuk. Penelitian itu menunjukkan cambuk dirasa lebih ringan walaupun dari sisi lain dianggap hukuman itu melanggar HAM karena ada kekerasan.

“Tapi, intinya bagi pelaku kejahatan, cambuk itu tetap lebih ringan, tidak melihat angkanya lebih besar atau tidak,” katanya.

Ia juga menilai ada yang keliru dari paradigma penyusunan hukuman cambuk. Standar moral KUHP yang menetapkan hukuman pelaku pemerkosaan penjara 12 tahun atau dalam kasus anak sampai 15 tahun, itu dihitung dari 0 karena hubungan seksual suka sama suka (di luar perkawinan) menurut KUHP tidak dipidana kecuali diadukan (delik aduan). Jadi, pidana pemerkosaan sebenarnya tinggi menurut KUHP.

Sedangkan standar moral dalam Qanun Jinayat tidak dari 0. Menurut Qanun, hubungan seksual suka sama suka (di luar perkawinan) sudah dianggap jarimah dengan uqubat 100 kali cambuk. Harusnya, uqubat pemerkosaan dimulai/dihitung dari 100 kali cambuk itu. Karena itu, sebenarnya Qanun tidak terlalu berat menghukum pemerkosa. Jika dijatuhi ‘uqubat maksimum, yakni dipidana 175 kali cambuk, sebenarnya hukuman bagi pemerkosaannya sendiri hanya cuma 75 kali cambuk.

“Jadi, siapa pedih 12 tahun penjara dengan 175 kali cambuk atau 175 bulan berdasarkan paradigma tadi? Cuma kita sering kali melihat angka akhir hukuman dari dua peraturan ini. Kita tidak melihat bagaimana paradigma dibalik pembentukan dari kedua aturan tersebut,” katanya.

Karena itu, Khairil menyimpulkan pasal tentang pemerkosaan ini tidak punya dasar yang kuat untuk dipertahankan dalam Qanun Jinayat, apalagi dengan diterbitkannya UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 dan KUHP Nomor 1 Tahun 2023.

Kesimpulannya itu karena Qanun Jinayat tidak punya paradigma tentang kekerasan seksual. Menurut dia, Qanun Jinayat itu menempatkan segala perbuatan seksual itu mengacu pada perzinaan. Segala bentuk pelecahan seksual berangkat dan hampir disamakan dengan zina sebagai perbuatan yang dianggap keji (amoral).

“Seolah-olah ini perkembangan dari zina, padahal dalam hukum pidana Islam zina itu dikategorikan sebagai hudud. Semestinya, kalau jarimah lain itu ditarik dari zina, harusnya pemerkosaan, pelecehan seksual, dan semua kekerasan seksual yang diatur di dalam Qanun harus dianggap lebih rendah daripada zina. Karena hudud apabila ada perbuatan yang ditarik darinya, maka hukumannya biasanya selalu lebih rendah dari jarimah asalnya,” jelasnya sembari menjelaskan konsep hudud sebagai batasan dan bagaimana hudul dahulu dipahami dan perkembangannya kini.

Selain lemahnya Qanun, ia juga menyayangkan belum ada pemahaman yang baik dikalangan aparat penegak hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala itu menyebutkan SDM di Mahkamah Syar’iyah mayoritas memiliki latar belakang keilmuwan hukum keluarga sedangkan perkara tersebut memerlukan keahlian dibidang hukum pidana terutama hukum pidana Islam.

“Bagi orang hukum keluarga, persoalan seksual solusinya kawinkan ataupun jika terjadi kekerasan sekalipun mereka solusinya ceraikan. Itu yang akhirnya terjadi, ketika melihat suatu kasus, alih-alih mengganggap ini kejahatan yang ada pidananya, mereka berfikir ini persoalan aib dan segala macam yang diharapkan dapat diselesaikan secara kekeluargaan,” tuturnya. Saat ini, desakan untuk menghapus pasal mengenai kekerasan seksual di dalam Qanun Jinayat terus bergulir dari para tokoh perempuan dan pegiat HAM di Aceh. Mereka meminta agar perkara tersebut menggunakan KUHP dan UU TPKS sedangkan dalam kasus anak menggunakan UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU 23 Tahun 2022.(Nurul Hasanah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

kekerasan seksual

Artikel Lainnya

Cherophobia: Menyelami Kekhawatiran terhadap Kesenangan Berlebihan

Beban ganda perempuan pekerja seni

Perempuan Pekerja Seni, dan Beban Ganda yang Kerap Diabaikan 

Menanti Keadilan dalam Kasus Pencabulan Dua Anak di Baubau

Leave a Comment