Bincangperempuan.com- Media massa kerap jadi tempat yang memprihatinkan karena ikut melanggengkan budaya patriarki. Produk-produk yang dihasilkan tak jarang menampilkan perempuan dengan problematik. Perusahaan media dituntut bertanggung jawab sekaligus didorong untuk segera melakukan perubahan.
Kondisi media massa tersebut juga diperparah dengan tingginya kejahatan terhadap perempuan di media sosial. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan berbasis gender siber mengalami peningkatan secara signifikan. Dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 pada tahun 2020. Kejahatan tersebut dilakukan melalui konten spamming, bullying, hingga cyberharrasment.
Minimnya ruang perempuan dalam produksi pesan telah menjadi masalah yang mengakar. Karena itu, perusahaan media massa seharusnya mengisi jurang ini demi menciptakan masyarakat yang demokratis serta inklusif.
Perempuan Jadi Konten yang Dieksploitasi
Seksisme merupakan diskriminasi berlandaskan pemikiran bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Sedangkan misoginis, dimaknai sebagai bentuk diskriminasi pada perempuan yang melibatkan kebencian. Seksisme dan misoginis sama-sama melihat perempuan sebagai objek semata.
Baca juga: Rekonstruksi Perempuan dalam Kontes Kecantikan
Framming buruk oleh media massa dapat dilihat dari kasus penganiayaan MD, anak dari pejabat pajak Kementerian Keuangan, terhadap DO yang merupakan anak kader organisasi keagaman NU. Fokus pemberitaan tidak hanya soal penyiksaan yang terjadi. Namun, AG yang dituduh sebagai biang keladi dari arogansi laki-laki. Ia dihakimi ramai-ramai karena dianggap sebagai perempuan yang kelewat binal. Obsesi tak sehat dari media massa ini membuat seorang anak jadi korban seksisme publik.
Media massa kerap menampilkan perempuan untuk mendulang klik. Strategi bisnis ini dipilih demi memenangkan pasar. Perempuan dianggap bisa menarik minat khalayak karena mampu mengusik naluri, nurani, dan emosi. Hal-hal yang dilakukan perempuan jadi sesuatu yang dianggap menarik.
Sayangnya, perempuan sering dibingkai dalam nuansa seksisme. Umumnya ditandai dengan judul yang melecehkan. Sebut saja, “Duh, Pose Mengangkang Bidadari Bulutangkis Australia Bikin Ngilu” atau “Mahkota” Bunga Pun Terenggut di Kandang Sapi”. Berita semacam ini terus diproduksi karena memperoleh rating yang tinggi.
Eksploitasi perempuan tidak hanya dalam bentuk teks, tetapi juga pada foto atau gambar ilustrasi yang digunakan sebagai pendamping berita. Contohnya, pada liputan “Wanita di Ambon Dicekoki Miras Lalu Digilir Dua Polisi, Korban pun Dianiaya saat Melapor.” Gambar yang digunakan adalah foto asli korban. Meski gambar diburamkan, ini jelas tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Penyintas dijadikan komoditas dalam perdagangan media. Terlebih dalam kasus kekerasan seksual, perempuan seringkali ditunjukan dengan tubuh terkapar, termenung, atau menunduk. Pose tersebut sejatinya mengisyaratkan korban dalam posisi tak berdaya. Padahal, banyak perempuan yang melawan dan ini perlu disorot. Penggunaan visualisasi yang sensitif gender berfungsi untuk mencegah fantasi pembaca. Detail-detail yang mengarahkan kejadian kekerasan seksual sesungguhnya juga tidak diperlukan. Dengan begitu, ilustrasi yang digunakan tidak justru menjadi potongan dari konten pornografi.
Bahaya Pesan Misoginis
Menurut riset Global Media Monitoring Project, perempuan hanya mengisi 24% dari keseluruhan konten pemberitaan. Di Indonesia, angkanya jauh lebih rendah, yakni 11%. Di sisi lain, kualitasnya juga ikut bermasalah. Perempuan digambarkan sesuai dengan stereotip peran-peran domestik. Misalnya, istri yang dianggap durhaka jika tidak tunduk kepada suami. Pemberitaan semacam itu turut membentuk persepsi publik tentang perempuan yang ideal dalam bersikap.
Pengaruh media sudah banyak dibicarakan dalam teori komunikasi massa. Salah satunya oleh George Gerbner melalui teori kultivasi. Gerbner sendiri memfokuskan penelitiannya pada konten kekerasan di televisi. Menurutnya, konten yang disajikan mampu membentuk keyakinan seseorang dalam memandang dunia nyata. Pemirsa yang mengonsumsi konten kekerasan akan percaya bahwa dunia ini memang dipenuhi oleh kejahatan. Hingga akhirnya menimbulkan kecemasan, bahkan paranoia sosial.
Ketika media terus menyuarakan kebencian pada perempuan, nilai-nilainya akan diinternalisasi dalam alam bawah sadar masyarakat. Pemberitaan selalu memberi dampak signifikan pada kehidupan.
Pemberitaan yang seksis dan misoginis sesungguhnya juga berdampak negatif pada laki-laki. Konten tersebut membentuk citra maskulinitas yang ideal. Laki-laki terus dituntut untuk menaklukan perempuan berbasis dominasi, mengejar keberhasilan materiel, dan mencapai status sosial. Keresahan dan kecemasan mereka menjadi tidak diakui serta tidak ditangani secara bermakna.
Solusi Semu
Pelatihan mengenai isu-isu gender dan dorongan pada perempuan untuk berkarier sebagai jurnalis tentu perlu digencarkan. Pemahaman senstif gender jelas akan mendorong produksi pemberitaan berkualitas. Walaupun demikian, diskursus kualitas jurnalisme ini tidak boleh sekadar dilihat dalam aspek mikro, yakni kesadaran jurnalis semata. Persoalan sistematis ini tak akan bisa diselesaikan dengan hanya pelatihan, seminar, bahkan uji kompentensi.
Ada aspek makro yang melingkupi persoalan ini. Ribuan jurnalis disetir oleh mekanisme pasar sehingga dituntut untuk menulis hingga 12 berita dalam sehari. Mereka terpaksa meninggalkan publik dan duduk di belakang layar komputer untuk menatap media sosial ketika membuat berita. Publik jadi dihujani oleh informasi yang tak bermutu dan pengulangan atas topik yang sama. Sedangkan liputan mendalam, termasuk soal perempuan diabaikan karena mahal dan minim klik. Menerima kenyataan bahwa media hanya bergantung pada iklan para majikan tentu bukan hal yang realistis. (Delima Purnamasari/eL)