Bincangperempuan.com- Saat ini, ada sekitar 65 juta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Sebanyak 60 persen di antaranya dimiliki dan dikelola oleh perempuan. Sayangnya, riset dari Boston Consulting Group, Blibli, dan Kompas ‘Menciptakan Pertumbuhan Inklusif melalui Digitalisasi UMKM di Indonesia hanya 20% dari jumlah total UMKM tersebut yang melek digital. Serta menggunakan platform e-commerce untuk mengembangkan usahanya.
Pendidikan menjadi salah satu kunci yang dapat membuka akses perempuan terhadap digitalisasi. Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Nisa Felicia mengatakan salah satu yang berperan penting dalam memberikan pemahaman mengenai keterlibatan perempuan dalam sektor publik adalah nilai-nilai yang selama ini ada di institusi pendidikan. Nilai itu, kemudian terinternalisasi dalam kehidupan murid-murid yang pada akhirnya menentukan cara mereka mengambil keputusan.
“Mayoritas guru adalah perempuan, tapi pemimpin di sektor pendidikan didominasi oleh laki-laki. Maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks pengambilan keputusan, institusi pendidikan kita masih institusinya laki-laki. Namun ironinya, justru yang mengimplementasikan kebijakannya adalah perempuan,” ujar Nisa, dalam peringatan International Women’s day yang diselenggarakan British Embassy (14/3/2025).
Baca juga: Mengentaskan Kemiskinan Lewat Digitalisasi
Ekspektasi yang Berbeda Terhadap Laki-laki dan Perempuan
Survei PISA 2022 menunjukkan bahwa di Indonesia, siswa perempuan lebih unggul dibandingkan siswa laki-laki dalam matematika dengan selisih 6 poin dan literasi dengan selisih 23 poin. Dari hasil kajiannya bersama tim, Nisa mengungkapkan bahwa fenomena ini terjadi karena adanya steriotipe yang berkembang di dunia pendidikan mengenai ekspektasi yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.
“Mengapa murid perempuan di sekolah dasar lebih unggul dalam tingkatan literasinya dibandingkan murid laki-laki? itu karena steriotipe. Pedagogi kita masih feminin, jadi guru akan mengajarkan kalian cara mematuhi aturan. Namun, seringkali mewajarkan bagi anak laki-laki untuk melanggar aturan, tetapi tidak bagi perempuan,” jelasnya.
Selaras dengan temuan ini, Nisa juga menyoroti rendahnya kuantitas lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) perempuan yang melanjutkan sekolah ke sektor Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM). Di Indonesia, jumlah perempuan yang bekerja di bidang teknologi hanya sebesar 27 persen, akademisi perempuan di institut teknologi sebesar 35,7 persen, dan dokter perempuan yang menempuh pendidikan spesialis sebesar 41,6 persen.
Nisa menilai hal ini terjadi bukan karena perempuan tidak memiliki kapasitas di bidang tersebut, karena berdasarkan temuannya perempuan cenderung lebih unggul dalam bidang akademik dari pada laki-laki, tapi karena ada penanaman steriotipe berulang mengenai apa yang diharapkan dari seorang perempuan.
“Mengapa setelah lulus SMA hanya sekitar 20% lulusan yang tertarik dengan STEM karena sepanjang sekolah mereka diberitahu bahwa ini jurusan untuk laki-laki bukan untuk perempuan,”
“Sehingga jurusan ini tidak diukur dari prestasi, tapi dari nilai-nilai pendidikan yang selama ini diharapkan untuk mereka. Jadi itulah mengapa banyak guru yang perempuan dan pemimpinnya laki-laki,” jelasnya.
Baca juga: Digital Footprint: Jadi Kenangan Manis atau Aib yang Tak Bisa Dihapus?
Tantangan Pelaku UMKM Perempuan
Selain tantangan steriotipe yang hadir dari bidang pendidikan, beban ganda yang harus dipikul perempuan dalam keluarga juga seringkali menghambat perempuan untuk berkembang. Salah satunya terjadi dengan perempuan-perempuan binaan program pemberdayaan UMKM BRI Research Institute.
Nilam Nirmala, MSME Empowerment Project Leader dari BRI Research institute menjelaskan setidaknya ada 3 tantangan yang seringkali dihadapi oleh perempuan pebisnis UMKM. Pertama, mereka seakan harus memilih untuk menjalankan bisnis guna membantu kesejahteraan keluarga atau mengurusi anak dan keluarganya.
“Ketika suaminya tidak bisa memenuhi kebutuhkan keluarga karena tidak memiliki penghasilan yang cukup, Ibunya yang harus memikirkan tentang apa yang bisa dimakan hari ini, besok, sampai berpikir apa yang harus saya lakukan untuk membantu keluarga ini. Sementara di sisi lain, dia harus mengurus anak dan urusan rumah tangga juga,” jelasnya.
Tantangan lainnya yakni perempuan yang menjalani UMKM memiliki kepercayaan diri yang rendah, ini berasal dari pola pikir yang merasa bahwa mereka sudah cukup dengan kehidupan yang sekarang.
“Padahal sejujurnya, mereka masih jauh dari kehidupan yang cukup,” tambahnya.
Di sisi lain, perempuan UMKM juga merasa bahwa mereka tidak dapat berdaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Mereka juga merasa tidak memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak karena ada banyak tanggung jawab rumah tangga yang harus mereka kerjakan.
Dukungan Kedutaan Besar Inggris Untuk Digitalisasi
Menyadari hal ini, Kedutaan Besar Inggris dan BRI Research Institute kemudian mengadakan Digital Access Programme untuk memberikan pelatihan literasi digital dan pengembangan bisnis kepada para pelaku UMKM perempuan, terutama di segmen ultra micro dan micro. Pelatihan ini mencakup 1) pelatihan literasi digital untuk meningkatkan pengetahuan melakukan jual beli melalui online platform (e-commerce), 2) pencatatan keuangan digital and 3) membangun pojok digital (digital corner) sebagai sentra hub untuk UMKM perempuan saling belajar untuk mencoba penjualan melalui e-commerce platforms.
Direktur Pembangunan Internasional Inggris mengatakan bahwa program akses digital ini merupakan program global sebagai komitmen pemerintah Inggris dalam mendukung akses digital khususnya untuk kelompok-kelompok rentan.
“Program ini bekerja di tingkat akar rumput, perempuan, anak perempuan, kelompok terpinggirkan lainnya, seperti organisasi penyandang disabilitas. Tidak hanya membuka akses digital kami juga membantu meningkatkan literasi digital, sehingga menjadi lebih mampu menggunakan alat digital yang dapat memberikan manfaat bagi mereka, bukan merugikan mereka,” jelasnya.
Pemerintah Inggris telah menyediakan dana sebesar Rp 3,8 miliar (£199,960) untuk mendanai proyek berdurasi sembilan bulan yang bertajuk Menciptakan Indeks Digitalisasi untuk Indonesia dan Meningkatkan Akses dan Pemanfaatan Digital bagi Perempuan Marginal.
“Harapannya mereka mampu berpikir kritis tentang informasi yang mereka terima melalui saluran digital, mampu mengenali disinformasi dan misinformasi, dan juga menggunakan perangkat digital untuk bisnis dan kewirausahaan mereka,” pungkasnya.