SEKOLAH Luar Biasa (SLB) Negeri 3 Kota Bengkulu, berjarak sekitar 30 menit dari pusat kota. Lokasinya lebih dekat dengan Kabupaten Bengkulu Tengah. Sekolah ini dibangun di lahan seluas 8.528 meter persegi. Berada diantara kompleks perumahan Surabaya Permai. Memiliki 12 ruang belajar, satu laboratorium komputer dan satu ruangan praktik Tata Boga.
Suasana Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 3 Kota Bengkulu hening saat Bengkulu Today menyambangi. Hari memang masih pagi dan jam menunjukan pukul 08.10 WIB.
Dari parkiran mobil terdengar, sayup-sayup suara sejumlah ibu-ibu asyik mengobrol di pelataran sekolah. Entah apa yang mereka bicarakan. Sesekali ada gelak tawa. Benar saja, ibu-ibu tersebut adalah para orang tua yang tengah menunggu anak-anaknya mengikuti proses belajar mengajar di sekolah.
Aktivitas belajar mengajar Tahun Ajaran 2021/2022 sudah dimulai meskipun Kota Bengkulu tengah menjalani Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Memang terjadi lonjakan kasus pandemi Covid-19. Hingga Minggu (7/8), angka kasus infeksi terakhir ada 20.046 kasus positif dengan angka kematian 292 yang menjadikan Kota Bengkulu, zona merah.
Alhasil di SLB Negeri 3 hanya 4 ruang kelas yang dibuka dan digunakan untuk belajar dan semua kelas merupakan jenjang pendidikan dasar.
Sejak pandemi, pihak sekolah mengambil kebijakan pembelajaran tatap muka berlangsung 2 hari untuk setiap jenjang pendidikan. Tingkat SD di hari Senin dan Selasa, tingkat SMP di hari Rabu dan Kamis, sedangkan tingkat SMU pada hari Jumat dan Sabtu. Masing-masing durasi tatap muka 120 menit. Selebihnya siswa belajar mandiri di rumah masing-masing.
Adella Veranti, Kepala SLB Negeri 3, mengatakan kebijakan ini diambil sesuai dengan permintaan orang tua siswa yang masih mengharapkan ada pembelajaran tatap muka.
“Jadi hanya 2 jam di sekolah, guru kelas akan mengajarkan apa yang harus dipelajari siswa selama 4 hari belajar mandiri di rumah,” terangnya.
Kebijakan tatap muka ungkap Adella dilakukan dengan mengutamakan protokol kesehatan. Siswa menggunakan masker, menjaga jarak dan selalu mencuci tangan.
Pembelakuan belajar daring seperti sekolah lainnya tidak mungkin dilakukan SLB Negeri 3. Apalagi untuk jenjang pendidikan SD. Selain keterbatasan sinyal internet, finansial untuk pembelian kuota serta tidak semua orang tua dapat mendampingi anaknya.
“Siswa disini kebanyakan dari Kabupaten Bengkulu Tengah. Daerahnya susah sinyal. Sekolah juga sulit jika harus memberikan fasilitas pembelian kuota internet. Subsidi kuota belajar dari Kementerian tidak ada. Proses belajar mengajar sepenuhnya mengandalkan BOS,”
Adella Veranti, Kepala SLB Negeri 3
Tak lama menunggu, Bengkulu Today langsung diajak Adella melihat proses belajar mengajar di kelas.
Tiba di ruang kelas, seorang ibu muda Umida Husni terlihat mendampingi putranya belajar. Ia berdiri persis di samping anaknya. Ini minggu pertama bagi MA belajar di sekolah.
MA, disabilitas tuna grahita dengan pertumbuhan mata kiri yang tidak sempurna membuat penglihatannya terganggu. Meskipun begitu, MA bisa mendengar dengan jelas ketika guru kelasnya menyapa. Dia asyik bermain menyusun balok menjadi aneka bentuk dengan menggunakan indera peraba tangannya sekaligus memaksimalkan penglihatannya dengan mata kanan.
“Masih takut untuk ditinggal, dan masih belum mau banyak bicara,” celutuk sang ibu pada Bengkulu Today.
MA, menggelendot manja dengan sang ibu. Bolak- balik ia mengeluarkan balok kayu kecil dari dalam tempatnya. Menyusun berulang-ulang diatas meja. Terlihat mata si ibu berkaca-kaca melihat tingkah pola anaknya.
Sedikit berbeda dengan teman sekelasnya, SA, mengalami disabilitas tuli. Bocah perempuan itu asyik menebalkan tulisan angka. Jari jemarinya menggenggam pensil dengan kuat. Tulisannya cukup rapi, dan tegas untuk anak usia tujuh tahun. Sadar diperhatkan, sesekali SA melihat ke arah Bengkulu Today dan tersenyum manis.
Di kelas I ini, satu orang guru non PNS ditugaskan untuk mendampingi keduanya sebagai guru kelas.
Karena hanya dua murid yang masuk, alhasil ruang kelas MA dan SA menumpang dengan siswa kelas II yang persis membentuk kelompok belajar sendiri di bagian kanan ruang kelas.
Ada lima anak tengah belajar dengan pendampingan satu orang guru kelas yang juga non PNS. Masing- masing anak ini memiliki disabilitas yang berbeda.
Beranjak ke ruang kelas VI, Aim Matul Baroroh tengah memandu satu siswa laki-laki, AP untuk menuliskan angka dalam kalimat huruf.
