“Saya harap, suatu saat saya bisa mendirikan yayasan khusus perempuan disabilitas untuk belajar dan berkarya bersama,” Neny Yunita S.Sos (Analis Humas IAIN Curup)
Bincangperempuan.com- Neny Yunita, perempuan kelahiran 29 Juni 1994 yang akrab disapa Neny. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jabatan Analis Humas IAIN Curup. Neny penyandang disabilitas fisik.
Ia memiliki gangguan kesehatan sejak kecil. Sejak berusia satu minggu, Neny mengalami kejang-kejang hingga tidak sadarkan diri. Orang tuanya saat itu langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Hasil pemeriksaan medis mengatakan Neny mengalami gangguan syaraf, sehingga ia tidak bisa menggunakan kaki dan tangannya seperti non disabilitas lainnya.
Sejak saat itu Neny mulai menjalani pengobatan dengan spesialis syaraf. Sayangnya tak kunjung membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Orang tuanya juga membawanya menjalani pengobatan non medis dari satu tempat ke tempat lainnya. Hasilnya tetap sama.
“Saya dulu pernah minum obat Cina. Saya lupa apa nama obatnya. Tapi yang pasti obat itu membuat saya tidak bisa tidur,” terang Neny.
Depresi, Neny Sempat Ingin Bunuh Diri
Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, Neny, sudah terbiasa mendapatkan berbagai perundungandari teman-teman sekolahnya. Ia juga kerap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat, bahkan dari orang-orang terdekatnya.
“Saya dulu sempat mau bunuh diri,” kenangnya saat diwawancarai Bincang Perempuan.
Baca juga: Pentingnya Mendampingi Ibu Saat Mengalami Sindrom Baby Blues
Tak sebatas itu, tetangganya juga ikut melakukan hal serupa. Neny sempat mendapatkan cibiran, tidak akan bisa menyelesaikan sekolahnya. Bahkan tamat SD pun belum tentu bisa.
Lebih mirisnya lagi, ia bahkan pernah mendapatkan perkataan yang tidak menyenangkan dari gurunya sendiri. Ia ingat betul kalimat yang diutarakan gurunya itu, “Kok Neny bisa diterima di sekolah ini? Harusnya disabilitas itu sekolah di Sekolah Luar Biasa, khusus disabilitas,” ungkap gurunya dengan sinis.
Neny mengaku merasa sakit hati dan depresi dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya. Merasa gagal sebagai manusia. Merasa sangat tidak percaya diri dan putus asa dalam hidup mengantarkan niatnya untuk bunuh diri. Saat itu ia masih kelas 5 SD.
Namun Neny mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Ia meyakini bahwa Tuhan tidak menciptakannya untuk kemudian mati sia-sia. Ia juga tidak ingin membuat sedih kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya.
“Saat itu saya lihat diri saya di cermin. Saya bilang ke diri saya sendiri kenapa saya harus melakukan tindakan yang sangat bodoh itu. Yang ada mereka malah senang, sedangkan orang tua saya akan merasakan kesedihan yang teramat mendalam,” ungkap Neny.
“Saya tatap pantulan wajah saya di cermin, saya katakan kepada diri saya sendiri bahwa saya cantik kok,” ia menambahkan.
Pensiunan PNS, staf di salah satu kantor camat di Kepahiang, Burhanudin, ayah Neny adalah support system terbaik Neny. Saat kelas 1-2 SD ia selalu diantarkan ayahnya ke sekolah dengan cara digendong. Penyakit syaraf yang dideritanya membuat ia kesulitan berjalan. Baru kemudian setelah naik ke kelas 3 SD ia sudah bisa berjalan sendiri, tetapi tetap diantarkan ayahnya.
“Mau bagaimanapun Neny, Neny istimewa. Beda dari yang lain. Neny pasti bisa seperti orang lain, bahkan bisa lebih dari orang lain,” ucap Burhanudin yang mampu membius Neny untuk bersemangat menggapai kesuksesan dalam hidup.
Setelah membatalkan niatnya untuk bunuh diri, ia mulai menanamkan kebiasaan masa bodoh terhadap perkataan dan perbuatan buruk dari orang lain. Menurutnya, mau bagaimanapun dirinya akan tetap ada kurangnya di mata orang lain. Prioritas utamanya adalah kebahagiaan dirinya sendiri. Ia yakin bisa melalui semuanya.
Sekolah Harusnya Lebih Responsif Terhadap Para Penyandang Disabilitas
“Penyandang disabilitas sekolah di tempat khusus itu memang bagus. Tapi ada baiknya jika disetarakan saja agar tidak adanya diskriminasi,” ujar Neny.
Neny mengaku pihak sekolah sama sekali tidak responsif terhadap dirinya saat itu. Padahal menurutnya penting agar sekolah lebih peka terhadap kondisi siswa minoritas, salah satunya penyandang disabilitas. Sekolah harusnya bekerja sama dengan pemerintah untuk menyediakan SDM khusus untuk menangani siswa minoritas ini. Bentuk advokasi pencegahan perundungan dan diskriminasi di lingkungan sekolah. Titik perhatiannya adalah pada mental siswa minoritas tersebut.
