Home » Tokoh » Irna Riza Yuliastuty, Berjuang untuk Kesetaraan Disabilitas

Irna Riza Yuliastuty, Berjuang untuk Kesetaraan Disabilitas

Bincang Perempuan

Tokoh

SECARA umum perempuan rentan mengalami kekerasan, maka perempuan penyandang disabilitas menjadi kelompok paling rentan mengalami kekerasan berlapis dalam berbagai dimensinya. Ini menjadi salah satu alasan Irna Riza Yuliastuty mengabdikan dirinya, memperjuangkan kesetaraan disabilitas.

Saat menjadi Sekretaris KPI Wilayah Bengkulu pada tahun 2010, Irna mulai bersentuhan dengan perempuan disabilitas. Hal ini dikarenakan keragaman latar belakang anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Ibu dari tiga orang putri ini melihat kebutuhan dan ketidakadilan yang dialami perempuan disabilitas berbeda dengan perempuan pada umumnya. Hingga pada tahun 2018 menjadi titik balik Irna untuk lebih fokus memperjuangkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Irna menginisiasi berdirinya organisasi nonprofit Mitra Masyarakat Insklusi (MMI), yakni organisasi yang mendampingi penyandang disabilitas di Provinsi Bengkulu.  

“Saya merasakan bagaimana masyarakat termasuk sistem yang ada tidak berpihak pada mereka (disabilitas,red), keberadaan mereka masih dianggap ada dan tiada. Kalaupun ada mereka sudah ter-stigma sebagai orang yang “kurang” atau tidak sempurna,  sehingga keberadaan mereka sebagai warga negara yang seharusnya mempunyai hak yang sama berpartisipasi dalam menikmati hasil pembangunan sama sekali belum terpenuhi,”

Ketua MMI, Irna Riza Yuliastuty

Irna mencontohkan hak atas pekerjaan. Meskipun pemerintah sudah membuka ruang bagi penyandang disabilitas, akan tetapi kesempatan yang sama tidak dirasakan penyandang disabilitas. Tidak sedikit mencuat kasus dalam pelaksanaan CPNS atau penerimaan kerja penyandang disabilitas harus terpinggirkan. Termasuk di sektor formal dan swasta, belum mengakomodir pekerja dari kelompok penyandang disabilitas. Akibatnya, 99 persen penyandang disabilitas menopang kehidupan dengan mengandalkan sektor informal. Sebagai pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), namun minim perhatian dan program untuk penyandang disabilitas.

Kesetaraan disabilitas
PERTEMUAN RUTIN: Irna bersama anggota dan pengurus MMI saat menggelar pertemuan bulanan yang digelar rutin setiap 2 minggu sekali. (Foto: dok pribadi)

“Yang ada setelah pelatihan keterampilan, diberi bantuan barang tanpa ada pendampingan berkelanjutan, apakah pelatihan keuangan, manajemen pemasaran, pelatihan teknologi terkait UMKM dan lainnya.  Saya melihat selama ini, program-program untuk penyandang disabilitas hanya pada belas kasihan, tidak ada tongkat dikasih tongkat, tidak ada makan dikasih sembako, tidak ada uang dikasih sedekah. Tapi tidak pada pemenuhan hak mereka sebagai Warga Negara Indonesia,” bebernya.

Padahal, lanjut Irna yang dibutuhkan penyandang disabilitas adalah hak yang sama dalam berbagai sektor kehidupan sebagai Warga Negara Indonesia.


MMI untuk Kesetaraan Disabilitas

Pengorganisasian menjadi kegiatan utama yang dilakukan MMI. Mengajak semua pihak baik penyandang disabilitas, lintas jenis disabilitas, dan non disabilitas yang mempunyai keinginan yang sama yaitu membangun dan mewujudkan masyarakat yang menerima semua jenis perbedaan yang ada (masyarakat inklusif,red). 

Berdasarkan data Susenas tahun 2018 diketahui ada 14,2 persen penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas atau 30,38 juta jiwa. Namun untuk di Provinsi Bengkulu tidak ada angka yang pasti berapa jumlah penyandang disabilitas. Badan Pusat Statistik (BPS) tidak pernah melakukan pendataan secara spesifik untuk mendata penyandang disabilitas dalam instrumen pendataanya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat mengeluarkan data hanya pada penyandang disabilitas yang memiliki hak suara pada Pilkada 2020 sebanyak 4.300 orang.

Serupa dengan Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bengkulu, belum pernah merilis secara resmi  data terbaru berapa jumlah penyandang disabilitas yang sudah terdata oleh petugas pendamping penyandang disabilitasnya.

“Namun jika mengacu data by name by addres yang kami (MMI,red) himpun ada 247 penyandang disabilitas yang tersebar di Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Seluma dan Rejang Lebong,” terang alumni Fisip, Universitas Bengkulu ini.

MMI juga memberikan edukasi dan advokasi terkait instrumen kebijakan yang sudah ada.  Seperti UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, CRPD, SDGs, pengarusutamaan gender dan pengarus utamaanSDG,s

“Menyampaikan dengan bahasa sesederhana mungkin, tujuannya untuk menyamakan persepsi dan pengetahuan teman-teman disabilitas bahwa sudah saatnya koridor perjuangan ini berbasis hak bukan pada “bantuan” karena belas kasihan.  Sudah saatnya melihat penyandang disabilitas bukan sebagai kelompok yang perlu dikasihani, tetapi bagaimana kita semua bersama-sama penyandang disabilitas bisa setara sebagai Warga Negara Indonesia, dan apa yang kita perjuangkan ini bukan di Bengkulu saja,” beber Irna yang rutin menggelar pertemuan 2x dalam 1 bulan bersama anggota MMI.  

