TANPA kompetensi yang mumpuni, sulit bagi perempuan untuk menciptakan kondisi yang adil gender. Meskipun kesetaraan perempuan sudah diperjuangkan sejak abad ke-18. Namun hingga saat ini kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya terwujud. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Mulai dari faktor internal hingga eksternal. Ini disampaikan jurnalis The Jakarta Post, Dedek Hendry saat menggelar Workshop Peningkatan Kapasitas Perempuan Jurnalis Bengkulu, Minggu (16/2).
“Saat ini peluang bagi perempuan untuk berdaya di bidang ekonomi, politik, kesehatan, lingkungan dan lainnya sudah terbuka lebar. Meski tak banyak perempuan yang bisa mengaksesnya, terlebih perempuan yang bisa menjadi seseorang dalam pengambil keputusan atau menjadi pemimpin di dunia karir yang digelutinya. Ini disebabkan faktor si perempuan tak memiliki kapasitas yang mendukung untuk bisa terlibat dalam pemberdayaan kepemimpinan,”
Dedek Hendry
Ditambahkan Dedek, perempuan selalu dihadapkan dengan kondisi membuat pilihan yang keputusannya bukan untuk diri sendiri. Melainkan diciptakan oleh hegemoni patriarki dan budaya kapitalisme. Akibatnya banyak sekali kebijakan yang tak berpihak pada perempuan.
“Meskipun perempuan tergolong sebagai makhluk yang merdeka, namun pada umumnya perempuan tidak merdeka. Dalam mengambil keputusan perempuan dituntut memikirkan banyak pihak,” imbuh Dedek.
Baca juga: Representasi Perempuan di Media Masih Mencerminkan Masyarakat yang Patriarki
Beberapa studi kasus tidak adanya akses bagi perempuan, dipaparkan Dedek di antaranya dari segi ekonomi ada banyak perempuan yang menjadi pengusaha kecil namun tak bisa mengakses permodalan dari perbankan. Karena untuk bisa mengakses pinjaman bank membutuhkan agunan. Termasuk dalam aset kepemilikan seperti rumah atas nama suami. Dari segi pengambilan keputusan ditingkat desa ataupun RT biasanya yang Diundang bapak-bapaknya. Perempuan yang diundang paling-paling hanya sebagai observasier atau hanya melihat. Kalau pun terlibat biasanya untuk menyiapkan konsumsi.
“Peran perempuan masih dipandang sebatas domestik. Termasuk dalam pemberitaan pun media kerap kali menempatkan perempuan sebagai objek menonjolkan status semisal janda kembang, gadis cantik dan lainnya,” lanjutnya.
Sementara itu, jurnalis rakyatbengkulu.com, Betty Herlina mengatakan pesatnya pertumbuhan media khususnya online di Bengkulu berimbas pada meningkatkan jumlah jurnalis. Sayangnya jumlah perempuan jurnalis sangat tidak seimbang dengan jumlah jurnalis laki-laki yang ada. Perbandingan komposisi jumlah di dapur redaksi pun bisa dibilang 1:15. Artinya setiap satu jurnalis perempuan ada 15 jurnalis laki-laki.
Baca juga: Citradaya Nita’s Retrospect: Women and Leadership
Kondisi lain sebagian besar jurnalis perempuan masih mengalami diskriminasi di organisasi tempat bekerja dan saat bertugas di lapangan. Standarisasi jurnalis perempuan di setiap media belum sama. Semua itu tergantung pada kebijakan masing-masing redaksi. Jurnalis perempuan juga minim kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga berimbas pada kurangnya kualitas dan tidak adanya penambahan pengetahuan.
“Ini mengakibatkan isu-isu gender yang menjadi ranah pemberitaan menjadi bias. Laki-laki yang sama sekali tidak ramah gender akan menulis isu-isu perempuan dengan persektif yang dimilikinya. Bahkan perempuan yang minim pengetahuan juga ikut menulis isu perempuan menjadi tidak ramah gender,” kata anggota AJI Bengkulu ini.
Sebagai peraih fellowship Citradaya Nita 2019, Betty berharap, perempuan jurnalis yang ada di Bengkulu memiliki motivasi yang kuat untuk terus meningkatkan kapasitas diri.
“Apapun posisi di newsroom jangan pernah bosan dan berhenti meningkatkan diri. Karena tanpa disertai kompetensi kita tidak akan pernah bisa menciptakan media yang ramah gender. Jika bukan perempuan, maka siapa lagi yang akan peduli dengan persoalan perempuan itu sendiri. Sadar atau tidak sadar pola pemikiran maskulin melekat dalam pemikiran perempuan, sehingga berimbas dengan keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak ramah gender, tidak berpihak dengan perempuan itu sendiri ,”
Betty Herlina
Diketahui, workshop ke dua yang digagas Pusat Perhimpunan Media Nasional (PPMN) melalui program fellowship Citradaya Nita ini diikuti lima orang jurnalis perempuan dari berbagai platform media di Bengkulu. Yakni, Zalmi Herawati dari Harian Bengkulu Ekspress, Lisa Rosari dari Harian Radar Selatan, Jiafni Rismawarni dari Harian Rakyat Bengkulu, Ria Sofyan dari Bengkulu Ekspress Televisi dan Ilmyatun Awliya dari Bengkulu Ekspress.com. (betty herlina)
*) artikel dengan judul serupa tayang terlebih dahulu di Harian Rakyat Bengkulu.