Baca juga: Coreng Moreng Pendidikan Penyandang Disabilitas di Bengkulu
Menurutnya disabilitas lebih rentan mendapatkan perundungan dan diskriminasi. Ditambah lagi dengan stigma yang terus mengakar pada kebanyakan orang bahwa disabilitas harusnya di rumah saja, tidak layak mengenyam pendidikan. Stigma inilah yang kemudian juga mengikis kepercayaan diri penyandang disabilitas perlahan-lahan.
“Fisik sudah kena, ditambah mental juga kena,” keluh Neny.
Berdasarkan studi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention, disingkat CDC) tahun 2018, penyandang disabilitas lebih rentan mengalami depresi dan memiliki risiko bunuh diri lebih tinggi dibandingkan teman seusianya yang tidak memiliki disabilitas.
Hal ini diperkuat dengan studi CDC pada 2021 yang memaparkan bukti peningkatan risiko bunuh diri antara individu penyandang disabilitas dan pengalaman marjinalisasi mereka yang meningkat (pengucilan sosial, prasangka, dan diskriminasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental yang dilaporkan, yang merupakan faktor risiko bunuh diri, adalah 4,6 kali lebih tinggi, yaitu penyandang disabilitas sebanyak 32,9% sedangkan orang tanpa disabilitas hanya 7,2%.
Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia menjadi negara kesembilan yang menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 30 Maret 2007 di New York.
Setelah menandatangani CRPD, Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas). Hal ini dimaksudkan agar dapat merealisasikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan bagi setiap penyandang disabilitas.
Prinsip-prinsip yang diatur dalam CRPD sesuai Pasal 3 adalah (a). Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan; (b) Nondiskriminasi; (c) Partisipasi penuh, efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat; (d) Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan; (e) Kesetaraan kesempatan; (f) Aksesibilitas; (g) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; (h) Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan hak penyandang disabilitas anak guna mempertahankan identitas mereka.
Namun pada implementasinya di masyarakat, termasuk di ranah pendidikan disabilitas masih rentan terhadap diskriminasi dan adanya perundungan sebagai bentuk masih belum terealisasikannya penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
Pada kasus lain juga memperkuat bukti kerentanan penyandang disabilitas. Hal ini dialami seorang siswa perempuan disabilitas fisik yang bersekolah di salah satu SDN di Rejang Lebong. Sebut saja Putri, mengalami perundungan dan diskriminasi di sekolahnya.
“Saya pernah diejek sama teman (laki-laki) sebangku saya karena kondisi saya yang berbeda dari yang lain. Katanya saya aneh. Saya malu dan menangis saat itu,” cerita Putri (bukan nama sebenarnya).
“Sahabat saya (perempuan) melaporkan ke guru (laki-laki yang mengejeknya), tapi guru bukannya memarahinya malah menyuruh saya diam dan tidak boleh mengadu kepada orang tua,” tambah Putri.
Artinya, komitmen dari pemerintah saja tidak cukup tanpa adanya kesadaran individu dan masyarakat luas untuk bisa menghapus stigma negatif terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, perlu adanya motivasi pada setiap individu dalam mendukung prinsip-prinsip yang diatur dalam CRPD, khsususnya pada Pasal 3. Guna mendorong kehidupan yang sejahtera bagi penyandang disabilitas.
Perjalanan Neny Mendapatkan Gelar ASN
Neny kecil ingin menjadi seorang dokter. Namun ketika SMP ia menyadari kondisi kesehatan fisiknya yang tidak memungkinkan, ia kembali merasa putus asa. Ia mengaku pernah tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Akan tetapi dorongan luar biasa dari orang tuanya membuat ia kemudian tetap melanjutkan pendidikan.
Memasuki SMP, ia masih tetap diantarkan oleh Burhanudin. Tetapi tidak lagi dengan berjalan kaki melainkan menggunakan mobil milik sendiri. Masa SMP ia masih menjadi korban perundungan dari teman-teman sekolahnya, pun di saat ia SMA hingga kuliah.
Saat SMA ia lebih memilih menjalani hidup seperti air mengalir. Menerima takdir yang diberikan oleh Tuhan. Ia hanya berharap bahwa ia akan sukses nantinya. Entah menjadi apapun itu tidak masalah, selama masih tetap berada di jalan_Nya.
Orang tuanya telah mengusahakan Neny agar bisa sembuh dengan membawanya berobat ke satu tempat ke tempat lainnya, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Memasuki bangku kuliah, untuk kali pertamanya ia mengatakan bahwa ia sudah lelah untuk menjalani pengobatan. Ia mengaku ikhlas dengan ketentuan Tuhan, ia tidak lagi ingin berharap sembuh.
“Inilah saya. Mau bagaimanapun orang lain saya tidak peduli. Kenapa saya harus pusing-pusing memikirkan mereka. Terserah mereka mau bilang apa,” tegasnya.