Irna tidak menapik, ada banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi selama melakukan pendampingan pada penyandang disabilitas. Seperti, kelompok disabilitas masih menjadi objek dalam program-program pemberdayaan. Ini menyebabkan Irna dan MMI menjadi pihak yang dicurigai mendapatkan keuntungan.

PERTEMUAN RUTIN : Irna bersama anggota dan pengurus MMI saat menggelar pertemuan bulanan yang digelar rutin setiap 2 minggu sekali. (foto : dok pribadi)

“Program yang diberikan katanya untuk mengeluarkan mereka (penyandang disabilitas, red) dari situasi yang tidak baik. Namun ketika kami mencoba mengajak mereka sebagai subjek ( pelaku) perubahan, ada kegagapan yang di alami, seperti ketidak percayaan diri, pernah mengalami kecurigaan tinggi jangan-jangan penyandang disabilitas hanya menjadi alat jualan satu pihak saja,” ungkapnya.

Baca juga: Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Entrepreneur, Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Hambatan lainnya, ditingkat stakeholder  isu disabilitas masih menjadi isu yang baru dipembuat kebijakan, sehingga sulit memahamkan jika isu disabilitas bukan isu sektoral.  

“Pengalaman kalau hak ngomongin disabilitas pasti langsung dipotong atau dibilangin “Wah ini ke Dinas Sosial saja, tupoksi kami bukan itu”.  Padahal ngomongin sektor tenaga kerja pasti terkait dengan Dinas Tenaga Kerja, ngomongin tentang infrastruktur ya ke Dinas PUPR,  ngomongin tentang hak pendidikan pasti ke Dinas Pendidikan atau ngomongin peningkatan kapasitas pelaku UMKM ya ke Dinas Koperasi dan UMKM. Setelah dijelaskan baru nyadar, oh iya, tapi setelah itu bingung lagi karena mereka belum pernah membuat program untuk penyandang disabilitas,” papar Irna.


Kebutuhan Penyandang Disabilitas Harus Jadi Program Prioritas

Banyak hal dijumpai Irna selama mendampingi penyandang disabilitas. Masih terekam jelas diingatannya, saat itu, kisaran tahun 2018, ketika Irna bersama rekan-rekannya membagikan bantuan, tak sengaja Irna bertemu dengan orang tua anak dengan disabilitas. Perempuan paruh baya itu memiliki anak laki-laki berusia 21 tahun penyandang disabilitas grahita yang pendidikan lulus SLB tingkat SMA.

BERSAMA : Irna Riza Yuliastuty (batik coklat,red) saat bersama rekan-rekan aktivitas sosial lainnya. (foto : dok pribadi)

Dengan polosnya, sang ibu bertanya pada Irna.  “Bu, kira-kira anak saya itu bisa bekerja tidak ya? Kami ini semakin lama semakin tua, siapa yang akan mengurus anak kami kalau kami tidak ada lagi? Hidup tidak dia ya, Bu?” ungkap Irna menirukan kalimat yang disampaikan ibu tersebut.  

“Saya saat itu seperti melihat gambaran semua orang tua yang khawatir memikirkan anaknya, hingga terpikir untuk diri mereka tuapun tidak.  Bahkan ketika anaknya sudah mendapat ijazah luLus SMU di SLB, ijazah itu seperti tidak berguna. Jika masyarakat dan pemerintah memberikan ruang itu, maka tidak akan ada lagi orang tua anak dengan anak disabilitas sepanjang hidupnya merasa khawatir akan masa depan anaknya. Tidak ada lagi bayi-bayi yang lahir dengan disabilitas akan bertumbuh menjadi manusia yang tersisih,”

Ketua MMI, Irna Riza Yuliastuty

Tak jauh berbeda ketika Irna bertemu dengan perempuan usia produktif yang mengalami kecelakaan lalu lintas hingga terpaksa kehilangan kakinya. Dari non disabilitas menjadi disabilitas, menjadikan perempuan ceria ini kemudian menjadi gadis pemurung dan berkali- kali ada keinginan untuk bunuh diri. Mengapa?

“Karena dia tidak siap dengan stigma sebagai orang cacat atau rusak. Lama menumbuhkan kepercayaan dirinya, bahwa tidak ada yang beda antara dirinya yang dulu dengan sekarang yang harus dibantu alat penopang untuk berjalan. Penerimaan diri para penyandang disabilitas bisa jadi sudah selesai namun masyarakat kita yang masih belum selesai. Kadang kita latah untuk mengkasihani, sehingga sulit untuk memberikan pekerjaan dengan alasan kasihan. Padahal lebih kasihan lagi jika dia tidak diberikan kesempatan bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri,” urainya.

Berbagai persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas, lanjut Irna, menjadi gambaran sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada kelompok disabilitas sebelumnya. Agar kesetaraan disabilitas dapat tercapai, Irna sangat mengharapkan pemerintah daerah dapat merealisasikan pemberdayaan penyandang disabilitas sebagai program yang utuh, tidak sebatas janji politik saja. 

“Jika ingin mengeluarkan penyandang disabilitas dari jeratan kemiskinan haruslah dengan memberikan kesempatan dan lapangan pekerjaan.  Jika merasa pendidikan penyandang disabilitas masih rendah, siapkan infrastruktur dan sistem pendidikan yang bisa mereka akses dengan baik,” pungkasnya. (betty herlina)

*)Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Dayah Diniyah Darussalam Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh

Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Wahyu Widiastuti, Pentingnya Penguatan Pendidikan Politik Perspektif Gender

Fatmayana, Perempuan Pelopor Pendidikan di Bengkulu Utara

Leave a Comment