Home » News » Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis 

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis 

Ais Fahira

News

Perempuan dalam Demonstrasi Korea Selatan Melawan Politik Anti-Feminis  (1)

Bincangperempuan.com- Korea Selatan baru-baru ini diguncang oleh demonstrasi besar-besaran yang terjadi setelah pemerintahannya menetapkan status darurat militer. Keputusan ini memicu amarah warga, terutama karena sejarah kelam di balik kebijakan serupa di masa lalu.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, Aniello Ello Iannone, menjelaskan bahwa penolakan ini berakar pada trauma sejarah negara tersebut. Ketegangan dengan Korea Utara sering kali menjadi alasan utama diberlakukannya darurat militer, seperti yang terjadi pada era 1980-an di bawah rezim otoriter Presiden Chun Doo Hwan.

Saat itu, kebijakan darurat militer digunakan untuk mengekang kebebasan warga, hingga memicu pemberontakan besar di Gwangju yang menelan ratusan korban jiwa. Tragedi Gwangju kini menjadi luka sejarah yang masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Korea Selatan.

Kenangan “gelap” inilah yang pada akhirnya menyebabkan trauma mendalam bagi warga Korsel ketika Presiden Yoon menetapkan status darurat militer pada Selasa lalu. Warga Korsel khawatir peristiwa serupa bak tragedi Gwangju terulang kembali di masa kini.

Di sisi lain para ahli juga menyebutkan faktor pemerintahan yang anti feminis memicu kemarahan perempuan muda Korsel. Mengutip dari Feminist Giant Sebanyak sepertiga dari mereka yang berunjuk rasa menuntut pemakzulan terhadap Presiden Yoon di depan Majelis Nasional pada 7 Desember adalah perempuan muda usia 20-30 an. Mereka berani tampil berbeda dengan membawa lightstick K-pop alih-alih lilin, dan menunjukkan keberanian melalui musik serta warna-warna cerah yang penuh semangat. Keberanian ini, menurut para ahli, bukan tanpa alasan.

Presiden Yoon Seok-yeol sebelumnya menganjurkan penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga saat menjadi kandidat presiden, dan berulang kali mengklaim bahwa “tidak ada diskriminasi gender struktural” di Korea Selatan. Ia juga memangkas anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan menghapus kata “perempuan” dan “kesetaraan gender” dalam istilah kebijakan.

Kebijakan ini memicu sentimen anti-feminis yang meluas di seluruh negeri. Salah satu peserta demonstrasi, Shin (27 tahun), mengungkapkan bahwa ia sudah lama marah dengan kebijakan ini: “Dari pembunuhan karena berpacaran hingga kejahatan seks palsu, saya merasa perempuan tidak aman di Korea. Ketika Yoon mengumumkan darurat militer, saya tidak tahan lagi.”

Baca juga: Perjuangan dan Partisipasi Perempuan dalam Politik Eropa

Kondisi Sosial dan Budaya Anti-Feminis di Korea Selatan

Korea Selatan, meskipun memiliki tingkat pendidikan tinggi dan kemajuan teknologi yang luar biasa, masih menghadapi tantangan besar terkait kesetaraan gender. Para ahli berpendapat bahwa budaya patriarki yang kuat di negara ini telah menciptakan ketegangan antara perempuan yang memperjuangkan hak-hak mereka dan kelompok konservatif yang ingin mempertahankan status quo. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan feminis semakin mendapat perhatian, terutama dengan munculnya kampanye #MeToo dan protes terhadap kejahatan seks deepfake. Namun, pemerintah dan kalangan konservatif Korea Selatan sering meremehkan isu-isu feminisme ini.

Seiring dengan meningkatnya standar pendidikan perempuan, terutama dalam bidang ekonomi dan politik, banyak perempuan yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro-feminis. Seperti yang dikemukakan oleh Kim Hyun-mee, Profesor Antropologi Budaya di Universitas Yonsei, kurangnya partisipasi laki-laki dalam demonstrasi ini dapat dipahami karena mereka merasa terjebak dalam sistem patriarki yang masih sangat mendalam.

“Banyak pemuda yang merasa bahwa maskulinitas tradisional tidak lagi menguntungkan mereka, tetapi mereka merasa lebih aman dengan mempertahankan tatanan patriarki ini,” jelasnya.