Masih dengan dorongan dari orang tua, ia melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup (2012).
Singkat cerita, ia lulus tepat waktu. Meskipun tetap dengan kondisi yang sama. Dimana masa-masa perkuliahan ia masih kerap mendapatkan perundungan dan diskriminasi.
Setelah lulus ia mencoba keberuntungan melamar pekerjaan di posisi admin, salah duanya yaitu di BPJS dan PDAM, namun tidak lolos.
“Menjadi disabilitas itu tidak mudah. Bahkan untuk mencari kerja pun sulit,” terangnya.
Pada 2018, ia mencoba mendaftar tes CPNS, namun tidak diterima karena tidak ada penerimaan khusus disabilitas.
“Terus terang saya merasa kecewa saat itu,” ungkapnya.
Kekecewaannya di 2018 membuat ia tidak ingin kembali mendaftar pada pembukaan CPNS di 2019. Meskipun sudah ada penerimaan CPNS khusus disabilitas ia mengaku takut jika harus kecewa untuk yang kedua kalinya. Namun dorongan dari orang tuanya membuat ia akhirnya kembali menguatkan dirinya untuk mendaftar lagi saat itu.
Ia mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan, termasuk meminta surat keterangan dari dokter terkait kondisi disabilitasnya. Setelah mengumpulkan berkas dan melakukan tes, ia dinyatakan lolos sebagai CPNS. Namun, pandemi Covid-19 membuatnya harus menunggu untuk mengikuti tes kedua.
Pada 2020, ia mengikuti tes CPNS kedua, dengan hasil yang sama, lolos. Pada 2021 ia resmi dilantik sebagai PNS dan mulai bekerja.
“Orang tua tidak menyangka saat itu, bahagia sekali. Sedangkan orang-orang yang pernah menghina saya juga tidak menyangka kalau saya akan lolos. Tetapi bedanya mereka tidak bahagia, mereka diam saja. Mungkin karena malu sudah menghina saya dulu,” ujar Neny.
Tantangan di Dunia Kerja Sebagai Penyandang Disabilitas
Dikatakan Neny bahwa saat ia bekerja sebagai Analis Humas IAIN Curup ia tidak lagi pernah mendapati perundungan dan diskriminasi, baik dari rekan kerja maupun dari atasannya.
Di tempat ia bekerja, ia diperlakukan sama seperti rekan kerja lainnya. Ia mengaku bahwa ia merasa lebih nyaman ketika ia mendapatkan perlakuan yang sama tersebut. Ia sama sekali tidak mengharapkan perlakuan khusus selaku penyandang disabilitas.
Baca juga: Irna Riza Yuliastuty, Berjuang untuk Kesetaraan Disabilitas
“Saya diperlakukan sama seperti rekan kerja lainnya. Saya tidak masalah. Justru saya merasa senang karena saya tidak dianggap berbeda,” terangnya.
Hanya saja, sebagai Analis Humas yang kesehariannya berhadapan dengan komputer, ia tentu saja harus berusaha lebih keras dari rekan kerja lainnya.
“Kalau ngetik saya hanya menggunakan satu jari, jari telunjuk saya. Karena itu saya tidak bisa berlama-lama, paling beberapa menit saja. Setelah itu istirahat,” ia menambahkan.
Harapan dan Cita-cita
“Setiap kali melihat penyandang disabilitas hanya bisa minta-minta di jalan, rasanya sesak sekali dada ini,” ujar Neny.
Menurutnya, orang-orang dengan disabilitas sebenarnya punya potensi. Namun stigma yang ada membuat mereka menjadi tidak berdaya.
Sejak SMA ia ingin sekali bisa mendirikan yayasan khusus disabilitas untuk belajar dan berkarya bersama. Ia ingin orang-orang menyadari bahwa disabilitas mampu dan berdaya. Ia ingin bisa merekontruksi anggapan yang ada bahwa penyandang disabilitas harusnya hanya di rumah saja, tidak layak disekolahkan apalagi terjun ke dunia kerja.
“Semoga saja niat baik ini akan segera terwujud. Doakan saja ya,” demikian harap Neny. (Ryen Meikendi/eL)
Dari cerita mbak Neny Yunita yang mengalami Disabilitas kita bisa belajar bahwa sebuah kekurangan bukan alasan kita tidak bisa berkembang dan sukses . Kisa Inspiratif Sukses yang menjadi ASN. dan dari sini juga kita harus belajar lebih bersyukur dengan keadaan dan fisik yang kita miliki.karna setiap Manusia memiliki kelebihan dan kekurangan nya masing masing, 😁🙏🏻✨
Kekurangan fisik bukan berarti kekurangan segalanya, setiap orang pastinya memiliki kelebihan tersendiri. Begitu pula dengan ibu yunita yang memiliki semangat perjuangan yang begitu besarnya. Terimakasih telah menginspirasi.
Mba Neny menjadi bukti bahwa disabilitas juga bisa berdaya. Kerennn..✊🏻