Hari itu ada tiga siswa kelas VI yang harus dipegang Aim untuk sesi pagi dari jam 08.00 WIB s.d 10.00 WIB. Seharusnya lima anak, namun dua murid lainnya berhalangan hadir.
Setelah kelas pagi usai, ada empat siswa lagi yang masuk pada jam 10.00 WIB s.d 12.00 WIB. Totalnya ada sembilan anak dengan usia seharusnya sudah duduk di bangku SMP.
Menariknya satu siswa perempuan menggunakan seragam SMP.
“Badannya sudah besar, anak seusianya sudah masuk SMP. Jadi dia malu jika masih menggunakan seragam SD,” ungkap Aim menjelaskan.
Dibandingkan dengan guru kelas yang lain, Aim lebih telaten. Rupanya, honorer sejak tahun 2017 ini memang memiliki latar belakang Sarjana Pendidik Luar Biasa (PLB). Sehingga lebih mahfum mengurusi anak-anakpenyandang disabilitas.
“Harus dibagi dua sesi, kalau dibuat serentak tidak terawasi dengan baik nanti. Masing-masing anak memiliki disabilitas yang berbeda,” papar Aim.
Shadow Teacher
Lain sekolah negeri, lain pula dengan pengelolaan sekolah inklusi di swasta seperti Sekolah Alam Bengkulu (SAB) Mahira.
Sejak pandemi Covid-19 Februari 2020 lalu, hingga berlaku PPKM, sekolah swasta ini memilih tetap melaksanakan program belajar dan mengajar secara offline atau tatap muka dengan mengedepankan protokol kesehatan. Praktis pembelajaran daring tidak dilakukan.
Di sekolah ini, pantauan Bengkulu Today proses pembelajaran inklusi banyak dilakukan dengan menyetting pembelajaran outdoor. Melakukan kegiatan keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal dengan menunjukkan sikap tanggap, membagi perhatian (visual dan verbal). Termasuk pemusatan kelompok.
Satu shadow teacher mendampingi satu anak disabilitas. Sehingga si anak dapat mengulang apa yang sudah disampaikan guru kelas.
“Melalui pembelajaran outdoor interaksi anak-anak disabilitas dan non disabilitas lebih baik. Dan tujuan dari pembelajaran dapat tercapai,”
Fitri Sugiarti Koordinator Pendidikan Inklusi, SAB Mahira
Di SAB Mahira, ada 34 anak disabilitas yang belajar. Mulai dari Taman Kanak-kanak, SD, SMP hingga SMA. Setiap orang tua harus mengeluarkan kocek lebih senilai Rp 1,7 juta per bulan untuk biaya pendampingan satu shadow teacher.
Sebelum menjadi shadow teacher, tenaga pengajar yang ada akan mengikuti pelatihan khusus bagaimana mendampingi anak disabilitas. Ini lantaran shadow teacher yang direkrut bukan dari latar belakang Pendidikan Luar Biasa
SAB Mahira diketahui merupakan pelopor sekolah inklusi pertama di Bengkulu. Persisnya sejak tahun 2008. Pola yang diterapkan di sekolah ini menempatkan anak-anak disabilitas di ruang belajar yang sama dengan anak-anak non disabilitas.
Setiap jenjang pendidikan hanya diisi 18 anak, dari jumlah tersebut 2 anak merupakan penyandang disabililitas. Penerapan pola inklusi ini membuat anak-anak disabilitas mendapatkan cara berkomunikasi yang lebih baik. Sebaliknya anak-anak non disabilitas dapat belajar mengenal perbedaan dan menumbuhkan rasa empati.
Di SAB Mahira, Bengkulu Today menyaksikan DC, anak dengan disabilitas rungu seperti menyimak apa yang disampaikan guru di depannya. Saat dijumpai, DC sedang belajar bersama 17 teman lainnya, di lapangan bola sekolah.
Baca juga : Coreng Moreng Pendidikan Penyandang Disabilitas di Bengkulu
Sama sekali tidak terlihat perbedaan, antara DC dengan anak-anak non disabilitas lainnya. Dinda begitu membaur dan serta dapat merespon baik. Menikmati setiap interaksi dengan temannya yang lain.
Satu shadow teacher mendampingi Dinda, membantu proses belajarnya setiap hari SAB Mahira. Dinda belajar di kelas VI, sesuai dengan usianya saat ini.
Ada juga DF, disabilitas rungu. Ia asyik bermainan ayunan di TK. Di bagian telinga kanannya terpasang alat bantu pendengaran. Dari jauh, DF sudah mengerti bahasa isyarat menandakan dirinya dipanggil. Ia tersenyum menyambut kedatangan gurunya bersama Bengkulu Today. Berlari, meninggalkan ayunannya dan menyapa.
“Setiap anak disabilitas didampingi satu shadow teacher disini. Mereka (anak-anak disabilitas,red) memiliki keunikan sendiri dalam belajar. Beberapa harus diajarkan secara berulang-ulang agar mereka dapat memahami pelajaran dengan benar. Makanya perlu satu shadow teacher,” kata Fitri Sugiarti, Koordinator Pendidikan Inklusi, SAB Mahira. (betty herlina)
*) Tulisan ini diproduksi dalam rangkaian Journalism Grant : Workshop Writing for Inclusion dari AJI Indonesia, British Council dan Disability Arts Online dan sudah tayang lebih dahulu di Bengkulu Today