Dari Simbol K-Pop Hingga Tuntutan Perubahan

Meski dominasi perempuan dalam demonstrasi ini sangat kuat, keberadaan laki-laki juga penting untuk memahami dinamika yang terjadi. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, ada beberapa laki-laki yang menunjukkan dukungannya terhadap gerakan ini.

Salah satunya, seorang pemuda berusia 27 tahun yang mengungkapkan bahwa ia belajar banyak dari pengalaman ikut serta dalam demonstrasi ini.

“Perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas LGBTQ naik podium hari ini dan menceritakan kisah-kisah yang selama ini tidak saya ketahui. Saya banyak belajar dari pengalaman ini,” ujarnya.

Meski partisipasi pemuda rendah, ia berharap lebih banyak orang seusianya akan ikut serta dalam membangun wacana sosial yang lebih inklusif.

Partisipasi perempuan dalam demonstrasi ini menggambarkan sikap berani dan dorongan untuk membawa perubahan. Mereka menggunakan simbol-simbol budaya pop yang sangat kuat di kalangan generasi muda, seperti lightstick K-pop, untuk mengekspresikan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai mengabaikan hak perempuan. Menurut banyak pengamat, hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya pop dalam membentuk pandangan politik di kalangan generasi muda Korea Selatan.

Baca juga: Perempuan di Kancah Politik, Beragam Bias yang Dihadapi

Budaya Pop VS Realita Perempuan di Korea Selatan

Di Korea Selatan, budaya pop yang mendunia sering kali menampilkan citra perempuan yang kuat dan dihargai. Dalam banyak drama, musik, dan film, perempuan digambarkan sebagai tokoh yang berani, mandiri, dan penuh kekuatan.

Padahal, kenyataannya jauh dari gambaran tersebut. Meskipun media menggambarkan perempuan dalam peran yang kuat, dalam kehidupan nyata, perempuan di Korea Selatan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kekerasan domestik, diskriminasi di tempat kerja, dan kurangnya perlindungan hukum.

Menurut data yang melansir dari World Economic Forum (2023), Korea Selatan menduduki peringkat 108 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender. Ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan di Korea Selatan terlihat kuat dan dihargai di layar kaca, realitas yang dihadapi mereka masih jauh dari ideal. Pengurangan anggaran untuk kebijakan perlindungan perempuan, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Yoon, menambah kesulitan yang mereka hadapi.

Isu feminisme di Korea Selatan juga sering disalahartikan, bahkan diserang secara terbuka. Salah satu contohnya adalah kasus pemanah perempuan asal Korea Selatan, An San, yang menuai kritik karena memiliki potongan rambut pendek dan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai simbol feminisme. Kasus ini mencerminkan bagaimana masyarakat Korea Selatan sering memandang feminisme secara negatif, bahkan dalam isu-isu yang seharusnya bersifat pribadi.

Kesenjangan antara citra budaya pop dan realitas ini memunculkan diskusi yang lebih luas. Apakah gambaran ideal dalam budaya pop Korea sebenarnya membawa dampak positif atau justru menciptakan ilusi bahwa perempuan di negara tersebut telah sepenuhnya dihargai? Fakta menunjukkan bahwa meskipun budaya pop dapat menjadi alat perubahan sosial, perjuangan perempuan untuk kesetaraan masih panjang.

Melalui dominasi perempuan muda pada demonstrasi besar-besaran di Korea Selatan menunjukkan bahwa gerakan feminis di negara ini terus berkembang meskipun menghadapi berbagai tantangan. Dengan memanfaatkan simbol budaya pop yang kuat, mereka tidak hanya menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender.

Gerakan ini menjadi pengingat bahwa meskipun realitas perempuan di Korea Selatan masih jauh dari ideal, keberanian mereka dalam melawan ketidakadilan dan menuntut perubahan bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan setara.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Stigma Sosial terhadap Anak Fatherless

Stigma Sosial terhadap Anak Fatherless

Dorong Pengesahan RUU TPKS yang Berpihak pada Korban

Apa yang Dimaksud dengan ‘Male Gaze’ dan ‘Female Gaze’?

Leave a Comment